Perdulilah ketika warga dunia perduli

Liston P. Siregar

Malam itu sekitar 40-an orang menonton The Act of Killing di sebuah bioskop independen kecil di Greenwich. Film dokumenter tentang pembantaian 1965 yang mereka tonton adalah versi panjang 159 menit dan disusul diskusi selepas tayangan dua setengah jam lebih. Jadi saya perkirakan tak banyak yang bertahan untuk diskusi setelah menyaksikan karya sutradara Joshua Oppenheimer yang mencekam.

Saya kebetulan menjadi panelis bersama Prof Joram Ten Brink dari Universitas Westminster London, salah seorang produser The Act of Killling -yang diterjemahkan menjadi Jagal- dan Dr Ben Murtagh, ahli budaya Melayu dan Indonesia dari School of Oriental and African Studies, SOAS, London.

Sebelum diskusi dimulai, Esther dari Tapol -LSM HAM Indonesia yang bermarkas di London- wanti-wanti kalau diskusi hanya 40 menit. Dia menambahkan sebelumnya di beberapa tempat, yang menonton penuh dan hampir semua ikut diskusi. Jagal memang diputar di berbagai bioskop di hampir
semua kota besar di Inggris Raya sejak akhir Juni hingga awal November.

Cuma pada Kamis 11 Juli malam jam 21.30 di sebuah kampung di London tenggara apa masih ada semangat untuk ikut diskusi setelah dua setengah jam diteror Jagal.

Ternyata dugaan saya salah. Begitu layar ditutup memang beberapa pulang, tapi sebagian besar tetap di kursi. Bahkan ada yang ke luar agaknya cuma ke kamar mandi karena masuk kembali. Dari depan saya lihat hanya dua warga Indonesia dan selebihnya warga Inggris atau tepatnya non-Indonesia karena belakangan saya masih ngobrol lagi dengan pasangan muda asal Australia.

Setelah ketiga panelis memberikan pandangan singkat, dimulailah acara tanya jawab.

Oh ya pandangan saya sederhana: Jagal mengangkat pembunuhan atas anggota PKI maupun yang dituduh PKI dan yang tidak ada urusan dengan PKI kembali menjadi agenda di tengah hiruk pikuk masalah korupsi dan pemilu 2014. Dipadu dengan kampanye Minta Maaf atau saysorry65.org maka sejarah hitam Indonesia ini seperti teringatkan kembali untuk direnungi bersama: bukan hanya sesama warga Indonesia tapi bersama warga dunia lain.

Tapi apa yang menjadi perhatian dari para penonton yang bersedia pulang larut malam. Seorang warga Inggris yang tinggal di Jakarta saat kerusuhan 1998 berbagi pengalaman tentang kecemasannya saat itu dan yakin suasana 1965 jauh lebih mengerikan seperti dipaparkan Jagal. Dia juga masih punya teman di Jakarta yang menceritakan DVD bajakan Jagal gampang ditemukan di Jakarta.

“Tak masalah, karena akan lebih banyak yang menonton. Tak lama lagi akan kami sediakan di internet, gratis,” kata Prof Ten Brink, yang ikut datang ke Indonesia dalam proses pembuatan film.

Pertanyaan lain dari seorang ibu, tentang hubungan antara etnis Cina dengan warga asli sambil merujuk adegan di film yang memperlihatkan Cina pemilik toko ditodong oleh Pemuda Pancasila sekarang, dan juga pada masa 1965. Giliran saya menjelaskan bahwa masih ada stigma etnis Cina di
Indonesia itu cuma cari uang, mikir diri sendiri sehingga bolehlah ditodong seenaknya. Namun situasi sudah jauh lebih baik dari jaman Suharto, antara lain karena sudah bisa merayakan tahun baru Cina serta upaya pembauran natural di tingkat pemukiman.

Jelas tersebut Wakil Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang –menurut saya- mungkin kelak menjadi Wakil Presiden. Itu tidak terbayangkan di jaman rezim Suharto.

Isu ini diteruskan lagi oleh seorang pria: apakah ada perasaan antiCina yang meluas di Indonesia. Profesor Ten Brink memberi isyarat ingin menjawab: etnis Cina di Indonesia bisa dikatakan kelompok yang paling lemah tapi tidak berarti bahwa ada sentimen antiCina yang meluas.

Dr Murtagh menimpali di masa lalu terjadi sejumlah kerusuhan dengan sasaran etnis Cina, termasuk kerusuhan 1998 namun setelah itu sepertinya tidak ada lagi kerusuhan skala besar.

Saya pun mengangguk angguk di sampingnya.

Warga Indonesia dari Flores yang menikah dengan pria Inggris mengenang masa kecilnya ketika diindoktrinasi oleh Suharto, termasuk lewat film Pengkhianatan G30S/PKI. Dan dia merasa lega dengan Jagal yang menawarkan kenyataan lain.

Benerapa pertanyaan lain tentang tanggapan pemerintah Indonesia, kenapa para pelaku yang sudah mengaku membunuhi orang tidak ditangkap, bagaimana mungkin kekerasan bisa berlangsung dalam jangka waktu lama dengan korban mencapai sekitar 1,5 juta jiwa.

Tapi pertanyaan paling rumit, menurut saya, dari seorang perempuan setengah baya dari barisan kursi agak di belakang. Amat pendek: siapa yang harus dibawa ke Den Hag?

Dia merujuk ke Mahkamah Internasional di Den Hag, yang mengadili pembunuhan massal antara lain di Bosnia, Rwanda, maupun Kamboja -yang digelar di Phnom Penh.

Profesor Ten Brink mengatakan kecil kemungkinan kasus 1965 dibawa ke Den Hag. Ada semacam kekebalan dalam kasus itu dan mengingatkan di dalam film salah seorang pelaku pembunuhan malah menantang supaya pengadilan Den Hag datang ke Indonesia. Adi Zulkadry, yang memerankan dirinya sendiri, menegaskan sebagai pemenang maka mereka berhak menentukan standar hak asasi manusia.

Sedang Dr Murtagh memaparkan sejumlah pelanggaran HAM lain di Indonesia, seperti kerusuhan 1998, Timor Timur, Aceh, maupun Papua. Dia juga memaparkan kecenderungan orang Indonesia untuk hidup pada masa kini dan melupakan masa lalu dengan mudah. “Di Indonesia, film yang baru dua tahun lalu sudah dibilang film lama,” tuturnya memberikan ilustrasi.

Saya pun mengangguk angguk lagi –bahwa bangsa Indonesia ‘pelupa‘ bukan hal baru-  namun kali ini juga meminta mikropon untuk menambahkan.

Yang paling dekat diminta pertanggung jawaban, tegas saya, adalah mendiang mantan presiden Suharto tapi tidak mungkin lagi. Bagaimanapun Komnas HAM mulai mengangkat pembunuhan massal 1965 dan beberapa kelompok korban maupun keluarga korban sudah sejak dari dulu mengumpullan bukti-bukti dengan memotret kuburan massal di beberapa tempat  maupun mengumpulkan keterangan saksi-saksi. “Tapi mungkin perlu waktu lebih lama untuk membawanya ke jalur hukum kalau memang bisa tercapai,” saya harus mengakui pula.

Menutup penjelasan, saya mengulang bagaimanapun Jagal dan saysorry65.org seperti membangunkan kembali orang Indonesia atas sejarah hitamnya.

Tak terasa sudah 50 menit lebih dan Esther menutup dengan memohon penonton menandatangani petisi agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta maaf kepada para korban dan keluarga korban. “Itu penting karena Presiden Susilo amat perduli dengan citra internasional,” tutupnya.

Di luar ruang bioskop, pasangan muda dari Australia masih melanjutkan obrolan. Saya sebenarnya cukup lelah. Hari itu pulang kerja seharian harus menyiapkan sedikit materi yang akan disampaikan dan setelah berdiskusi hampir satu jam, wajar terasa penat juga.

Tapi keduanya begitu bersemangat, jadi saya tak boleh kalah semangat pula. Masak orang lain peduli pada bangsa Indonesia, sementara saya memble.

Dan masih saya masih ikut satu diskusi lagi: tentu dengan penuh semangat.
***