Ojek ke Surga

Ronny P Sasmita

Ku kira ada yang tak beres dengan isi kepala abang angkatku. Aku tukang ojek, anak pinggiran, yang sekedar  lulus  SMA  dengan tertatih-tatih.  Kemalasan untuk menamatkan sekolah berbanding lurus dengan keengganan menambah beban hidup orang tua. Waktu itu kupikir, berhenti di tengah lebih baik ketimbang membuat kepala bapak pusing tujuh keliling memikirkan biaya tetek bengek sekolah.

Belum pula dua adikku yang saban hari belasan kali menangis karena tak satupun permintaan mereka terkabul oleh bapak. Permintaan –permintaan yang saban hari diajukan, saban hari pula tak berjawab nyata: sakunya yang memaksa untuk tidak bergeming terhadap keinginan-keinginan cengeng.

Lalu mengapa abang angkatku yang terpelajar itu, malah nyeleneh mengatakan aku benar-benar telah menjadi seseorang yang berharga dan membuat pekerjaan apapun sekonyong-konyong jadi mulia.

Selama ini, hampir semua yang terlontar dari mulutnya  menjadi petuah bagiku. Keterpelajarannya tidak menutup pergaulannya dengan tukang ojek, tukang obat keliling, pedagang Pasar  Cileunyi, pengangguran, santri-santri, atau siapa saja. Tak berpantang baginya untuk berteman dan berdiskusi.

Tapi pernyataannya kali ini membuatku pada anti klimaks. Mimik wajah atau intonasinya tak sedikitpun berbau menghina atau menyindir. Tapi ketimbang memaknainya sebagai pujian, hatiku lebih memilih sebagai sindiran halus tentang pekerjaanku: tukang ojek.

Sesekali hatiku nyeletuk, “ini tak lain dan tak bukan adalah penghinaan, mentang-mentang sekolah tinggi, berprofesi, seenaknya mengejek aku.“

Dan ejekan itu terus-menerus menggendang di telingaku dan sekali waktu, ketika duduk lebih tiga jam tanpa ada pelanggan, hatiku memanas. Kukirim SMS; “tolong bang, jangan menyindir pekerjaan saya, walaupun tukang ojek, saya tidak pernah memakan keringat orang lain.” Singkat dan padat, pikirku dan menutup jawaban bertele-tele.

Dua jam berikutnya –masih kering pelanggan- seperti siksaan bagiku. Menanti SMS. Menjelang magrib, setelah akhirnya dapat giliran satu pelangan bertarif tiga ribu perak, dan sedang bersiap pulang, HPku bergetar. Dari abang angkatku: “Sir, saya tidak pernah menyindir Yasir, apalagi tukang ojek. Saya kan sering naik ojek mu. Kau memilih jadi apapun, semua orang selalu percaya bahwa kau akan menjalankannya dengan sungguh-sungguh.”

Aku lega ada jawaban. Juga sedikit terhibur. Apa yang diucapkannya benar juga, pikirku. Namun belum yakin sepenuhnya.

Suatu sore, ketika sedang kugonceng pulang kantor, dia memang pernah mengatakan iri padaku. Di balik helem, suaranya tidak terdengar jelas dan kebelokkan sedikit kepalaku ke kiri, berteriak “Apa bang?”

“Aku iri sama kamu”, balasnya berteriak.
“Eleuh-eleuh, iri dari segi mana, bang”, berteriak lagi.
“Ya iri saja, kau selalu penuh semangat ‘Sir,” katanya lebih pelan karena kami pas berhenti di lampu merah. Kulihat ke kiri dan ke kanan, tak ada sepeda motor lain, kecuali mobil ber AC dengan jendela hitam tertutup rapat. Aku sedikit tenang, tak ada yang mendengar.

Risih juga rasanya tukang ojek dibilang penuh semangat, di depan umum. Aku diam saja, tak tahu mau bilang apa. Kami jalan lagi dan kupelankan sedikit motorku supaya suara angin tak terlalu bising menelan suaranya.

Aku menunggu lanjutannya.

“Kau itu inspirasi, oasis di tengah gurun pasir, kau jalankan hidup ini seperti apa yang diharapkan oleh sang penitip roh. Kau lakukan pekerjaan apa saja dengan cara yang terhormat,” katanya berteriak lagi.

Jam pulang kantor macet, aku harus berkonsentrasi penuh untuk lincah berkeliat di balik angkot, bis, dan mobil, menembus kemaceta supaya ada gunanya naik ojek. Kudengar inspirasi, oasis, penitip roh, tapi sore itu aku tak terlalu paham. Kujawab saja. “Ok bang.”

Dia diam, mungkin mengerti aku sedang sibuk mencari celah-celah sempit, berebut dengan motor-motor lainnya. Balik ke pangkalan ojek, sudah ada pelanggan lain yang menunggu. Kutarik lagi dan obrolan sore itu tak pernah kuingat lagi sebenarnya.

Sampai datangnya pernyataan pekerjaan mulia itu.

Memasuki usia 25 tahun, jelas tukang ojek bukan cita-citaku. Daripada nganggur ya, walau tak jarang juga kami semua di pangkalan ojek menganggur tak ada sewa berjam-jam.

Aku bermimpi kerja di kantor. Bangun pagi, sarapan, berbaju rapi dan dasi yang berganti tiap hari, ada sekretaris, rapat, dan makan siang dibayari perusahaan.

Atau punya satu warung internet tapi berkembang pesat menjadi puluhan atau bahkan ratusan. Setiap hari aku kelilingi warnet-warnetku, mengumpulkan keuntungan harian dan memasukkan ke rekening bang. Itu baru profesi, baru pekerjaan.

Tukang ojek? Otakku tetap saja tak habis pikir. Dan walau SMS ku sudah dibalas jelas –masih tetap kusimpan pesan itu- kesimpulannya tetap sama: ada yang tidak beres dengan kepala abang angkatku.
***

“Ojek…ojek….ojek, ”, kudengar orang memanggil. Pagi itu, baru aku sendiri di pangkalan ojek. Mataku menyambangi arah kiri dan kanan, tak terlihat siapapun.

Tiba-tiba punggungku diteouk rada keras, seorang lelaki paruh baya dengan mata merah dan wajah pucat seperti kurang tidur tampak tergesa.

“Dik, tolong antar istri saya ke rumah sakit Ujung Berung. Dia pendarahan. Kita jemput ke rumah dulu,” dan dia langsung duduk. Kukasih helem dan hanya dipegangnya.

Biasanya aku ngotot minta orang pakai helmet, bukan karena alasan keamanan tapi aku tak mau distop polisi dan harus bertele-tele sebelum keluar 10 ribu perak. Pagi itu, aku merasa suasana terdesak. Kutarik motorku, agak kencang dan bertubi-tubi kupencet klakson.

Walau cuma tukang ojek, kami pernah juga bermimpi menjadi orang penting. Menyelamatkan negara dari serangan bom, karena berhasil mengejar teroris, menghentikan mobilnya, dengan motor kami. Lantas menendang selangakangan teroris itu sampai terjerembab kesakitan dan kamipun menelepon polisi.

“Nging, ngong, nging, ngong,” mobil polisi anti teroris datang. Tukang ojek jadi berita, pangkalan ojek kami padat dengan wartawan TV, dalam dan luar negeri. Presiden memberi hadiah satu milyar yang kami bagi rata bersama bertujuh. Pangkalan ojek diperbaiki, menjadi tugu perlawanan terorisme.

Ya, kami pernah bermimpi walau juga sadar sepenuhnya kalau itu Cuma mimpi karena kami cuma tukang ojek. Tapi pagi itu, aku merasa saatnya telah tiba. Bukan menyelamatkan negara, juga bukan menyelamatkan ratusan orang. Seorang ibu, seorang anak, dan seorang bapak, seperti aku bersama anak dan istriku.

“Pegang saya Pak, biar bisa lebih kencang,” teriakku. Dibelitkannya tangan kanannya ke perutku, tangan satunya tetap memegang helem. Kutarik gas motorku sedikit lagi, dan jempolku terus memencet klakson.

Melewati jalan raya, dia meminta berblok ke kiri dan berbelok lagi ke sebuah jalan tanah, di tengah persawahan, tak jauh dari pintu tol. Berhenti di sebuah gubuk reot, pria itu bergegas ke dalam rumah dan kuputar duklu motorku ke arah jalan, supaya siap melaju lagi.

Aku ikut masuk ke dalam gubuk. Seorang perempuan sedang terbaring di tikar. Pria tadi sedang membantunya berdiri dan aku membantunya dari sebelah kiri.

“Tak usah dik, ambil kain itu saja ‘dik,” perintahnya. Kurengut buntalan kain. Tak sempat bertanya, aku sangkutkan buntalan kain itu di antara bangku motor dengan stang. Juga tak sempat berpikir, aku duduk di ujung bangku, mungkin hanya menyangga satu sentimeter ujung tulang pantatku.

Ibu itu duduk ditengah. Kuperintahkan dia menaruh kakinya di tumitku.
Kumajukan badanku dan kulebarkan lututku untuk menjaga keseimbangan motor.

“Pegang ibu yang kuat,” teriakku ke pria itu. Dan kuhidupkan motorku. Tak mudah menjaga keseimbangan dalam posisi dudukku, sementara suara kesakitan ibu itu terdengar dan pria itu yang berteriak: ”hati-hati ya dik.”

Pelan-pelan aku terbiasa juga dan mempercepat laju motor. Terfokus dengan jalur di depanku seperti menggunakan kaca mata kuda, aku merasa lalu lintas terbelah membentuk koridor kecil yang kosong di depan kami. Seperti Nabi Musa yang membelah sungai. Begitulah rasanya.

Sesampainya di rumah sakit, bapak itu beteriak sambil memapah istrinya. Kuparkkir motor dan berlari membawa buntelan kainnya. Satpam di depan malah memerintah: “daftar dulu Pak di resepsionis.”

Pria calon bapak itu bingung, si ibu tampak semakin lemas. Aku masuk ke salah satu lorong dan kulihat ada kursi roda tergeletak. Kuambil dan kubawa untuk ibu itu, sambil siap membentak balik satpam tadi kalau dia menegur.

Duduk di kursi roda, si ibu kelihatan tenang dan kurenggut tangan seorang perawat muda yang kebetulan lewat. “Tolong mbak, ibu ini pendarahan.”

Diliriknya ibu itu dan syukurlah dia tergerak, memerintahkan sesuatu ke resepsionis dan membawa ibu itu bergegas. Kuserahkan buntelan kain kepada suaminya dan “terimakasih dik’ katanya sambil mengikut suster tadi menghilang di ujung lorong, dan kutarik nafasku.

Kembali ke tempat parkir, aku duduk di motorku, kuambil rokok dan kuhisap dalam-dalam. Sisa asapnya kuhembuskan sejauh mungkin. Dalam perjalanan kembali ke pangkalan ojek, hatiku serasa berbunga-bunga,
Puas, dan bahagia. Kuceritakan kepada kawan-kawan di pangkalan ojek.

“Ya ues muleh… kan sudah dapat puluhan ribu. Ngapain ngetem lagi,” saran mereka.

Aku diam saja. Tak perlu kuceritakan bahwa sepeserpun tak kudapat, bahkan nanti aku harus balik ke gubuk reot pria itu untuk mengambil helemku.

Tak ada gunanya menceritakannya, pasti mereka tak percaya, atau menganggapku super bodoh. Mereka tidak akan bisa merasakan kelegaanku, kegembiraanku, menolong seorang bapak, ibu, dan calon anak. Terasa seperti justru ada orang yang telah menolong aku, istri, dan anakku. Ini memang bukan menyelamatkan negara dari serangan teroris dan menjadi pahlawan nasional yang diberitakan di seluruh dunia.

Jadi aku diam saja, tersenyum kecil karena hanya aku yang bisa merasakannya, bersama pria itu dan istrinya.

Tak sampai sejaman di pangkalan ojek, belum ada penumpang lain. Kuputuskan pulang. Aku tak mau kegembiraanku hari itu mencair di balik kartu-kartu domino. Aku mau bersama istri -dan kulirik jamku: 11.27- ya anakku sudah pulang sekolah.

“Yang sudah dapat lima puluh ribu pulang,” celoteh mereka. Aku tersenyum kecil lagi, menikmati bua-buah kelegaan dan kegembiraanku.

Di rumah, istriku kaget aku pulang cepat. “Ada apa mas?” tanyanya cemas.

“Pingin pulang cepat saja,” dan kupeluk dia, kucium keningnya.

Mendengar suaraku, anakku yang baru berusia delapan tahun berlari ke ruang tamu: “Ayah, ayah, ayah,” katanya riang. Kuangkat dia tinggi, “Lagi ‘Yah,lagi Yah.” Kami tertawa-tawa besar.

Kugendong dia ke halaman belakang. Dia sedang main mobil-mobilan kayunya. Kuambil bangku dan duduk di dekatnya. Istriku masih penasaran, sambil setengah berjongkok dia berbisik; “Kau baik-baik saja mas?”

Aku diam sebentar, dan kutarik dia duduk di pangkuanku. “Ya, Cuma kangen kalian,” jawabku pendek.

Mungkin memang hanya aku, pria itu dan istrinya yang bisa menikmati buah-buah kelegaan dan kegembiraan itu. Oh ya dan abang angkatku, seandainya aku ceritakan pengalamanku, yang membuktikan ucapannya.
***
Jakarta, 15 Februari 2011