Panggil Aku Sara

Ani Mulyani

Bertubuh Langsing, perut rata, kaki panjang, dengan paras cantik, sekilas Sara tampak seperti foto model ternama.

Tapi sosok molek yang bernama Sara itu adalah seorang laki-laki.

Waktu itu, pukul 04.00 pagi, aku beranjak dengan amat berat dari tempat tidur. Siapapun akan malas untuk untuk bangun dan mandi sepagi itu, walau amat banyak orang yang berhasil memaksa diri. Subuh itu aku temasuk salah satunya. Hari itu aku harus mendapatkan foto waria-waria yang sering mangkal di daerah Taman Lawang.

Dijepit oleh gedung-gedung modern bertingkat di kawasan Kuningan, dan perumahan kaum super kaya Indonesia di Menteng, dengan salah satu jalan rayanya mengarah ke terminal bis Manggarai yang macet serta barisan toko-toko penjual kloset dan sepeda bekas, Taman Lawang rasanya cocok menjadi ajang kehidupan nyata yang bisa dinikmati semua orang namun tertutup layar hitam: layanan seksual waria pada malam hari.

Banyak orang Jakarta yang tahu Taman Lawang sebagai tempat operasi waria, dari yang menyebutnya dengan senyum sinis, bercanda, atau dengan nada jijik, maupun yang biasa-biasa saja. Tentu ada pula yang menempatkannya sebagai informasi secara praktis, juga pasti ada yang tak pernah menyebut tapi sudah mendatanginya. Pada malam hari, di antara kegelapan malam dan bias sinar lampu dari sekitarnya, para waria yang menor muncul seperti kunang-kunang. Tak mungkin jika ada orang yang lewat yang tak meilhatnya.

Aku sebenarnya tidak begitu mengenal bagaimana kehidupan waria Taman Lawang itu, apa saja persisnya kegiatan mereka walau jelas aku tahu kalau mereka menawarkan seks oral maupun anal. Setiap melewati Taman Malang -sehabis makan malam di Jalan Blora-  dari balik jendela mobil yang tertutup rapat aku bisa melihat  banyak waria yang berdiri di sepanjang jalan, mempromosikan diri, dan rasanya sesekali aku terpesona dengan kemolekan tubuh serta wajah mereka, bersamaan pula tertanya-tanya. Walau terlihat jelas, pastilah amat banyak sekali di balik yang terlihat itu.

Dan ketika tugas mata kuliah fotografi adalah memotret waria Taman Lawang, aku sedikit ”ngeper” karena harus berdekatan dengan mereka. Selama ini aku mendengar cerita-cerita yang mengatakan hampir semua waria galak dan sensitif. Masuk akal, pikirku, karena mereka tetap saja seorang laki-laki, biarpun didandanin secantik apapun, jadi naluri kelaki-lakian yang otomatis akan muncul ketika ada orang-orang yang menyinggung mereka. Mungkin malah ada pisau di dalam tas mereka.

Demi tugas mata kuliah fotografi -yang merupakan subyek wajib- aku mengumpulkan keberanian untuk terjun langsung ke Taman Lawang. Kuhimpun keyakinanku: kalau mendekati dengan baik dan menjelaskan tugas kuliahku, masak sih mereka akan galak? Masak sih tak ada satupun yang bersedia membantu mahasiswa seperti aku, yang dari penampilan rasanya tak masuk sebagai saingan, juga bukan polisi, apalagi preman.

Siraman air dingin membangunkanku total dan bergegas kuambil kamera digitalku. Walau keyakinan sudah terbangun, tetap saja aku tak berani datang sendirian ke Taman Lawang dan bertemu langsung dengan mereka, subuh-subuh lagi.

Aku juga memutuskan untuk mencari teman pria, paling tidak jika warianya marah, ada lawan setimpal. Aku amat yakin bahwa dalam situasi terdesak maka kelaki-lakian mereka yang kembali ke luar. Dan seorang teman pria akhirnya bersedia bangun pagi-pagi, menjemputku, dan mendampingi aku sampai tugas memotret selesai dan mengantarku pulang.

Kami meluncur ke Taman Lawang, dan tak bisa kubuang sama sekali kecemasanku. Dari kejauhan kulihat ‘perempuan’ molek berbaris sepanjang jalan, mengenakan pakaian seksi dan riasan wajah tebal. Aku sebenarnya bingung memilih waria pertama yang akan kudekati.

Teman priaku yang sebenarnya memilih, paling tidak ketika dia menghentikan mobil, seorang waria mendekat sambil tersenyum. Kulihat tubunya yang langsing, perut yang rata, bertungkai panjang dan wajah cantik.

Begitu jendela mobil diturunkan, dia tampak kecewa dan teman priaku langsung menjelaskan singkat tujuan kami. Dia tampak tak keberatan dan akupun turun dari mobil. Kecemasanku agak berkurang walau sedikit kagok dan kutepis dengan membayangkan jika ada orang yang lewat dan juga menyangka aku sebagai salah satuwaria profesional.

Aku tersenyum dan kuangkat tanganku untuk bersalaman.

Namanya Sara, tangannya dingin, dan aroma parfumnya tajam.

Dia rupanya tak suka basa-basi dan mempersilahkan aku memotret. Lalu mulailah dia bergaya, bak fotomodel profesional. Dalam hati aku sempat mentertawakan dia dan segera kubuang. Bukan hanya karena dia sudah membantu, juga karena aku yakin banyak sekali yang tidak kuketahui di balik penampilan dan gayanya di depan kamera. Beberapa posenya jelas bersumber dari imajininasi sebagai foto model yang sering dia lihat di TV atau majalah.

Sambil menjepret dan meminta bergeser ke sana ke sini, kulirik teman priaku. Dia juga sudah ke luar dari mobil dan hanya beberapa meter di belakang. Walau kecemasan sudah hilang, aku belum seratus persen tenang. Beberapa waria lain melihat Sara dan seorang berteriak ‘mejeng ni ye.’

Setelah mendapat pose yang cukup beragam, kuajak dia duduk di dalam mobil untuk ngobrol. Dan Sara -alias Hendra- memaksa duduk di depan, di samping teman priaku sedang aku diminta duduk di kursi belakang. Namun temanku menolak halus dan Sara yang akhirnya duduk di belakang. Rupanya dia menganggapku sebagai saingan juga dan, sebagai perempuan, aku berempati pada naluri keperempuanan Sara, yang rasanya tidak dia buat-dibuat.

Untuk menghiburnya, kuambil rokok temanku dari kompartemen di bawah CD player mobil dan kutawarkan padanya.

”Aku asli Bandung” ujar Sara sambil menghisap dalam dan melepas asapnya ke samping menjauh ke arah jendea yang setengah terbuka.

Kutanya umurnya, karena terlihat masih amat muda. Dia mengaku 19 atau 20 tahun.

Sehari-hari Sara bekerja di sebuah salon di Jakarta Selatan, sebagai asisten hair stylist. Malam hari dia menjalankan ritual sebagai wanita Taman Lawang. Alasannya?

“Gagal terus pacaran sama perempuan.”

Namun Sara -yang bernama asli Hendra- mengaku mempunyai sisi feminin yang kuat di dalam fisik laki-lakinya. Ketika masih kecil, dia sering menjadi bahan ledekan dan -tambahnya- mungkin karena faktor feminin itulah, Hendra selalu gagal dalam menjalin hubungan dengan beberapa perempuan.

Ketika kutanya apakah dia sudah punya pacar atau belum, dia menggeleng padahal dia cukup cantik untuk ukuran seorang waria.

”Itulah mengapa aku rela berdiri di sini berjam-jam, siapa tahu ada yang nyantol” katanya sedikit genit.

Aku tersenyum. Setelah ngobrol ngalor ngidul atau persisnya aku bertanya sementara dia menjawab dan aku yakin tak akan bisa menguak di balik yang terlihat, aku pamit pulang. Dia juga langsung bergegas ke luar dari mobil. Kulambaikan tanganku sekali lagi tapi dia sudah berbalik menjauh. Beberapa meter mobil berjalan dan kubalikkan kepala melihat ke belakang: Sara sudah tidak tampak lagi.

Kulirik arloji, lewat pukul 05.00. Langit mulai sedikit terang. Sebentar lagi barisan semut pekerja Jakarta akan memadati jalan-jalan di sekitar Taman Lawang.

Layar hitam dibuka, lampu-lampu kembali dinyalakan, dan saatnya para waria untuk menghilang.
***
Jakarta, Oktober 2010