Maling dan Ustadz – Imron Supriyadi

1. Selamat Tinggal Pulau Jawa
Aku sempat mengenyam pendidikan pesantren selama tiga tahun. Perjalanan yang jauh dari cukup untuk menggali ilmu agama, tapi mungkin sudah cukup untuk memulai mengenal ilmu agama. Kenyataan pastinya adalah sudah menjadi keputusan ayah agar aku segera keluar dari pesantren, walau bagiku kebijakan itu sangat tidak masuk akal.

Aku tak kuasa mendebatnya biarpun kegundahan dan seribu tanya yang terselip di batinku akhirnya tak juga bisa kutahan. Aku harus bicara pada ayah. Batinku memberontak. Dengan sangat berhati-hati aku memulainya sebab –menurut ilmu agama yang kuperoleh di pesantren– aku sebagai anak wajib menghormati orang tua, terutama terhadap ibu. Hanya berkata “uh” saja –menurut pendidikan pesantrenku selama 3 tahun itu– sudah merupakan sikap yang tidak baik terhadap orang tua.

Gelora di batinku tak tertahankan. Tinggal soal merapikan urusan tehnis saja; mengambil waktu yang tepat.

Sore itu suasana agak santai. Matahari masih terang namun teriknya sudah hilang. Angin sepoi terasa membelai teras rumah. Rabu tengah minggu menurutku cukup pas. Orang sudah menyesuaikan diri dengan rutinitas harian namun belum terbawa malasnya akhir pekan. Ayah sedang duduk menunggu sembahyang magrib. Terasa santai sampai aku kuatir sendiri merusak sore itu dengan meluapkan amarah ayah karena pertanyaanku.

Walau aku agak emosional, kuendapkan dalam-dalam dengan menarik nafas panjang dan darah baru menyebar ke seluruh nadikum, terasa agak sejuk. Aliran darah baru ke otak juga membuat akalku mencari cara lain agar persoalan ini tak sampai menyinggung ayah, tak sampai merusak soer itu.

“Yah, Norma anak Pak Haji Mansyur, kemarin marah-marah pada ayahnya,” kumulai dengan menceritakan Norma yang bernasib sama denganku.
“Memang kenapa?”
“Karena bapaknya menyuruh Norma keluar dari pesantren,” pancingku.

Ayah menatapku. Ia tersenyum membuatku kikuk. Ayah seakan mengetahui pembicaraanku. Walau hanya tamat Sekolah Rakyat (SR), instink politik ayah terasah lewat Partai Nasional Indonesia (PNI) dan masih tajam sampai hari ini. Ia tahu arah pembicaraanku.

“Kamu juga akan marah pada ayah?” Aku hampir kehilangan kendali. Aliran darah serasa terhenti dan otakku mampet. Kutarik napas dalam dan, alhamdulillah. aku bisa menguasai diri.
 “Kenapa mesti marah? Kan semua itu kemauan ayah,” kalimatku agak tersedak. Ada napas yang tersimpan sesaat di tenggorokan. Kulepas napasku namun iisak tangisku yang keluar tak tertahankan.
“E, kenapa kamu menangis, Nak?” ayah memegang kepalaku.

Tangisku makin lepas meliar.

“Kenapa ayah tiba-tiba menyuruhku keluar dari pesantren? Bukankah…bukankah dulu ayah yang menyuruhku sekolah di pesantren? Tapi…tapi, kenapa sekarang…?” tangisku agak reda setelah sepotong kata itu terucap.

Seharusnya, aku memang tidak mesti menangis tapi sejak awal aku memang sudah emosional menanggapi kebijakan ayah. Ayah sebenarnya sosok yang demokratis dan terbuka terhadap segala hal. Bukan hanya kepada masyarakat, tetapi juga pada aku dan ibu. Tanpa menangispun mestinya semua bisa dibicarakan dengan akal sehat. Tetapi entahlah, dikeluarkan ayah dari pesantren membuatku amat emosional.

“Nak, maafkan ayah. Saat ini ayah belum bisa jelaskan. Nanti jika tiba saatnya akan ayah jelaskan, kenapa  ayah menyuruhmu keluar dari pensatren, ” ayah menarikku duduk di sampingnya. Ayah menatapku tajam.

Ibu yang sedari tadi duduk di8am di samping ayah, hanya ikut membelaiku. Ada setitik embun yang tertahan di mata ibu. Kucoba menyeka air mata itu. Ibu memelukku dan menangis. Tak ada bahasa lain yang diucapkn untuk mewujudkan kasih sayangya padaku.

“Apa tidak sebaiknya Alif tahu, alasan ayah. Sedikit saja kan boleh?” desak ibu lembut.
“Kalaupun ayah jelaskan sekarang, kamu belum juga akan mengerti ‘nak. Jadi untuk satu hal ini maafkan ayah. Nanti kalau sudah tiba saatnya, akan ayah jelaskan semuanya.”

Aku tak ingin ayah marah besar. Sudah menjadi sifat ayah kalau berkata “tidak” akan tetap saja tidak. Malam itu aku tidur membawa kepasrahan dengan bermacam tanda tanya. Aku bermimpi mendaki gunung kapur yang kering. Semuanya putih sampai mataku silau. Tenggorokanku tercekik karena haus dan tak ada air. Seekor burung gagak terbang di atas kepalaku. Kulihat burung gagak itu tapi terik matahari membuat pandanganku pudar. Aku tersentak bangun, basah kuyup berkeringat.
***

Larangan ayah melanjutkan sekolah di pesantren sebenarnya sama sekali tidak bisa diterima akal sehatku. Ada logika yang bertentangan. Waktu aku masih kelas V SD Muhammadiyah I Borobudur, ayahku begitu kuat agar aku masuk pesantren. Tetapi ketika aku sudah merasa ‘memilliki’ dunia pesantren, tiba-tiba ayah menyuruhku pindah sekolah biasa seusai tamat Madrasah Tsnawiyah.

Hari-hariku dihinggapi dengan bermacam tanya. Tak sesiapa yang bisa menjawabnya kecuali ayah. Satu hari sebelum penerimaan ijazah, aku kembali ke pesantren. Kali ini ditemani ibu. Ibu mengetahui benar, kalau aku harus membereskan semua pakaian dan bermacam peralatan selama di pesantren untuk di bawa pulang. Kerapian dan ketelitian Ibu membantuku membereskan barang-barangku.

Setelah menerima ijazah MTs Pondok Al-Islam Solo, barulah semua kebingungan akalku terjawab.

“Ayah tidak suka dengan perlakuan berbeda di dalam pesantrenmu. Agama mengajarkan, kalau semua umat ini sama di mata Allah, hanya taqwa yang membedakan antara satu sama lain. Tetapi kenapa di pesantrenmu itu harus dibangun kamar VIP, yang mengkhususkan bagi kalangan orang mampu. Ayah tidak suka dengan kebijakan pesantrenmu. Makanya, ayah menyuruhmu keluar dan mencari sekolah lain.”
“Tapi aku kan bisa tetap bergabung dengan teman-teman yang tidak di kamar VIP?” aku mencoba berargumen.
“Masih banyak pesantren yang tidak membedakan antara santri satu dan lainnya. Kali ini ayah minta, kamu turuti keinginan ayah.”

 Sejak rapat wali santri yang merencanakan pembangunan kamar VIP, ayah adalah satu wakil orang tua santri yang ikut mendatangani penolakan pembangunan kamar VIP di pesantrenku bersama ratusan orang tua santri laina. Bahkan ayah sempat menjadi koordinator pengumpulan tanda tangan bagi yang tidak setuju pembangunan kamar VIP. Tetapi, aku tidak tahu persisnya bagaimana perdebatan sengit yang terjadi antara pengelola pesantren dengan ratusan orang tua santri yang menolak. Dan ayah bersama ratusan orang tua santri memutuskan menarik anak-anaknya, karena pengelola pesantren tetap berkeras mendirikan kamar VIP.

Sampai sekarang aku juga tidak tahu persis, logika apa yang dipakai para pengelola pondok pesantren jika di “penjara suci” tempat mengajar nilai-nilai kebersamaan dan hak perlakuan sama, justru sekarang banyak pondok pesantren yang membudayakan pembangunan kamar VIP. Kalau hanya alasan untuk menambah dana operasional pesantren, kenapa tidak membangun unit usaha di luar pesantren, untuk kemudian bagi hasil dengan pengelola pesantren? Kalau untuk meningkatkan upah professional para ustadz, kenapa harus mengorbankan nilai-nilai moral dan etika sosial yang selama ini didengungkan di pesantren?

Lantas apa bedanya antara lembaga pengelola hotel dan pengelola pesantren, jika hanya karena ingin meraup keuntungan lalu menciptakan perbedaan antara santri kaya dan santri miskin? Apakah ini bukan pencurian hak perlakuan sama bagi para santri yang kebetulan kurang mampu? Bukankah ini bentuk pengingkaran terhadap pesan dan nilai-nilai Al-Quran dan Sunnah?

Tak ada yang bisa kami lakukan. Kebijakan pesantren sudah memutuskan untuk membangun kamar VIP. Ayah dan ratusan wali santri pun tak kuasa merubah kebijakan pesantren. Sepertinya, pengelola pesantren memillih kehilangan ratusan santri dan sekaligus kehilangan nilai-nilai demi kamar VIP itu. Kalau sistem pendidikan di pesantren seperti ini tetap saja ditumbuhkembangkan, akan bagaimana mentalitas santri kelak setelah keluar dari pesantren? Menurut ayah, sistem seperti ini hanya akan melahirkan generasi yang tidak siap dengan keprihatinan. Tidak menumbuhkembangkan generasi yang memiliki nilai juang tinggi dalam hidup, sebagaimana yang diajarakan nabi Muhammad Saw.

Seandainya aku mendapat penjelasan dari ayah sejak awal, jelaslah tak perlu ada kebingunganku, juga tak perlu terbangkitkan emosiku. Aku seratus persen berada di belakang ayah.
***

Belum lagi cukup satu pekan aku menikmati liburan di desa kelahiranku Sabrangrowo Borobudur ketika ayah dan ibu memanggil. Keduanya duduk di ruang tamu. Malam itu tak seperti biasanya; sesekali ayah dan ibu saling pandang. Aku menangkap sesuatu yang ganjil. Gerangan apa yang akan disampaikan padaku, sehingga ayah dan ibu seserius. Memang mereka marah kalau aku tidak terlihat di masjid, atau kalau aku terbuai dengan permainan tenis meja, sehingga suara adzan yang menggema dari corong masjid tak kuhiraukan. Ayah dan ibuku juga sangat marah, kalau aku lupa shalat dan mengaji hanya gara-gara ikut larut dalam taruhan burung dara. Walaupun aku tak dilarang memelihara burung dara yang menjadi hobiku Tetapi kalau sampai ketahuan aku ikut taruhan (berjudi), jelas aku harus dikurung di kamar mandi setelah disiram air kuyup.

Sungguh, aku banyak bertanya dalam hati malam itu. Sesuatu apa yang hendak disampaikan ayah dan ibu. Biasanya juga sambil bergurau, atau selesai shalat kalau ada pesan dan kesalahan, ayah dan ibu langsung menegurku. Tapi kali ini tidak.

“Alif, sebentar lagi kamu akan sekolah SMA. Jadi kamu harus lebih dewasa dalam bersikap,” ayah memulai pembicaraan. Tapi aku belum tahu kemana arah pembicaraan itu.
“Kamu tidak usah bertanya kemana mobil yang pernah kita punya. Kamu juga tidak usah bertanya kenapa sebagian perabotan rumah sudah separo hilang dari rumah ini.”

Walau masih tertanya-tanya, paling tidak pernyataan ayah sedikit banyak menjawab pertanyaan yang tak pernah kuajukan; kemana semua ‘kekayaan’ yang pernah ada dan kemudian lenyap tanpa kabar. Pertanyaan itu tak pernah kuajukan, selain terasa bukan dalam wilayah ketertarikanku, juga tak ingin ayah dan ibu marah hanya lantaran aku menanyakan hal-hal yang sepenuhnya urusan mereka.

“Alif, kamu ingin ke Palembang tidak?” pertanyaan ayah jauh dari bayangku.
“Palembang?” aku menatap ayah.

Pertanyaan itu kemudian mengingatkan aku pada pembicaraan ayah ketika aku masih di pesantren. Sebelumnya, ayah memang sempat bercerita tentang kisah perantauannya di Palembang. Tahun 1957 saat jembatan Soekarno –atau Jembatan Ampera– dibangun, ayah sempat menjadi kuli kasar ikut membangun jembatan warisan presiden pertama Indonesia itu. Tapi waktu itu ayah tak menceritakan niatnya kalau suatu ketika pada suatu malam akan bertanya tentang Palembang.

“Kalau menurut ayah itu yang terbaik, ya tidak apa-apa. Apalagi, aku anak tunggal dari ayah dan ibu. Jadi kemana ayah dan ibu pergi aku harus ikut.”

Ayah menghela napas panjang. Seperti ada perasaan lega setelah mendengar jawabanku malam itu. Ibu terlihat menyeka air matanya. Ia hanya menatapku haru. Dan entah perasaan apa lagi yang tengah bergejolak di batin ibu malam itu. Aku sulit menterjemahkan.

“Besok kita berkemas. Dan lusa kita sudah berangkat.”

Tak kuduga kalau rencana kepergian ke Palembang akan secepat itu. Tapi bagiku, ini adalah bagian dari birrul walidain (taat pada kedua orang tua). Jadi aku tak mungkin menolaknya. Lagi pula aku sudah tiga tahun merantau dan pisah dari orang tua selama di pesantren, jadi kenapa harus menolak saat ada peluang untuk hidup bahagia bersama mereka? Apapun bentuk kehidupan kedua orang tuaku kelak, aku harus ikut!

Rencana kepergian keluargaku, kontan saja mendapat tanggapan macam-mcam. Tetangga, saudara-saudara ayah dan ibu beradu argumentasi seolah-olah merekalah yang akhirnya akan memutuskan nasib kami. Pak De Dul saudara sulung ayah melarang habis-habisan dengan rencana ayah.

“Lam, yang namanya susah itu ada dimana-mana. Mau ke Sumatera kalau nasibmu susah ya tetap saja akan susah. Kalau kamu mau pergi ke Sumatera pergi saja. Alif anakmu biar ikut aku disini,” Pak De Dul dengan nada tinggi.
“Mas Dul, Alif itu anakku satu-satunya. Jadi tumpuan harapan hidupku hanya pada Alif,” ayah tak kalah tegas.
“Tapi aku tidak ingin anakmu terlantar sekolahnya. Kalau mau hidup susah di Sumatera, kamu tidak perlu bawa-bawa Alif. Cukup kalian berdua saja.”

Tak kalah bengis. Bu De Tun istri Pak De turut bicara.

“Dik Lam, yang namanya mati itu dimana saja. Disini ada mati di Sumatera juga ada mati. Kalau hanya mau mengantarkan mati ndak usah jauh-jauh ke Sumatera.”
“Tun, mati itu urusan Allah. Sekarang taruhan, siapa dulu yang mati, aku atau kamu dan Mas Dul,” ayah benar-benar tersinggung.
“Alif! Alif! sini!” ayah seketika memanggilku. Ayah ingin mendengar jawaban, apakah aku ingin tinggal di Jawa bersama Pak De Dul atau ikut dengan ayah dan ibu ke Sumatera.
“Pak De mu ini orang kaya. Bukan seperti ayahmu sekarang yang sudah tak punya apa-apa. Sekarang pilih, kamu akan tinggal di sini dengan Pak De atau ikut ayah dan ibu ke Sumatera?” ayah serius menatapku.
“Pak De, maafkan aku. Sebab, aku harus ikut ayah dan ibu ke Sumatra.”
“Semua sudah dengar apa jawaban Alif?” ayah memberi ketegasan.
“Alif, Pak De ini tidak punya anak. Tapi Pak De punya segalanya. Kamu ingin minta apa saja. Mau minta sepeda motor nanti Pak De belikan. Mau mobil tinggal pakai. Tapi syaratnya kamu harus tinggal bersama Pak De,” rayu Pak De.

Jawaban spontanku sama sekali tidak ada kaitannya dengan konflik antara ayahku dengan Pak De Dul. Tapi semua itu kulakukan karena keninginanku untuk merasakan kasih sayang ayah dan ibu, setelah tiga tahun pisah karena aku harus mondok menjadi santri.
*** bersambung

Imron Supriyadi, tamatan Fakultas Usuhuluddin Jurusan Dakwah, IAIN Raden Fatah Palembang dan menjadi jurnalis hingga sekarang. Karya-karyanya dimuat di sejumlah surat kabar.