Dokter Zhivago

Boris Pasternak (alih bahasa Trisno Sumardjo), disalin dari terbitan Djambatan, Maret 1960.

Orang beranggapan bahwa yang bertanggung-jawab tak langsung atas kerusuhan di stasiun Biryuchi adalah telegrafis di Biryuchi, Kolya Frolenko.

Kolya ini anak tukang lonceng di Melyuzeyevo dan sejak kecil sekali telah dikenal di Melyuzeyevo. Mademoiselle kenal akan dia, sebab sebagai anak kecil dia bersama beberapa bujang tinggal di Razdolnoye serta main-main di bawah pengawasannya dengan kedua anak asuhannya, yaitu putri-putri Tumenggung (waktu itulah Kolya belajar mengerti bahasa Perancis).

Biasanya orang melihat dia atas sepedanya, tanpa jas dan topi, pakai sepatu musim panas dari mota dalam iklim apapun. Dengan bersalib lengan ke dada, ia mengayuh di jalanan dari Biryuchi sambil menengadah ke kawat tiang-tiang untuk melihat keadaannya.

Hanya sedikit rumah di Melyuzeyevo yang ada teleponnya, disalurkan dengan sambungan cabag ke sentralnya di staisuin Biryuchi. Sambungan ini diawasi oleh Kolya dari kantor stasiun. Di situ ia tenggelam dalam pekerjaannya, sebab jika sep stasiun tiak ada , padanya tah hanya diserahkan telepon dan telegraf, melainkan juga sinyal-sinyal kereta apa yang dilayanio dari kamar kontrol yang sama.

Lantaran harus menjaga beberapa alat mesin sekaligus, Kolya telah mengembangkan cara bicara yang khusus, tak terang, singkat dan mengandung teka-teki, yang kalau perlu memungkinkan dia meghindari pertanyaan atau terlibat dalam percakapan. Konon ia telah menyalah-gunakan keuntungannya yang didapatnya dengan begitu pada hari keributan itu.

Memang benarlah bahwa dengan caranya menghindar itu ia telah menghancurkan segala maksud baik Galiullin dan barangkali tanpa sengaja membelokkan kejadian ke arah yang berbahaya.

Galiullin menelepon dari kota, menanyakan Komisaris Gintz yang ada di stasiun atau di dekatnya untuk menyampaikan bahwa ia akan segera menemuinya dan untuk memintanya supaya menunggu dan tidak berbuat apa-apa sebelum ia tiba. Kolya tak mau memanggil Gintz, dengan alasan bahwa ia lagi sibuk melayani sinyal untuk kereta api yang sedang datang. Pada waktu itu jug ia menggunakan tiap alasan, benar atau tidak benar, untuk memperlambat kereta api yang mengangkut tentara Kosak yang diperintahkan pergi ke Biryuchi.

Ketika pasukan-pasukan itu datang juga, ia tak dapat menyembunyikan kekecewaannya.

Lokomotif yang merangkak dalam bayangan stasiun, segera berhenti di depan jendela besar di kamar kontrol. Kolya menyingkap tirai wol hijau dengan kependekan nama perusahaan kereta api yang terjahit dengan warna kuning di pinggirannya; ia mengambil poci air besar yang berdiri atas baki lebar di tepi jendela batu, menuangkan sedikit air dalam gelas tebal dari tanah yang sederhna, minum beberapa teguk, lalu memandang ke luar.

Masinis melihatnya dari kabinnya dan mengangguk kepadanya secara bersahabat.

“Kutu busuk,” pikir Kolya dengan bencinya. Ia menjulurkan lidahnya dan mengacungkan tinju. Masinis itu tak hanya mengerti, tapi dengan mengangkat bahu serta mengangguk ke arah kereta api, ia bahkan berhasil menyatakan : “Apa harus kubuat?” Aku ingin tahu apa yang kau bikin, kalau di tempatku. Dialah yang kuasa,” Kau tetap bajingan tengik,” jawab Kolya dengan isyarat.

Kuda kuda yang dikeluarkan dari gerbong-gerbong, melawan dan bertahan. Kaki mereka mengentak dititian kayu dan mendengung di peron batu. Sambil melonjak-lonjak mereka digiring melewati beberapa sepur.

Pada ujung rel ada dua deretan kereta kayu rongsokan. Catnya sudah terbasuh bersih oleh hujan, ulat dan hawa lembab melapukkan dari dalam, hingga kereta-kereta ini sekarang kembali ke asalnya, sekeluarga dengan kayu di hutan yang tumbuhnya mulai tepat di belakang alat-alat pengangkutan, dengan lumutnya dan pohon-pohonnya serta awan-gemawan yang menjulang di atasnya.

Di luar setasiun, Kosak-Kosak itu meloncat ke pelana dan lari kencang ke perkemahan desertir di tempat terbuka dalam hutan.

Kaum pemberontak itu segera terkepung.Ssungguhpun ada bedil di pondok-pondok, namun mereka terkejut melihat para penunggang kuda itu yang seperti biasanya nampak lebih mengesankan di antara pohon-pohon dari pada di padang terbuka. Tentara Kosak menghunus pedang.

Gintz berjalan masuk lingkaran, melompat ke tumpukan kayu di tengah-tengah, lantas menegur orang-orang di sekelilingnya.

Ia bicara tentang kewajiban prajurit, tentang arti tanah-air dan tentang banyak lagi hal yang luhur-luhur. Tapi gagasan ini tak mendapat simpati dari para pendengarnya, sebab terlalu luas. Mereka telah terlalu banyak menyaksikan peperangan, hingga letih dan menjadi kasar. Semua itu sudah mereka dengar sebelumnya dan propaganda yang mengelus-elusi itu, berbulan-bulan lamanya, dari Kiri maupun Kanan, membikin mereka sinis. Kecuali itu mereka rakyat sederhana yang tak suka pada nama asing Gintz serta logat baltiknya.

Gintz merasa bahwa pidatonya terlampau panjang dan iapun terganggu oleh diri sendiri, namun ia menganggap perlu mengulangi ucapannya agar dimengerti dengan jelas oleh orang-orang ini yang selayaknya berterima kasih, tapi wajah mereka menunjukkan tak lain selain kejemuan, ketidakacuhan dan permusuhan. Lambat laun habislah kesabarannya, maka diputuskannya bicara terus terang dan mengeluarkan ancaman-ancaman yang sampai sekarang ditahan-tahannya. Dengan tiada menghiraukan gerutu yang meningkat-ningkat, ia peringatkan kaum pemberontak itu bahwa telah dibentuk mahkamah-mahkamah perang revolusioner, lalu diserukannya supaya mereka menyerahkan senjata dan para pemimpin mereka; kalau tidak, akan dihukum mati. Jika menolak, ujarnya, terbuktilah mereka penghianat keji, sampah berkepala udang yang tak tahu politik. Orang-orang itu sudah tak biasa mendengar gertakan demikian

Beratus-ratus suara mulai bergemuruh. Ada yang berendah-hati dan hampir tak menaruh denda: “Baik, baik. Berhentilah, cukup”. Tapi ada pula yang karena bencinya hampir-hampir berteriak dan mereka ini dapat sokongan. Terdengar seruan-seruan histeris: “Dengar ini melebih-lebihkan soalnya, kawan-kawan! Tak ubahnya dengan dulu! Tipu-muslihat kaum pegawai ini belum habis-habis, Jadi kita penghianat he? Dan kamu sendiri apa, yang mulia? -Bakal apa kita repotkan dia? Rupa-rupanya ia orang Jerman, infiltrator, coba lihat! – Tunjukkan kertas-kertasmu, hai ningrat. -Dan kamu melongo saja?” Berpalinglah mereka pada Kosak-Kosak: ” Kamu datang untuk memulihkan ketertiban, silakan, belenggulah kami, habisi kami”.

Tapi para Kosak itu tambah tak suka pada pidato Gintz. “Baginya kami semua babi”, gerutu mereka. “Dia anggap dirinya sendiri paling berkuasa”. Seorang demi seorang menyarungkan pedangnya; satu persatu turun dari kuda. Sesudah kebanyakan mereka meninggalkan pelana, dalam bondongan tak teratur bergeraklah mereka ke tengah tempat terbuka, bercampur dan bersahabatan dengan orang-orang dari resimen ke 212.

“Kamu harus enyah”, tutur perwira Kosak dengan khawatirnya pada Gintz. “Cepat pergilah, jangan sampai kelihatan. Mobilmu ada di silangan jalan kereta-api, akan kami kirim untuk menjemput kamu. Lekas.

Gintz pergi, tapi ia merasa tak patut mengendap-endap, maka terang-terangan ia menuju ke setasiun. Ia bukan main rusuhnya, namun ketinggian hatinya memaksanya berjalan dengan tenang, tanpa terburu-buru.

Ia dekat setasiun. Di tepi hutan yang kelihatan dari sepur-sepur, ia pertama kali melihat keliling. Prajurit-prajurt pakai bedil telah mengikutinya. ” Mereka mau apa?” pikirnya. Dia cepatkan langkahnya.

Begitu pula yang memburunya. Jarak antar mereka tak berobah. Ia melihat dua deretan kereta rongsokan, ia melangkah sampai ke belakangnya dan lari. Kereta-api, yang tadinya membawa tentara Kosak itu, telah dilangsir, hingga sepur-sepur bersih. Ia melintas disitu dan meloncat ke peron yang tinggi. Saat itu juga para prajurit lari-lari dari belakang kereta-kereta rusak.

Kolya dan kepala setasiun berseru dan melambai padanya supaya masuk ke gedung setasiun, dimana ia akan aman.

Tapi sekali lagi rasa hormat-diri yang dididikkan padanya sejak beberapa generasi, rasa hormat orang kota yang memaksanya berkorban diri, namun tragis karena tak sesuai dengan keadaan, menghalangi jalannya ke keamanan. Dengan hari berdebar liar, dicobanya dengan luar-biasa untuk mengekang ketakutannya. Ia berkata dalam hati : ” Harus kuserukan: ” Jangan kelewat buru-buru, kamu tahu saya bukan mata-mata”. Rasa kemanusiaan akan menenangka, menghentikan mereka”.

Bulan-bulan terakhir ini rasa bakti dan kepahlawanannya dengan tak sadar telah bertalian dengan penyusunan panggung dan mimbar, dengan kursi-kursi di atasnya untuk diloncati guna melontarkan seruan untuk berbuat, tantangan terhadap barisan pendengar yang berjejalan. Ia memerlukan mimbar.

Dekat pintu-pintu setasiun, di bawah genta setasiun ada sebuah ember yang dipergunakan bila ada kebakaran. Diatasnya ada tutupnya. Gintz melompat kesitu, lalu bicara sekedar kepada orang-orang yang mendekat itu dengan cara mengharukan yang tak pada tempatnya. Keberanian gila dalam sikapnya ini, dua langkah dari pintu, dimana ia mudah dapat berlindung, membuat mereka keheran-heranan hingga berhenti mengejar. Dan turunlah bedil mereka.

Tapi Gintz melangkah ke depan ke tepi tutup ember, yang menjadi terbalik, maka jatuhlah ia dengan sebelah kaki dalam air, sebelahnya lagi keluar dari ember.

Melihat dia duduk berjangkang di atas ember dengan canggungnya, orang-orang itupun ketawa gelak-gelak dan seorang yang di depan menembak Gintz dalam duduknya. Ia sudah mati, ketika yang lain-lainnya baru-baru datang serta menusukkan sangkur dalam tubuhnya.

Mademoiselle menilpun Kolya supaya Dr. Chivago dicarikan tempat duduk yang baik dalam kereta api ke Moskow ; kalau tidak ia mengancam hendak membuka rahasianya.

Seperti biasa, Kolya lagi lagi mengadakan pemibcaraan lain dan menilik potongan-potongan kecil yang menghiasi penuturannya, ia sedang mengirim kabar dengan kode melalui alat ketiga.

“Pskov, Pskov, kaudengar? – Pemberontak yang mana? Bantuan apa? Kamu bilang apa, Mademoiselle? Berhentilah bicara. – Pskov, Pskov, tiga puluh enam titik nol satu lima. – Persetan, panggilanku dipotong. – Halo, halo, tidak dengar. – Kamu lagi, Mademoiselle? Saya sudah bilang tidak bisa, tanya kepala setasiun. Seruannya bohong, dongeng belaka. – Tiga puluh enam…Persetan…Berhentilah Mademoiselle”.

Dan berkatalah Mademoiselle:

“Jangan kelabui mataka, Pskov, Pskov, ah, bohong. Kutahu muslihatmu; besok kamu sediakan tempat dikereta-api untuk dokter dan aku tak mau dengar dari kau tentang pembunuhan Judas-Judas kecil lagi”.
***bersambung