Mengapa Karen Armstrong Meninggalkan Biara

Nigar Pandrianto

Judul : Melintas Gerbang Sempit
Penulis : Karen Armstrong
Penerbit : Pustaka Promethea, Surabaya
Tebal : xvii + 555 halaman

Tiba-tiba semuanya terasa menekan, menghimpit, dan menindasnya. Peperangan batin pun terjadi. Titik klimaksnya adalah ketidakberdayaan. Akhirnya keputusan berat pun dibuat, ia lari dari sebuah dunia yang tidak lagi sanggup teratasi. Begitulah yang dialami Karen Armstrong setelah enam tahun menjalani kehidupan sebagai biarawati Katolik.

Bagi mereka yang pernah membaca buku-buku yang ditulis oleh Karen Armstrong, seperti Sejarah Tuhan, Berperang demi Tuhan atau Sejarah Islam, buku Melintas Gerbang Sempit ini tentu akan membawa ketertarikan sendiri. Mengapa demikian? Sebab, mereka ingin mengetahui mengapa dan bagaimana seorang yang pernah hidup di dalam sebuah biara, dengan doktrin dan peraturan yang ketat, bisa berbalik menjadi seorang monoteis yang sanggup berbicara banyak mengenai hal-hal di luar ke-Kristenan. Inilah yang ingin dibeberkan Karen dalam buku ini.

Ketertarikan Karen untuk menjadi seorang biarawati bermula ketika ia merasakan segala sesuatu dalam kehidupan ini hampa dan tidak bermakna. Di matanya semua orang tampak hanya mempedulikan dirinya sendiri demi kesenangan dan kemewahan. Bahkan ia juga merasa kehidupan religius keluarganya pun dirasakan sangat kurang. Padahal, baginya, memuliakan Tuhan adalah sesuatu yang paling tinggi. Ia pun yakin hidupnya akan lebih berarti jika diserahkan seluruhnya kepada Tuhan.Oleh karena itu, pada usianya yang ke tujuh belas, Karen memutuskan untuk menjadi seorang biarawati.

Karen sebenarnya sangat paham, menjalani hidup sebagai biarawati bukan perkara gampang. Sebab, dengan menjadi seorang biarawati ia harus meninggalkan keluarga dan masa mudanya. Ia juga harus membuang, melepas dan memutus mata rantai yang menghubungkannya dengan keduniawian yang pernah dijalaninya.

Tidak hanya sampai di situ, untuk menjadi seorang biarawati ia harus sanggup menundukkan insting-insting tubuh dan hidup seperti malaikat yang mengarahkan hidupnya hanya kepada Tuhan. Pada akhirnya ia juga mesti menjalani kaul kemiskinan, ketaatan dan kesucian seumur hidup. Tetapi, meskipun demikian, keinginannya untuk menjadi biarawati tidak surut. Ia sudah membulatkan tekadnya untuk seutuhnya menjadi milik Tuhan.

Pilihan Karen Armstrong untuk mengabdi kepada Tuhan secara total tidak tanpa harapan. Dengan pilihannya itu ia ingin bisa mencapai kesucian, keharmonisan, kasih dan persaudarian yang indah di dalam Tuhan. Ia ingin bisa melayani Tuhan dan menjalankan apa yang menjadi kehendakNya.
Tetapi pengalaman-pengalaman dalam biara justru membawanya pada kenyataan yang sebaliknya. Bahkan secara ekstrem, dalam pengantar buku ini, ia menyatakan bahwa ia tidak kunjung menemukan Sesuatu, yang disebut Tuhan di dalam biara.

Dalam memoarnya ini, Karen Armstrong memberikan gambaran yang jelas dan jujur betapa kaku, keras serta beratnya aturan di dalam biara. Biara kerap melakukan peraturan dan hukuman yang tidak manusiawi, merendahkan harkat, dan tidak bisa diterima oleh rasa kemanusiaan. Seperti ditulisnya dalam buku ini, Karen Armstrong pernah dijatuhi hukuman hanya karena dianggap telah melanggar aturan kesunyian biara. Hukuman dijatuhkan kepada Karen adalah berlutut, merangkak, merayap di bawah kaki meja dan mencium semua kaki biarawati yang ada di sebuah ruang makan. Pengalaman ini sangat membekas di dalam ingatan Karen.

Kerasnya aturan dan hukuman seperti di atas adalah salah satu contoh warisan ke-Kristenan dari Abad Pertengahan yang sekarang tidak populer lagi. Ciri-ciri ini sangat kental dalam kehidupan biara kala itu. Contoh lainnya adalah tradisi menyakiti diri sendiri dalam rangka “pemurnian tubuh” dengan mencambuki bagian leher hingga punggung. Cara ini dianggap bisa membuat tubuh lebih “disiplin”, tidak menjadi alat emosi diri, dan tidak memberontak terhadap keinginan yang lebih ilahi.

Intelektualitas Karen memberontak dan tegas menolak hal ini. Namun ia tetap mencoba bertahan dan menyerahkan segala bentuk kebingungannya kepada otoritasnya.Kardinal Leon Joseph Suenens, tokoh spiritual Gerakan Karismatik Katolik sedunia, kemudian mengkritik metode pendidikan dan pelatihan novis secara tradisional seperti di atas seperti ditulisnya dalam buku The Nun in The Modern World. Ia menganggap pendidikan dan pelatihan novis harus mengalami pembaruan. Mekipun gerakan ini didukung penuh oleh Gereja, tetapi pembaruan tidak terjadi secara radikal, dan tidak menyentuh prinsip dasar Ordo. Artinya, didalam Ordo, ketaatan “membabi buta” tetap menjadi prioritas tanpa mempertimbangkan akal sehat para novis.

Keadaan seperti ini memang berubah setelah Konsili Vatikan II diselenggarakan di Roma pada tahun 1965. Salah satu hasil dari Konsili ini adalah, peranan gereja (Katolik Roma) di tengah dunia modern harus lebih nyata dan besar. Konsili ini menyimpulkan bahwa gereja harus lebih menerima kebebasan di masa depan. Semangat inilah yang kini terus menjiwai perjalanan Gereja Katolik.
Semakin lama, Karen semakin banyak menemukan irrasionalitas dalam kehidupan biara. Kekritisannya mulai mengusik. Tetapi otoritas dalam biara selalu berusaha keras menindas kekritisan tersebut.

Alasannya, kekritisan adalah bentuk lain dari pemberontakan dan ketidaksiapan dalam memenuhi kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan hanya satu, adalah apa yang diperintahkan-Nya kepada ordo.
Setiap kali Karen mencoba memberikan ruang pada daya nalar, otoritas biara selalu menghentikannya. Padahal Karen menemui banyak sekali hal yang tidak masuk akal dalam biara. Pada fase ini Karen sadar bahawa melayani Tuhan tidak bisa dinalar oleh akal sehat. Akhirnya kehidupan religius menjadi sejenis kegilaan (hal.315).

Misalnya saja sewaktu Karen menerima tugas untuk memimpin pengakuan dosa sekelompok anak Sekolah Minggu. Baginya hal ini adalah mustahil, sebab anak-anak pun belum memahami konsepsi dosa dan bersalah. Dalam hal ini Karen merasa dirinya telah memompakan mekanisme bersalah Katolik kepada mereka (hal. 390). Ketika ia mempertanyakan ‘pemaksaan’ ini kepada seorang Pastor, sang pastor menjawab bahwa Karen hanya harus melakukannya, dan sakramen akan bekerja secara otomatis. Sementara itu, hasilnya hanya bisa diketahui melalui iman.

Juga sangat menarik catatan pembicaraan Karen dengan seorang suster pembimbimbing dalam biara yang ditulis dalam buku ini. Ketika itu Karen tengah mempertanyakan esai mengenai Kebangkitan Kristus yang ditulisnya sendiri. Di dalam esai tersebut, Karen berhasil mengubah fakta halus dan simbolis dari Injil menjadi fakta historis, sehingga iman bisa dinalar secara logis. Selanjutnya ditulis dalam buku ini (hal. 303),

“Namun, Suster,” kataku perlahan, menatapnya dengan hati-hati. “Bukankah tidak benar semua apa yang telah kutulis itu, bukan?” Kesunyian muncul di antara kami. Beliau mendesah, dan meletakkan tangannya di bawah wimple-nya dalam sikap yang khas dan menggelengkan kepalanya dengan keras. Suaranya, saat berbicara, terdengar lelah. “Tidak Suster,” katanya datar. “Itu memang tidak benar, namun tolong jangan katakan itu pada para novis yang lain.”

Pemikiran Karen memang sangat radikal, yang untuk sebagian orang dianggap berbahaya karena bisa meruntuhkan iman. Tapi itu memang konsekuensi logis dari orang yang terus berpikir untuk mencari kebenaran. Karen berhasil menggeser “titik berdiri” untuk melihat sisi lain dari kebenaran agama. Sayangnya hanya sedikit orang yang berani memandang secara kritis keyakinan-keyakinan yang sudah terinteriorisasi dalam pikirannya.
***

Pengalaman-pengalaman Karen yang dikisahkan dalam buku ini memberikan cakrawala kepada pembacanya, bahwa agama sangat cenderung tertutup, bahkan manipulatif. Apalagi jika mengingat teks-teks agama sangat terbuka untuk diinterpretasikan sesuai dengan frame, kepentingan dan tujuan tertentu. Buku ini juga kembali mengingatkan kepada kita bahwa aturan-aturan baku keagamaan harus selalu disikapi dengan kritis. Tanpa sikap semacam ini iman dan kepercayaan bisa menjadi destruktif, melahirkan permusuhan dan menebar kebencian seperti yang sudah diperlihatkan oleh sejarah. Sedangkan ketaatan yang dihasilkannya tidak lebih dari mentalitas penghambaan terhadap otoritas tanpa kekritisan.

Melintasi Gerbang Sempit memang menarik untuk dibaca. Selain narasi yang sangat lancar, pergumulan dan konflik personal Karen selalu mengundang keingintahuan pembaca. Ia sepertinya cukup bisa memilih bagian-bagian mana saja dari kehidupannya selama berada di dalam biara yang ‘cocok’ untuk ditampilkan kepada pembaca.

Penerbitan buku ini juga, paling tidak, bisa melengkapi penerbitan buku-buku Karen yang sudah terbit sebelumnya di Indonesia. Dengan demikian kita bisa lebih memahami arus dan alam pemikiran Karen secara lebih komprehensif.