Batanghari dan Keponakanku

Syam Asinar Radjam.
: Reza Hikmatullah

Aku masih belum lupa rasanya, bagaimana sampai banyak orang kemudian membawa teran dan ember serta telur kerengga atau cacing sebagai umpan. Masih ingat pula bagaimana batanghari di dusun kami itu dulunya hitam berjelaga. Bahkan para pendatang dari pulau Jawa yang kemudian berkampung juga di pesisir sungai lebih suka menyebutnya Kali Minyak, bukan dengan nama yang sering kami sebut. Nah, soal penamaan oleh mereka ini yang aku bukan hanya lupa tapi memang tidak tahu alasannya.

Terlepas apa pun, tapi aku disadarkan bahwa desa tidak seindah seperti yang aku baca di karangan-karanganku semasa sekolah dasar, yang oleh guru bahasa indonesia di suruh menulis dengan judul berlibur di desa, atau berlibur ke rumah nenek –di desa. Kali Minyak ini menyadarkanku bahwa tidak semua desa terbebas dari cemaran dunia metropolis yang jauh dari cemaran pabrik dan penurunan moral.

“Banyak?” Aku menanyai Lik Doyo, yang memanggul teran membawa ember menuju rumahnya.
“Ya, lihatlah sendiri. Biasa.” Mulutnya menyungging senyum.

Aku akhirnya tak perlu melihat ember bekas wadah cat yang ditutupinya daun keladi. Cukup membaca senyumnya saja.

Malam ini pasti rumahnya berbau seluang garing.

Kulanjutkan jalanku bersama keponakanku. Kami menuju batanghari yang tak pernah kumandi di sana. Dulu. Dan kami berhenti di bawah batang bungur yang sedang berbunga merah. Ada kertas bekas bungkus nasi, kuajari dia berorigami membuat kapal kertas. Kami melepasnya dekat pangkal jerambah.

Keponakanku memperhatikan dengan senang sampai kapal kertas menjauhi batas pandangan mata, menghilir. Sayang dia belum bisa mengerti banyak dan belum dapat berkomunikasi dengan lancar. Sampai satu saat aku akan bercerita banyak tentang batanghari ini.

“Hei, sedang mengasuh?” Seorang menegur.
Mang Suar rupanya. Aku hanya mengangguk. Dia membawa teran pancing.
“Mereka tidak membuang minyak lagi, Anak Buah,” Mang Suar berkata padaku.
Aku mengiyakan.
“Tapi masih perlu dipantau terus.”
Aku juga mengiyakan.
“Mereka sudah membuat sumur-sumur. Sebagai bentuk sumbangan ke masyarakat.”
“Itu memang sudah kewajiban mereka yang mengambil kekayaan alam dusun kita, Mang.” Aku mencoba menyanggah.
“Ya, karena selama ini kekayaan itu dibawa mereka saja. Ke Jakarta, di setor ke Amerika,… atau entah ke kantong sendiri. Kita kebagian tahi minyak saja.” Mang Suar seperti berkeluh kepada dirinya sendiri.

Lalu Mang Suar beranjak dari pangkal jembatan menju lubuk. Di akar batang rengas dia berhenti. Membuka bungkusan daun pisang, mengeluarkan cacing. Dipotongnya cacing seukuran mata kai. Lalu, plung.

Lemparan mata kail ke air membuat bulatan gelombang yang membesar, menghilang.

Mulanya aku hanya ingin memperhatikan dari jauh, lalu pulang jika matahari meninggi. Karena jika pulang sekarang, keponakanku pasti merengut. Terlanjur jika sudah melihat batanghari. Keponakanku menarik tungkai lengan kiriku, mengajaknya ke dekat pohon Rengas.

Aku mau saja menolak, karena dia serta merta melepas bajunya biasanya. Kepingin mandi di batanghari. Aku biasanya meringis saja, sebab aku sendiri belum pernah mandi di batanghari ini. Seumur aku, hampir seperempat abad.

Kemudian beranjak juga kami dari pangkal jerambah, mendekati Mang Suar. Kailnya seperti ditarik dari bawah. Pelampung dari busa sendal itu timbul tenggelam kecil. Tapi pemegang teran membiarkan saja. Sering sesekali setap diangkat, seluang terkait bibirnya. Kemudian berpindah ke dalam ember. Tak jarang Mang Suar hanya mendapati kailnya bersih tanpa umpan lagi.

“Ya, sudah bagus dibandingkan dulu, sekalipun masih seluang yang banyak.”
“Mengapa tak meminta mereka untuk menanam bibit ikan, bukankah itu juga bagian dari rehabilitasi sungai seperti kesepakatan kalian dulu?” Aku memancing.
“Aku pikir mereka tak harus disuruh, toh?” Kami tertawa. Keponakanku mungkin tidak mengerti. Dia malah melempar-lempar daun kering ke air sungai. Air sungai yang tak lagi hitam, tak lagi berjelagah, tak lagi berlinang seperti dilapisi minyak. Meski tidak jernih tening-tening. Bahasa dusun kami begitu untuk menyebut sesuatu yang sangat jernih. Karena dasarnya masih tertutup lumpur yang lama, belum seluruhnya terbilas gerus arus.
“Bagaimana Mamang bisa mengukur bahwa mereka tidak pernah lagi membuang minyak?” Aku memancing otak Mang Suar.
“Kalau ikan berkurang lagi, atau malah habis, ada yang tidak beres berarti.” Dia tertawa. “Dan kami akan berbaris berduyun lagi mendatangi mereka,” dia mengimbuhkan pula.
“Andot, mandi!” Dia berkata kepadaku. Tangannya sudah siap melepas kausnya. Dia memang memanggilku dengan nama saja, tak harus memakai sebutan Oom, atau Mamang.

Aku melompat menahannya. Kubisikan sesuatu ke telinga dia. Dia tak dengar apa-apa mungkin, kecuali larangan. Karena aku hanya menemaninya mengenali kampung diumurnya sekarang. Mengenalkan batanghari, mengenalkan belukar karamunting, mengenalkannya pada bunga merawan, mengenalkan buah para, mengenalkan wangi getah karet, mengenalkan pacat, mengenalkan jalan setapak, burung, kupu-kupu, kumbang penyengat, sinar matahari pagi. Suatu saat akan kusilahkan saja dia mau berenang di lebak, di banatang hari, dia memetik kelapa muda, mencuri ubi tetangga. Jika bisa akan kusertai pula. Suatu saat, bukan sekarang.

Aku membaca raut kesedihan, juga warna premberontakan. Dan aku senang. Kuberi dia satu permen. Dia menelannya. Bungkusnya dia hanyutkan ke air yang mengalir. Aku tak tahu harus berkata apa.

“Hei jangan buang sampah di batanghari,” Nasehat Mang Suar.
Mungkin keponakanku tak mengerti. Mungkin malah tak mendengar.
“Mang Suar, malam nanti aku ke rumah.”
“Boleh, nanti kupanggil pula Mang Mardin, Sunar, Iwin, dan yang lain.”
“Salir, juga. Kami pulang sekarang.” Lalu kuajak keponakanku. Dia tak mau kalau tidak dibujuk akan dibelikan permen.
***

Hampir tengah malam aku baru pulang dari tempat kumpul, rumah Mang Suar. Mengukur kemajuan kerja mereka meminta perusahaan bertanggungjawab atas berjelaganya batanghari dusun kami. Bertanggung jawab atas ketidakadilan pembangunan. Sekarang batanghari sudah dibersihkan, perusahaan tidak lagi pula membuang kotoran cair, sumur dibuatkan, mereka mengakui bahwa mereka sudah merusak, dan siap mengganti rugi semuanya.

Tapi belum ada ganti rugi, entah kenapa.

Kudapati keponakanku tidur. Kelak jika dia bangun, suatu saat akan kuceritakan lebih banyak tentang batanghari dusun kami. Kalau dia sudah bisa memancing. Akan kuceritakan pula batanghari itu bersih bukan dengan sendirinya. Bukan kebaikan hati perusahaan semata. Tapi juga karena Mang Suar, dengan barisan kawan-kawannya yang mendatangi perusahaan. Suatu saat pasti kuceritakan, setiap dia mau tidur. * ***

Catatan:
Kerengga : sejenis semut berwarna merah dan hidup di pohon, telurnya bisanya digunakan sebagai umpan pancing. Masyarakat Sunda menyebutnya Kararangge
Teran : (teghan) dalam bahasa prabumulih berarti tangkai pancing/ joran.
Seluang : Sejenis ikan sungai
Bungur : Sejenis tumbuhan berbunga merah
Anak buah : (Rambang) keponakan
Jernih tening-tening : ungkapan masyarakat rambang untuk menyebut kondisi air yang sangat jernih.