Juaro, Kekerasan di Tepi Sungai Musi

Ronny Nova

Judul Buku : Juaro
Penulis : T. Wijaya
Halaman : 164 halaman
Tahun : Maret, 2005
Penerbit : Pustaka Melayu

Pada saat Soeharto berkuasa, pembangunan merupakan momok yang menakutkan bagi rakyat; setiap kali akan dibangun sebuah pabrik, perkantoran atau perkebunan, pasti akan terjadi penggusuran lahan milik rakyat.

Sebenarnya penggusuran bukan suatu persoalan apabila antara pemerintah dengan rakyat terjalin suatu kesepakatan. Namun, yang menjadi persoalan, setiap kali pemerintah akan melakukan penggusuran atau pembebasan lahan, selalu memunculkan tindak kekerasan atau ganti rugi yang tidak seimbang, yang selalu merugikan rakyat. Melulu melahirkan pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan hidup.

Tapi bagaimana karakter pembangunan setelah Soeharto jatuh, apakah setiap kali pembebasan lahan tidak akan melahirkan kekerasan atau pelanggaran hak asasi manusia?

Novel Juaro milik T. Wijaya tampaknya ingin menjawab pertanyaan itu. Melalui narasi reportase, Juaro ingin menggambarkan bahwa kekerasan terhadap rakyat tetap berlangsung dalam proses sebuah pembangunan.

Yang menarik, bila di era Soeharto, Juaro menggambarkan aktor kekerasan itu adalah birokrat sipil, aparat militer, dan polisi, maka setelah Soeharto jatuh pelaku kekerasan itu kian bertambah. Bukan hanya birokrat sipil, polisi, dan militer, tapi aktornya bertambah lagi seperti bandit, pers, mahasiswa, dan aktifis LSM. Padahal sebelumnya, pers, mahasiswa, dan aktifis LSM turut bersama rakyat dalam menentang kepemimpinan Soeharto.

Singkat kata, Juaro ingin mengatakan baik di era Soeharto maupun setelah Soeharto jatuh, pemenangnya –selalu dan tetap saja– pemilik modal, yang sangat berperan dalam sebuah pembangunan. Tepatnya, seorang bandit yang menjadi pengusaha gelap –tokoh Albert Membara– dapat terpilih menjadi Walikota Palembang melalui pemilihan langsung.

Dengan setting masyarakat tepian Sungai Musi, tepatnya di kampung 7 Ulu Palembang, T. Wijaya menguraikan karakter masyarakat miskin yang biasa dengan kekerasan, yang diturunkan dari sistem hukum, ekonomi, dan politik yang menyebabkan kaum miskin kota juga melakukan kekerasan. Kekerasan yang muncul terhadap diri mereka, keluarga mereka, atau lingkungan mereka. Di mata kaum moralis, baik kaum miskin kota dan penguasa paska Soeharto justru bersama-sama melakukan perbuatan yang tidak bermoral. Berdosa.

Penguasa menggusur lahan, kaum miskin kota merampok atau bunuh diri. Bahkan, di dalam novel Juaro ini, seorang aktifis LSM –yang membela masyarakat 7 Ulu yang akan digusur guna pembangunan sebuah hotel milik seorang pengusaha– juga melakukan kekerasan; seperti tokoh Putra yang meminta Yulia, pacarnya, untuk menggugurkan kandungannya.

Cara bertutur Juaro, seperti halnya tema ceritanya, ruwet. Misalnya pembaca diajak jalan-jalan dalam sejarah kekerasan yang dapat muncul di tengah-tengah narasi; kita diajak ke masa lalu, hari ini, masa depan dan kembali ke masa lalu. Meskipun demikian, justru cara bertutur seperti ini menjadi kekuatan Juaro. Dari narasi, dialog, dan struktur penceritaan, orang benar-benar merasakan dampak dari sebuah kekerasan. Juaro bukan memberikan kesejukkan, tapi memberi realitas yang membuat kita sesak dan mentertawakan diri sendiri.

Persoalannya, para pembaca yang tidak mengerti bahasa wong Palembang, akan mengalami kegagapan dalam membaca Juaro. Dalam setiap dialog para tokohnya, hampir 60 persen menggunakan bahasa sehari-hari wong Palembang. Untungnya novel ini juga dilengkapi kamus bahasa Palembang, sehingga meskipun lamban, dapat membimbing pembaca yang tidak mengerti bahasa Palembang.

TAGS :