Ceritera Dibalik Nama

Ismeyd Babel

Aku bukan orang India. Sumpah. Dalam tubuhku, tak sedikit pun mengalir air sungai Gangga yang suci. Aku juga bukan orang Arab. Lihat saja hidungku, sama sekali tak mirip hidung onta. Aku pituin orang Sunda. Aku lahir di Rengasdengklok, kota kecil di Timur Jakarta yang menjadi bagian dari kabupaten Karawang. Tapi aku punya nama yang berasal dari dua negeri itu; Raja Sulton. Hebat, bukan?

Ya, kupikir ini nama yang luar biasa. ‘Raja’ dan ‘Sulton’ itu kan satu makna, Sama-sama berarti ‘penguasa.’ Jadi, Raja Sulton berarti yang merajai penguasa.

Barangkali kau menganggapnya berlebihan. Barangkali kau berpendapat aku tak pantas menggunakan nama itu. Boleh saja, silakan saja. Tapi jangan pernah memintaku menggantinya. Soalnya repot sekali. Aku harus siapkan upacara selamatan, lengkap dengan bubur merah, bubur putih, nasi kuning, kacang hijau, kerupuk ungu, sambal biru dan berjenis-jenis makanan yang lain dengan berbagai variasi warna. Belum lagi aku harus mengundang pak ustadz pendo’a yang tak mau datang kecuali dijemput pakai motor dan dikasih amplop waktu pulang. Wah repot. Jadi, sudahlah, terima saja namaku begitu. Tak usah repot-repot.

Kata ibu, sebenarnya pada awalnya ayahku hanya memberiku nama Raja, tanpa tambahan Sulton. Tapi rupanya nama itu kurang berkenan di hati Bah Damdar, kakekku yang baru saja pulang dari Mekah, sehabis menunaikan ibadah haji. Kakek mengusulkan agar namaku diganti menjadi Sulton. Sama-sama artinya dengan raja, tapi dari bahasa Arab.

“Sulton itu dari bahasa Arab, bahasanya Al-Qur’an, jadi lebih berkah,” kakek berargumen.

Memang sejak mendapat gelar haji, kakekku yang dituakan di kampung ini jadi makin relijius. Hampir setiap hal selalu ia kaitkan dengan agama. Celakanya, kakek kadang tidak bisa membedakan mana yang Islam dan mana yang Arab. Kalau sembahyang misalnya, kakek hamper tak pernah lagi memakai pakaian biasa, kecuali jubah panjang yang dibelinya di Mekah sana. Mungkin kakek berpikir, dengan mengenakan jubah panjang yang mirip daster orang hamil, pahala sembahyangnya akan lebih banyak ketimbang mengenakan baju kemeja, apalagi model batik yang asli Indonesia.

Perbincangan mengenai namaku itu sempat memanas ketika ayaku menolak utusan mertuanya. Nampaknya ia merasa lebih berhak memberiku nama, karena aku adalah anaknya, makhluk yang lahir hasil benih yang ditanamnya di rahim istrinya. Dan sebagai salah seorang yang masih memiliki darah bangsawan Sunda, ia cepat merasa tersinggung ketika ada orang lain yang mencoba menentang keputusannya –biar mertuanya sekalipun.

“Kalau menurut saya, Pak, berkah dan tidak berkah itu dari perilaku kita, bukan dari nama,” demikian ayaku mendebat.
Rupanya kakek haji pun tak mau kalah, ia kembali berdalil, “Tapi ingat Jang, kata Nabi nama itu doa, makanya kalau cari nama harus yang bagus.”
“ Yang bagus kan tidak harus dari bahasa Arab. Bahasa yang lain juga bagus. Toh semuanya Tuhan yang menciptakan. Kalau yang bukan Arab tidak bagus, nama Bapak sendiri juga tidak bagus dong,” ujar ayahku tak mau kalah.

Kakek sepertinya terpojok. Ia terdiam sejenak, namun dari wajahnya tampak kalau dia kurang senang dengan perdebatan itu.

“Biar lebih keren, namanya pakai bahasa Inggris saja, King,” tiba-tiba Mang Asep, salah seorang adik ibu nyeletuk.
“Mendingan namanya Kaisar, kayak raja jaman dulu,” ujar yang lain.
“Hus, kalian ini ada-ada saja,” kakek mendengus.

Di tengah percakapan yang hampir buntu itu, nenek yang sedari tadi menyimak obrolan kaum lelaki tiba-tiba bersuara;“Ya sudah, daripada bingung-bingung, mending namanya disatukan saja, jadi Raja Sulton, gimana?”

Ternyata, usul nenek itu disetujui oleh hampir semua yang hadir. Dan sejak itu, resmilah namaku menjadi Raja Sulton.

Ironisnya, nama yang dihasilkan melalui perdebatan itu tak pernah muncul dalam kehidupan sehari-hariku. Yang muncul justru sebutan-sebutan. Sepertinya setiap orang merasa berat memanggil dengan nama lengkapku. Orang-orang justru memilih sebutan yang menurut mereka lebih mudah diucapkan, seperti Tonton, Enton, Uton atau Oton. Bahkan ada juga salah seorang temanku yang cadel memanggilku dengan sebutan yang terdengar agak konyol; Otoy. Parahnya, teman-temanku yang lain jadi ikut-ikutan memanggilku Otoy.

Untunglah kekonyolan itu tak berlarut. Aku tak tahu apa sebabnya, mungkin karena mereka sadar, dengan wajah yang sebegini imut aku sama sekali tak pantas dipanggil dengan sebutan kampungan itu. Dan dari sekian banyak panggilan yang kuteirma, Tonton menjadi yang paling umum dipakai orang, termasuk oleh kedua orang tuaku.

Ada lagi kisah lain yang pernah diceritakan ibu tentang masa kecilku. Katanya, ketika usiaku hamper dua bulan, aku mulai sering sakit. Paling sering aku kena demam. Kadang disertai batuk yang berkepanjangan. Di waktu lain, aku mencret-mencret. Dan yang paling membuat ibuku jengkel adalah kebiasaanku menangis malam hari. Bahkan kalau sedang parah, aku bisa menghabiskan sepenuh malam untuk memperdengarkan suara tangisku. Akibatnya, ibuku harus bekerja ekstra, melewatkan malam tanpa tidur hanya untuk menungguiku.

Ayah dan ibuku sudah bolak-balik membawaku ke puskesmas untuk berobat. Di desaku memang hanya puskesmas dengan beberapa orang mantri kesehatan saja sebagai satu-satunya sarana kesehatan bagi masyarakat. Tapi hasilnya nihil. Sakitku tetap tak tersembuhkan, malah kelihatannya lebih parah. Kebiasaanku menangis malam-malam pun semakin menjadi-jadi.

Melihat cucunya terus didera penyakit, nenekku mengusulkan agar ibu membawaku ke Mak Ninta. Di kampungku, nama Mak Ninta memang sudah tak asing lagi. Perempuan tua 60 tahunan itu dikenal sebagai dukun khusus menangani anak kecil. Sampai saat ini, masih banyak orang di kampung yang mempercayakan pengobatan anak-anak mereka pada Mak Ninta, seakan-akan dia adalah dokter spesialis anak. Bahkan, menurut nenek, sebelum ada puskesmas, Mak Nintalah satu-satunya tumpuan orang-orang sekampung ketika anak mereka sakit.

Ibuku menurut saja usul nenek itu. Mereka berdua pun segera merencanakan untuk membawaku ke rumah Mak Ninta. Tapi rencana itu hampir saja urung dilaksanakan. Karena ketika ibu memberi tahu ayah tentang usul itu, ayah justru melarangnya. Ayahku memang dikenal tidak suka dengan segala yang berbau mistik.

“Buat apa dibawa ke Mak Ninta, Musrik. Nanti biar saya bawa ke rumah sakit di Karawang,” ucap ayah ketika itu.

Namun atas bujukan nenek, akhirnya ibu tetap membawaku ke Mak Ninta. Tentu saja itu dilakukan tanpa sepengetahuan ayah. “Sudah, tenang saja, suamimu tidak bakal tahu,” ujar nenek mencoba meyakinkan ibuku yang tampaknya masih ragu.

“Namanya siapa?” Tanya mak Ninta ketika ibu dan aku serta nenek sudah berada di hadapannya. Dengan jemarinya yang sudah mengeriput, Mak Ninta mengambil beberapa lembar sirih dan sebutir kecil gambir yang segera dicampur dan dikunyahnya.

“Si Enton, Mak” jawab nenek . Enton adalah panggil khusus nenek untukku.
“Enton?” Mak Ninta mengernyitkan dahinya. Ia nampak belum puas, karena seingatnya anak yang bernama Enton di desa itu tak cuma satu. Beberapa kali ia mengobati anak kecil dengan nama yang sama.
“Enton apa?” akhirnya Mak Ninta kembali bertanya. Nenekku sempat terkejut ditanya begitu. Karena terbiasa memanggil cucunya dengan nama Enton, ia lupa dengan namaku yang sebenarnya.
“Raja Sulton, Mak” sekarang giliran ibu yang menjawab.
“Iya, mak, Raja Sulton” nenek mengulang. Ia nampak agak malu.

Mak ninta kembali menguyah sirihnya. Bibirnya kini sudah memerah berkilat karena cairan ludah bercampur gambir yang menetes ke luar mulutnya.
“Heh, Raja Sulton, nama yang sangat bagus,” ujar Mak Ninta manggut-manggut sambil terus mengunyah sirih.
“ Mari, sini berikan anakmu, Nong. Biar kubawa dia ke dalam sebentar, kamu dan si Ambu biar tungggu di sini saja,” ujar Mak Ninta. Sambil mengulurkan tangannya ke arahku. Ibu segera melepasku dari gendongannya dan menyodorkan ke tangan dukun anak itu.

Saat itulah aku menangis kuat sekali. Saking kuatnya, Jeritanku itu membuat mak Ninta terkejut, dan nyaris saja aku terlepas dari gendongannya. Untunglah ibu cukup sigap. Dengan cepat tangannya meraih tubuhku hingga tak terjatuh.

“Wah, tangisan raden, kuat sekali…” ujar mak Ninta sejurus kemudian. Dari raut mukanya, ia masih nampak kaget.

Beberapa saat kemudian, setelah tangisku mereda, Mak Ninta lalu menyuruh ibuku membawaku ke kamar pengobatan. Kamar itulah yang menjadi tempat mak Ninta biasa melakukan pengobatan terhadap anak-anak kecil.

Di dalam kamar, ibu duduk berhadap-hadapan dengan Mak Ninta. Selembar tikar jerami yang telah mencokelat mengalasi bagian bawah tubuh mereka. Mak Ninta lalu membakar dupa yang sebelumnya sudah tersaji. Asap tipis pun mulai mengepul dari dupa yang terbakar itu. Dalam sekejap, kamar sempit itu pun mulai disesaki asap dengan tebaran bau dupa yang cukup menyengat.

Aku kembali menangis, tapi tak sekras sebelumnya. Paru-paru kecilku rupanya belum terbiasa dengan hirupan asap dupa itu. Menyadari itu, ibu lalu menggeser duduknya kagak ke belakang, menjauhkan aku dari jangkauan asap dupa yang menyengat. Ia sendiri kurang menyukai bebauan itu. Sementara Mak Ninta mulai berkomat-kamit membisikkan kalimat mantera –kalimat yang asing di telinga ibu. Nampaknya perempuan tua itu sama sekali tak terpengaruh dengan asap yang kian memenuhi ruangan.

“ Kesinikan anakmu, Nong, dekatkan padaku” ucap Mak Ninta di tengah keheningan, seraya melambaikan tangannya kea rah ibu. Ibu kembali menggeser duduknya ke depan Mak Ninta. Dukun anak itu lalu meletakkan kedua telapak tangannya di atas wadah dupa, kemudian diusapkannya kedua tangan itu ke wajahku. Mak Ninta mengulang hal itu sampai Beberapa kali.

Masih diperlukan beberapa menit lagi untuk menunggu sampai sang dukun menyelesaikan membaca manteranya. Setelah itu, Mak Ninta menyuruh ibuku keluar dari kamar. Ia sendiri menyusul kemudian.

Gimana, Mak? Apa sakit si Enton?” Tanya ibuku ketika sudah di luar. Ia nampak tak sabar.

“Mak sudah Tanya-tanya sama leluhur, kata mereka anakmu ini harus diganti namanya. Yang sekarang, siapa tadi…”
“Raja Sulton, Mak”
“Ya, itu, Raja…Sul..ton, ya, itu, terlalu berat buat dia. Harus diganti,”
Ibu dan nenekku hanya saling pandang.
“Bagaimana, Ambu?” bisik ibu pada nenek.
“Mhhh…” nenek tak melanjutkan perkataannya karena tiba-tiba Mak Ninta berucap, “Jangan ditunda lagi, segera, kasihan anakmu ini, Nong.”

“Ya, Mak” jawab nenek dan ibu hamper bersamaan.

Ketika kami kembali ke rumah, tanpa diduga ayah tengah menunggu. Rupanya ia diberitahu Bi Enti, salah seorang sepupu ibu, kalau aku dibawa ke rumah Mak Ninta, dukun anak. Bi Enti tidak tahu kalau ayahku anti dukun.

Ayah betul-betul marah. Namun, ia masih berusaha menahan kemarahannya sampai nenek pulang ke rumahnya. Sepeninggal nenek, barulah ayah melampiaskan kemarahannya. Ia mendamprat ibu habis-habisan.

Seperti biasa, ibu hanya diam, sama sekali tak membantah. Ibu tahu, hanya dengan cara itulah ia bisa meredam marah suaminya. Karena ayah memang tak suka ada yang menyela ketika berbicara, apalagi menentang kemarahannya. Ibu hanya bisa menggeram dalam hati, menyalahkan Bi Enti yang dianggapnya biang keladi.

“Dasar si Enti kurang ajar, awas kalau ketemu nanti!” ibuku membatin.

Besok paginya, ayah lalu membawaku ke rumah sakit di Karawang. Saat itu, memang belum ada tanda-tanda aku akan sembuh. Bahkan semalaman demamku kembali meninggi dan aku pun tak henti-hentinya menangis.

Menurut ceritera ibuku, sampai beberapa hari kemudian, aku tetap seperti itu. Ibu semakin kerepotan dibuatnya. Sampai-sampai setiap malam, nenek harus menginap di rumahku, menemani ibu menunggui si kecil yang terus rewel.

Hingga suatu malam, tiba-tiba nenek teringat sesuatu.

“Apa mungkin ini penyebabnya?” gumam nenek. Pernyataan yang tiba-tiba itu karuan saja mengundang tanya ibuku.
“Apaan, Ambu?”
“Ini, yang bikin si Enton nangis terus,” jawab nenek.
“Maksudnya?” ibu kembali bertanya, ia belum mengerti.
“Nong ingat tidak Ambu Siti pernah bernadzar kalau anakmu nanti laki-laki dia akan menyelimutinya dengan kain batik baru?”

Ibuku terdiam sejenak mengkorek-korek memorinya tentang Ambu Sari, neneknya. Betul, ia sekarang ingat. Ketika tahu ia mengandung, Ambu Sari berjanji kalau nanti jabang bayi yang lahir itu laki-laki, maka mbah buyutku itu akan menggendongnya dengan sarung batik baru yang dibelinya dari Pak Ocin, pedagang batik kenamaan di desaku.

“Doain ambu panjang umur, Nong, biar bisa lihat bayimu dan bisa ngelaksanain nadzarku,” ucap Ambu Sari yang saat itu tengah sakit.
“Kalau Ambu keburu pergi, bagaimana?” tanya ibuku.
“ya biar diganti sama ibumu”

Benar saja, seminggu setelah mengatakan nadzarnya itu, Ambu Sari menghembuskan napas terakhir. Sayangnya, saat kelahiranku tiba, baik ibu maupun nenekku tak teringat untuk meluluskan pesan mbah buyutku itu.
“Bagaimana, Nong ingat tidak?” nenek bertanya membuyarkan lamunan ibuku.
“ Ya, Nong ingat, terus sekarang bagaimana, Ambu?” Tanya ibu kemudian.

Tanpa menjawab, nenek langsung beranjak keluar menuju pondoknya. Selang beberapa menit kemudian, perempuan tua itu kembali dengan mengempit sebuah bungkusan plastik biru berisi kain batik baru yang berwarna ungu. Dengan kain batik itulah kemudian ia menggendongku. Dengan kain batik itu pula, nenek membawaku ke kuburan mbah Buyut yang berada tak jauh di belakang pondokannya.

“Ambu, ini buyutmu, si …ah, aku lupa namanya, si…Enton, sudah lahir. Seperti permintaan Ambu, aku sudah menggendongnya dengan kain batik baru yang Ambu beli dari Pak Ocin” ujar nenekku sembari menaruh aku di atas gundukan tanah kuburan Ambu Sari yang sudah mulai mengering. Seakan ikut terhanyut dalam suasana ritus yang tengah dilakukan si nenek, aku tiba-tiba terdiam dari tangis yang sedari tadi menemaniku.

“Ah, dia berhenti menangis, Ambu. Lihatlah dia menatap kuburanmu, aha, lihatlah betapa tampannya buyutmu ini” nenek terus berseloroh.

Ibuku dari belakang hanya terpana melihat peristiwa itu. Dan lebih terpana lagi karena aku dibaringkan di atas gundukan kering kuburan.

Entahlah, tapi sampai sekarang, memasuki usia yang ke 28 tahun, kawan-kawan dekatku menyebutku Raja Sulton Kubur. Kata mereka, sejak kecil dulu aku tidak takut main-main di kuburan dan mereka suatu kali menemukanku tertidur di atas kuburan Cina kuno, yang sekarang sudah digusur untuk jadi pusat pertokoan.

Akan halnya teriakan tangisku jelas sudah tidak terdengar lagi, dan ibuku berhasil menjaga rahasia kunjungan ke kuburan itu dari ayahku, yang terbengong-bengong melihat suhu tubuhku turun normal sepulang dari kuburan Ambu Sari.

Dan suatu kali Ibu pernah berbisik kepadaku; “kalau anakmu nanti kelak panas dingin tidak karuan, bawa ke kuburan nenek.” Aku sempat mau bertanya lebih jau tapi ibu memutusnya.

“Kalau kau mau, kalau tidak, ya tidak apa-apa. Terserah kau, tapi Ibu tidak mau membicarakan lebih banyak.”