Dokter Zhivago
Boris Pasternak
(alih bahasa Trisno Sumardjo), disalin dari terbitan Djambatan, Maret 1960)
Ia dapat melihat tepi jalan kereta api lebih tinggi di bukit stasiun serta lingkungan kota Razvilye.
Tiga kelompok tangga kayu tak bercat menjurus dari peron ke gedung stasiun.
Di ujung rel ada tempat pembuangan mesin tua. Lokomotof tanpa tender, dengan cerobong asap yang bentuknya seperti leher sepatu but atau cangkir, berdiri bersaf-saf ditengah sampah bertimbun-timbun.
Kuburan mesin di bawah dan kuburan manusia di atas, besi rel yang bengkok dan besi berkarat dari atap-atap dan tanda gambar di kota-kota di lingkungan kota, itu merupakan lukisan tunggal tentang kebobrokan serta ketuaan, di bawah langit putih yang dibakar panas dinihari.
Sebagai penduduk Moskow, Yury sudah lupa betapa banyak tanda gambar toko yang masih ada di kota-kota lain betapa banyak gambar-gambar itu menutupi wajah rumah-rumah. Antara yang dilihatnya sekarang ada yang besar sekali, hingga mudah dibacanya dari tempat ia berdiri; gambar-gambar ini merosot amat rendah atas jendela-jendela yang miring di rumah-rumah bertingkat satu, sampai rumah-rumah kecil yang tak lurus ini hampir tesembunyi, seperti muka anak-anak dusun di bawah pici runcing kepunyaan ayah mereka.
Kabut lenyap dari Barat; apa yang tinggal dari padanya kini di Timur bergerak-gerak dan terkuak bagai kelir panggung.
Dan dibukit sebelah atas Razvilye, satu dua mil dari padanya ada kota besar, sebesar ibukota propinsi. Matahari menyepuh warna-warnanya dan jarak jauh itu menyederhanakan garis-garisnya. Kota itu bergayutan pada puncak bukit berleret-leret, rumah demi rumah, lebuh demi lebuh, dengan gereja besar di tengahnya di atas puncak, serupa dengan gambar berwarna yang menunjukkan biara suci di Gunung Athos.
“Yuryatin,” pikir Yury dengan gairahnya. “Kota yang sering disebut oleh Anna dan Antipova si jururawat. Ajaiblah bahwa harus kulihat dia dalam keadaan begini?”
Saat itu perhatian para militer dialihkan dari mesin ketik ke sesuatu yang mereka lihat dari salah sebuah jendela lainnya, maka Yurypun menengok keliling.
Sekelompok tawanan yang dikawal sedang naik tangga stasiun. Antara mereka ada seorang pemuda dengan pakaian seragam sekolah yang kepalanya luka-luka. Ia telah menerima pertolongan pertama, tapi tetesan darah merembes dai bebatnya yang selalu dicoreng oleh tangannya atas muka suramnya yang berkeringat. Diapit oleh dua orang Tentara Merah di ekor pawai, ia menarik perhatian tak hanya oleh sikap tegasnya, muka tampan seta keadaan mengharukan dari pemberontak semuda itu, tapi juga oleh keanehan gerak geriknya serga gerak gerik kedua pengiringnya. Perbuatan mereka sama sekali berlainan dari apa yang diharapkan orang.
Si pemuda masuh memakai peci sekolahnya. Peci itu senantiasa gelincir dari kepalanya yang terbebat itu, tapi ia tak mencopotnya serta membawanya dengan tangan: tiap kali ia menyodoknya kembali hingga mengacaukan perban dan lukanya sedang kedua pengawal dengan cekatan pula membantunya.
Ada suatu perlambangan dalam perbuatan yang tak masuk akal ini yang bertentangan dengan otak sehat, maka terpengaruh oleh pentingnya, inginlah Yury lari keluar untuk menegur anak itu dengan kata-kata yang mendidih dalam batinnya. Ingin ia menyerukan padanya dan pada orang-orang dalam deresi bahwa kemubarakan tercapai bukannya dengan ketaatan pada bentuk serta pakaian seragam, melainkan dengan membuang semua itu.
Ia berpaling; Strelnikov masuk dengan langkah panjang tegap, lalu berdiri di tengah kamar.
Bagaimana mungkin bahwa dia, seorang dokter dengan beribu-ribu kenalannya, sampai hari ini tak menjumpai kepribadian yang terumus sebaik itu seperti yang ada pada orang lain?
Apa sebab mereka tak pernah berpapasan dan jalan mereka tak bersilangan.
Entah apa sebabnya mengapa sekaligus nampak orang ini adalah hasil penyelesaian sang hasrat. Ia adalah diri sendiri yang utama kedirian yang dipilinya sendiri, maka segala sesuatu daripadanya segera berkesan sebagai contoh yang khas –kepalanya yang berproporsi tepat dan bagus letaknya. Langkahnya yang bersemangat kaki panjangnya, sepatu butnya yang mungkin telah kena lumpur, namun nampak bersih dan baju wolnya yang kelabu yang mungkin kumal, namun nampak seperti dibikin dari lenan terbaik dan baru disetrika.
Begitulah akibat yang tak terhindari, berkat kegemilangannya, kecekatannya yang tak dibuat-buat serta pandainya menyesuaikan diri dengan tiap keadaan yang dapat dibayangkan di dunia.
Dewan itu tiap membina dari atas orang lain –meniru para pahlawan dari sejarah ataupun dari mereka yang mempengaruhi daya khayal orang dengan mendapat nama di medan perang dan dalam pertempuran di kota, ataupun yang bergengsi besar atas khalayak, atau salah seorang kawan yang mencapai kehormatan, atau juga tiru meniru belaka antara kawan-kawan.
Dengan sopannya Strelnikov menyembunyikan rasa heran atau terganggu yang mungkin ada karena kehadiran Yury. Ia menegur stafnya dengan memperlakukan dia seperti salah seorang mereka.
Ujarnya: “Selamatlah. Sudah kita usir mereka. Semuanya lebih seperti main-main daripada perang sungguhan, sebab merekapun Rusia seperti kita, dibekali omong kosong belaka –mereka tak mau melepaskannya, jadi harus kita pukul habis. Komandan mereka itu temanku. Asalnya malah lebih proletar dari asalku. Kami dibesarkan di rumah yang sama. Ia telah berbuat banyak sekali untukku selama hidupku dan aku tak sedikit berhutang budi padanya. Dan kini aku gembira sebab kita pukul mundur mereka ke seberang sungai, bahkan lebih jauh lagi barangkali. Lekas selesaikan hubungan listrik itu, Guryan, kita perlukan telepon; pesuruh dan telegram saja tak mungkin cukup. Alangkah panasnya! Tapi bisa juga tadi aku tidur satu jam. O ya!” Ia berpaling ke Yury, ingat bahwa ia dibangunkan untuk mengurus hal yang tak masuk akal berhubung dengan orang ini.
“Orang ini?” pikir Strelnikov sambil menatapanya dengan tajam. “Omong kosong! Sama sekali tak mirip. Bodoh!” Ia ktawa dan berkata pada Yury: “Maaf kawan. Kamu disangka orang lain. Pengawal saya khilaf. Kamu boleh pergi. Mana buku kerja kawan itu? –O ini surat keterangan tuan. Boleh kulihat sebentar—Zhivago, Zhivago, Dokter Zhivago, Moskow. Tak soal; kita pergi ke kamar saya sebentar? Ini sekretariat, tempatku di deresi sebelah. Lewat sini, tak akan lama.”
***bersambung