Penari Liar

Sugianto Thoha

Hingar musik keras memekakkan gendang telinga. Muda-mudi melenggak-lenggokkan tubuh dibawah gemerlap lampu sorot yang berubah-ubah warna. Seorang gadis centil merangsek kesana kemari, tangannya menggapai-gapai, rambutnya mengibas-ngibas. Ia seperti kesurupan. Kadang mengerang, menjerit, dan meraung menandingi volume sound system yang kian meninggi. Gadis itu menari liar sekali.

Ruang bundar gedung diskotik di kaki bukit Hon Heo, di desa Ninh Phuoc, Vietnam Selatan ini, tidak begitu besar. Hanya cukup untuk anak surau mengaji. Ada lorong sempit menuju ke kamar mandi, laki-laki di sebelah kiri bertuliskan ‘Nam’ dan perempuan ‘Nu’di sebelah kanan. Di tengah lorong ditabiri horden berwarna biru tua yang berbelah tengah.

Aku duduk di sofa empuk di dalam diskotik. Iseng, SMS si Panca dari Linggau Pos kubaca ulang; ‘kalo biso sisi kehidupan malam om’ tulisnya. ‘Ya. Aku sedang melakukannya’ jawabku dalam hati sembari memijit bahuku yang ngilu hingga ke dasar tulang. Barusan di lorong WC aku bertabrakan dengan si penari liar. Dia mau keluar, aku bergegas masuk.

Salah jalur, aku berjalan di sebelah kiri seperti kebiasaan di Indonesia. “Ma’af…” ucapku sopan gaya Yogya. Gadis itu mendelik, bola matanya membesar seperti Rahwana. “Maaf, maaf….!” katanya ketus. Aku mulai salah tingkah, takut-takut dituduh mau memperkosa. Namun, sejurus kemudian kelegaanku muncrat laksana botol champagne yang ditinggalkan gabus. “Belikan aku minuman, baru kumaafkan kamu…!” katanya bercanda. Nah! Ini yang aku suka. Aku manut-manut tanda setuju.

Perkenalan yang ‘menyakitkan’ itu terus berlanjut. Rutin aku mengapeli si centil di diskotik itu. Namanya Thai Thi MyLinh, dan karena seret di lidah, aku memanggilnya Lina saja. Katanya sih, babenya orang terkaya di daerah ini. Dulu dia tidak pernah datang kemari. Baru-baru ini saja. Nyeeessss, seperti terjatuh di puncak Jayawijaya, hatiku sejuk bak didalam kulkas. Aku dapat barang baru nih….

Kami sudah berbicara hati ke hati. Dia tanya kok aku tidak pakai cincin kawin.
“Yang kawin aku, bukan cincin,” jawabku sekenanya.
“Benar kau sudah bekeluarga?” ia memastikan.
“Iya……” jawabku.

Dia menatap wajahku lurus. Aku deg-degan gede rasa. ‘Oh Neknang,’ puji ku dalam hati, ‘ilmu warisanmu masih manjur juga hingga hari segini.’
 
“Pelaut yang datang kesini selalunya mengaku bujangan. Ataupun pisah ranjang” kata Lina.
“Iya,” jawabku “dipisahkan oleh lautan yang beribu-ribu mil jaraknya.”

Lina menahan tawa. “Apa kau bersikap lain didepan anak-anakmu…?” pertanyaan yang tak pernah kusangka-sangka.
“Maksud mu?”
“Seperti sikap dibuat-buat agar terkesan kau seorang ayah yang baik, alim dan berbudi luhur di depan mereka?” paparnya panjang.

Aku berpikir sejenak, meraba-raba arah pembicaraan si cantik ini. Lalu menggeleng; “tidak, aku biasa-biasa saja” kataku.
“Kau tidak menipu anak-anak mu dengan sikapmu kan?”
“Sudah jelas tidak dong. Aku bersikap apa adanya” jawabku agak tersinggung.

Lina tercenung beberapa saat. Aku tak tahu apa yang ada di benaknya. Dia beranjak menuju lantai disko meninggalkanku. Aku kemudian jadi sentimentil dan hanyut dalam perasaan sendiri. Betapa gemerlapnya kehidupan malam di sini. Dan betapa gelapnya kehidupan malam di dusunku. Tidak ada listrik dan fasilitas hiburan. Bukan itu saja, bahkan jalan ke sana seperti bubur kertas milik PT. Tel di Tanjung Enim tatkala musim hujan.

Aku jadi miris memikirkan dusunku itu. Teman dari kota meledek; “kalau saja orang itu bersembunyi disini, dia tidak akan pernah tertangkap oleh mereka,” katanya, “tapi sekarang orang itu harus mencuci kolor sendiri, tidur di ruangan pengap dan tangan diborgol di kursi pesakitan.” Temanku diam menunggu reaksiku.
“Siapa orang itu?”
“Saddam Hussein” jawabnya tak berdosa.
“Ooooo…..” aku sempat terdiam beberapa detik, “barangkali Osama bin Laden tengah bersembunyi di Lubuk Pauh, ya….?” pikirku mengira-ngira.

Dusun yang kumaksud adalah Binjai, mencangking ringkih di bibir sungai Musi, satu jam bersekoci dari Muara Kelingi –kalau kipas perahu biatnya tidak tersangkut sampah yang dibuang penduduk sembarangan ke sungai. Itulah alat transportasi disana, yang terbukti handal di zaman nabi Nuh dulu sampai sekarang. Sedang transportasi darat tidak pernah ada ke kampung kami, sejak bermulanya sejarah umat manusia.

Di ujung jalan aspal. Di pangkal jalan tanah yang menuju kedusunku terdapat perkampungan orang Bali. Jalan disitu becek di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Di atas tanah yang agak meninggi, terdapat pura kecil tempat orang Bali bersembahyang. Tempat itu sepi dan sedikit angker. Kata orang-orang yang percaya, disitu berdiam komunitas para lelembut dan dedemit yang sering meminta sesembahan.
***

Pesawat yang ditumpangi Hoa telah tinggal landas dari bandara Kam Ranh menuju Ho Chi Minh City. Dari sana ia akan naik pesawat lain menuju Tokyo. Hoa, yang sempat menacantol hatiku, telah meninggalkan aku untuk Merengkuh Rembulan-nya

Taksi yang  kusewa meninggalkan bandara. Semenanjung Kam Ranh senja itu lengang sekali. Burung camar tak nampak di awang-awang. Siluet perahu nelayan di dalam teluk sudah mulai kehilangan garis. Warna jingga tidak lagi dominan.

Taksi makin melaju, dan diskotik langgananku sudah lewat. Perjalanan mulai tidak terasa nyaman. Jalan mulus sudah berakhir, kini memasuki jalan tanah bebatuan. Sebuah kuil pemujaan terlihat di tepi tikungan yang baru kami masuki. Orang-orang berkerumun memberi sesajian. Deru motor anak-anak muda mengganggu kekhusyukan orang-orang yang bersembahyang. Kata sopir, lewat tengah malam akan tambah banyak lagi anak muda balapan di jalan itu.

Sopir itu tiba-tiba menggumam; “syukur..?” ucapnya setengah tak bersuara.
“Apanya yang syukur?” tanyaku.
“Orang-orang di kuil mengucapkan syukur kepada Dewata” katanya pelan.
“Kenapa?”
“Sebab Dewata telah mendengar doa-doa mereka.”
“Doa apa..?”
“Sekarang dia sudah ditangkap dan masuk penjara,” sopir itu melanjutkan lagi.
“Siapa?” tanyaku makin tak mengerti.
”Orang penting di daerah ini, karena korupsi dana pembangunan jalan ke kuil.”
***

Kangkung hijau tumis dan terasi menu makan siang tadi membuat kuapku gencar tak terbendung. Aku menggigil di tengah jalan berkubang di depan pura di kampung Bali. Lina berpegang teguh di bahu kiriku. Aku mendongak tiga puluh derajat meladeni dua orang lelaki yang menjulang di depanku. Ubun-ubun mereka menjejas dahan-dahan karet yang menaungi badan jalan. Yang satu berkulit putih, berwajah klimis, mengenakan pakaian adat Bali. Yang satu lagi berkulit hitam legam seperti orang Afrika, setengah telanjang. “Kami adalah lelembut dan dedemit” mereka mengenalkan diri dengan suara menggema.

“Bawalah dia kepembaringanmu dan dekap hingga esok pagi. Jangan kau lepaskan!” perintah si kulit putih tiba-tiba.
“Tapi tuan….” jawabku terbata-bata.
“Kenapa..?” tanyanya.
“Dia kan bukan isteriku, mana mungkin aku mendekapnya” jawabku lagi.
“Hai, tolol!” hardiknya, “Abaikan norma. Tinggalkan hukum. Selamat kan dia”. “Sekarang juga!”
“Tapi….tapi..ta..p.i….” aku terbata-bata.

“Janganlah kau berbuat maksiat, hai anak muda..” si kulit hitam berkata lembut menyejukkan hati. Ekor matanya ia kerlingkan kearah si kulit putih.
“Jangan percaya! Dia adalah penipu.” si kulit putih melengking.
“Apakah ada penipu yang mencegah seseorang berbuat kebatilan, hai anak muda…?” tanya si kulit hitam padaku.
Aku menggeleng.
“Berikanlah gadis itu padaku, kalau begitu” pintanya pelan.
Aku mulai gamang, jangan-jangan si kulit putih adalah serigala berbulu domba, sedangkan si kulit hitam adalah domba berbulu serigala, batinku.

“Kalau kau memberikan gadis itu, aku akan memberimu hadiah,” bujuk si kulit hitam meyakinkan. “Aku akan baguskan jalan untuk orang-orang dusunmu. Penjualan hasil karet, sawit dan transportasi ke kota akan lancar tanpa hambatan. Pikirkan itu anak muda…!” si kulit hitam menggoyahkan pendirianku.

Aku melirik Lina di samping. Ia merenggangkan pegangannya. Aku melepas perlahan. Secepat kilat si kulit hitam merenggut Lina dari sisiku.
“Tidaaaaaaakkkkkkk……” aku terpekik. Teman-teman terkejut  mendengar aku mengigau selepas makan siang. Apa takwil mimpi itu?
***

Teman-temannya bilang, selain anak orang kaya, Lina juga sangat religius. Ia selalu ke kuil ketika pergi maupun pulang dari diskotik. Mulanya aku tak percaya. Cewek diskotik kok alim sih! Tapi malam itu aku harus percaya.

Waktu itu aku iseng bertanya tentang orang tua Lina.
“Kau jangan meledekku..!” deliknya  tiba-tiba.
“Aku tidak meledekmu, honey!” jawabku tak kalah sengit, dengan sedikit dibule-bulekan.
“Semua orang disini sudah tau!” tandasnya.
“Tahu apa…?” tanyaku bego.
“Bapak ku adalah koruptor yang tertangkap dua minggu yang lalu. Tahu …!!?” ia melotot kearahku.
“Haaahh……!” aku terlonjak dari sofa empuk diskotik. Lonjakan itu begitu bertenaga, laksana roket Rusia yang tinggal landas di Kazakhstan. Perasaan ada gas pendorong yang keluar bersama lonjakan tadi. Kusempat-sempatkan menitip salam, Priviet Dorogaya, dalam bahasa Rusia, untuk seseorang yang baru berultah ke-25 di Almaty… Moya Lyubov Nasto Yaziya.
 
Lina mulai sesenggukan. Kurogoh sapu tangan dari kantong celana. Kucium dulu, takut bau terasi siang tadi lengket disitu. Kuulurkan kearahnya dengan gaya Surakarta. Tapi aku ditepisnya dengan gaya Batu Gajah. Oh! My God. Aku meniru puteri bungsuku Icha. murid sekolah dasar yang keranjingan berbahasa Inggris. Please help me, aku sudah kehabisan gaya.

“Aku mengerti Lina, kau sedih karena ayahmu di penjara” celotehku sekenanya, mencari simpati. Diluar dugaan, ia beranjak dari tempat duduknya dan “Tidaakkk….” ia menggebrak meja. Gelas minuman terloncat ke bawah meja. Isinya tumpah membasahi sepatu kets yang petangnya baru aku lem pakai super glue. Orang-orang melongoh kearah kami, mulut-mulut berbentuk O besar menganga ke satu arah. Seperti isteriku yang nonton artis cantik yang dimarahin emaknya, yang sedang mengepit ayam jago dari Lampung di acara infotainment.

“Aku tidak sedih ayahku masuk penjara. Karena itu memang kesalahannya” cetus Lina yang mulai cool. Aku diam saja tidak berani berkomentar. “Yang aku tidak terima, dia telah membohongi diriku, seumur hidupku”. Dia mengambil nafas sejenak. “Sembilan belas tahun dia berakting sebagai padri di depan mataku. Dia membangun altar besar di ruang tamu. Patung Dewa setinggi kepala. Tiap hari kami menyalakan gahru…….” Lina seolah berbicara kepada dirinya sendiri. “Tapi kini, dia mengkhianati itu semua….dia koruptor! Dia seorang munafik! Aku telah kehilangan figur…!” Lina berapi-api.

Sambil menyeka air matanya dia berkata lirih;  “Aku malu kepada Dewa. Aku ingin memberikan hidupku untukNya. Selamanya.”

Pukul dua subuh, diskotik segera ditutup. Tanpa kata, Lina ngebut dengan motor bebeknya. Aku membuntuti. Jalan aspal sudah habis. Lampu merah belakang di motornya naik turun laksana pompa angguk di lapangan minyak Prabumulih. Lina sudah berada di jalanan tanah. Deru motor anak muda mengaum-ngaum. Menikung, Lina memperlambat laju motornya, bermaksud belok kekiri. Terlambat. Gedubraakkkk… Lina ditabrak dari belakang. Motornya merangsek entah kemana. Lina terpelanting ke dalam kuil. Tubuhnya mendarat di pelukan Dewa yang tersenyum. Penari itu kini tidak  liar lagi. Ia pasrah, diam dan mati, di jalanan yang dikorupsi oleh ayahnya sendiri.   

Penasaran takwil mimpi, kuhubungi orang dusun. Adikku mengirim SMS; ‘jln ke Binjai tersapu banjir.’
“Dasar dedemit…!” makiku. Si kulit hitam menipuku.
***Vietnam, 03 Maret 2006

Cat.
Neknang = kakek