Firdaus

Tobi Damaris

Aku keluar dari pintu gerbang kota dengan memikul salib kayu di atas pundak. Aku akan mengasihani diriku terlalu berlebihan kalau aku tidak melihat lelaki yang berjalan di belakang, yang kondisi fisikNya jauh lebih payah. Jubah ungu orang itu kotor, seluruh tubuhNya penuh luka, penuh darah, dari atas kepala sampai kaki. Dia berjalan tertatih-tatih, terjatuh beberapa kali, hingga seseorang dari kerumunan orang banyak dipanggil untuk membantu membawakan salibNya.

Bahkan tanpa salib yang membebani tubuhNya pun, Dia masih berjalan sangat lamban. Terkadang Dia berjalan dengan kepala menengadah ke atas, kedua mata tertutup, dan langkah kaki yang gontai seolah tanpa tujuan; terkadang Dia berjalan lebih lambat, kepala tertunduk, dengan bahu merosot seolah menerima dengan malu segala hinaan dan cercaan yang ditujukan kepadaNya oleh para penduduk kota yang berdiri di sekeliling Dia.

“Dia pendusta,” kata kawanku, yang berjalan di depanku, juga sambil memikul salibnya.
“Dia penghujat. Belum pernahkah kau mendengar tentang Dia?” tanyanya saat kami sedang berjalan menuju tempat kami akan disalib.
“Belum,” kataku. “Siapa Dia?”
“Dialah orang yang belakangan ini ramai dibicarakan oleh segenap penduduk kota. Dialah orang yang menyembuhkan mata orang buta beberapa bulan lalu. Dia juga yang katanya memberi makan beribu-ribu orang di atas bukit.”

Aku pernah mendengar ceritanya. Namun baru sekarang aku sadar bahwa orang yang berjalan tertatih-tatih di belakangku, yang sepertinya telah kehabisan seluruh tenagaNya, adalah orang yang mampu membuat keajaiban-keajaiban itu. Dia Yesus.

“Apakah benar?” tanyaku terbungkuk-bungkuk memikul salib yang rasanya semakin berat seiring kakiku melangkah.

Namun temanku tidak menjawab. Aku melihat kebawah, ke telapak kaki yang berdarah-darah, sementara seluruh penduduk kota mengelilingi kami; mengantar kami ke tempat penyaliban. Mereka berdiri di kiri-kanan jalan, menyoraki dan berteriak-teriak, seolah kami ini tontonan untuk menghibur mereka.

“Mati kau, penzinah!”
“Kota Yerusalem tidak ada tempat bagi pendosa dan penghujat!”

Kuda-kuda tentara Romawi yang berwarna putih dan coklat tampak gagah berjalan di depan, siap menghalau siapa saja yang berani mengacau dengan cara menghalangi jalan kami. Penunggang-penunggang kudanya memakai baju ketentaraan, berbadan besar dan berlengan kuat, senantiasa menarik tali kekang untuk mengatur jalan kuda mereka.

Lalu aku mendengar sesuatu –suara terjerembab. Aku menoleh ke belakang, dan melihat lelaki yang kepalaNya bermahkota duri itu telah telentang di atas tanah pasir yang berbatu. WajahNya… wajahNya! Tidak ada orang yang berwajah seperti itu! Bahkan dari tempatku berdiri aku bisa melihat seluruh kulit mukanya yang tercabik, nyaris tak tersisa; wajah yang hancur akibat siksaan, mengucurkan darah, dan tampak merana. Seseorang yang berdiri dekatNya memungut sebuah batu dan melemparnya ke kepalaNya, tepat ke mahkota duri yang membuat duri-duri itu makin masuk ke dalam, menusuk daging.

Namun orang itu tidak berkata apa-apa. Dia diam dan mulutNya pun terkatup rapat.

Banyak hal yang kupikirkan sepanjang perjalanan itu. Kebanyakan adalah masa laluku, yang suatu saat pernah penuh warna dan kini berakhir dengan kesuraman. Aku memikirkan kawan-kawanku. Aku memikirkan sanak saudaraku. Oh, apakah ada diantara mereka sedang berdiri disini? Menontonku berjalan dengan bertelanjang kaki sambil memikul salib? Salib terkutuk yang terus membebani punggungku di bawah sinar matahari yang terik! Siapa mereka sebenarnya hingga bisa menjatuhkan hukuman ini atas diriku? Tahu apa mereka alasan-alasan dibalik aku melakukan semua kejahatan itu? Apakah mereka bisa merasakan beban yang harus kutanggung saat saudara lelakiku sakit dan tidak ada uang sepeserpun untuk membeli obat? Apakah mereka mengenal rasa lapar yang kerapkali menggerogoti rongga perutku padahal tidak ada sesuatu apapun yang bisa dimakan?

Kudengar kawanku mencaci-maki. Seorang tentara Romawi yang mabuk anggur menendang pantatnya dan membuatnya jatuh terperusuk. Cambuk menyabet lengan dan punggungnya. Penduduk kota Yerusalem menggunakan kesempatan itu untuk memukuli si Lelaki Bermahkota Duri. Mereka meludahi wajahNya, menampar pipiNya, dan menunjuk-nunjuk ke arahNya seolah Dia itu seekor binatang sembelihan yang cacat. Dia berjalan maju, sekuat kedua kaki rapuhNya yang berdarah-darah mampu membawaNya berjalan. Namun sesaat –hanya sesaat– sebelum tentara Romawi yang tadinya memukul kawanku sekarang beralih hendak menghampiriku, kulihat kedua bibir Lelaki itu yang pecah berdarah-darah bergerak-gerak pelan tak bersuara seperti sedang memanjatkan doa.

Akhirnya aku dan kawanku tiba di kaki sebuah bukit yang oleh penduduk setempat dinamakan Bukit Tengkorak. Sebuah bukit yang suram, sesuram langit yang ada di atas kami, yang di kejauhan bisa kulihat bergumpal-gumpal awan hitam, tertiup angin, dan kelihatannya sedang menuju ke sini. Kami mendaki bukit itu sambil memikul, menyeret dan mendorong kayu salib masing-masing. Sewaktu aku menengok ke belakang, Dia –si Lelaki Bermahkota Duri– masih jauh berada di bawah, terengah-engah, dengan ditemani seseorang yang membantu membawakan salibNya.

Setiba di atas, tangan-tangan asing langsung mendorong pundakku, memaksaku telentang di atas salib yang kubawa, dan seseorang –seseorang yang tidak akan pernah kulupakan wajahnya– menarik tangan kiriku, tepat di pergelangan, dan menaruh ujung paku di atas nadiku. Bisa kurasa permukaan ujung paku itu yang runcing, yang menusuk lembut permukaan kulitku, seakan menggelitik, sebelum merobek daging dan tulangku, tembus ke belakang, dan masuk ke dalam kayu salib hingga menyentuh tanah. Aku mengerang. Aku memaki dan menghujat dan mengutuk orang itu –yang memandangiku sambil menyeringai puas, dan berkata kalau ini belum cukup, masih akan ada dua lagi yang segera menyusul– orang-orang disekitarku, dan juga hari kelahiranku.

Dalam kesakitan dan kesengsaraan dan penderitaan yang seolah tak bisa kutanggung lagi, aku teringat akan ibuku, akan ucapannya yang selalu mengharapkanku menjadi anak yang baik. Setiap malam, saat aku telah terbaring di tempat tidur, dia akan datang mendekatiku, berlutut di sampingku, mendoakanku. Ayahku telah meninggal sewaktu aku masih kecil. Hanya aku dan adikku saja milik ibuku yang tersisa.

“Ampuni aku, ibu!” teriakku. “Ampuni aku!”

Celakalah aku yang telah susah payah dikandung dalam perut seorang wanita, seumur hidup berbuat dosa, dan matinya terpaku di atas kayu salib. Aku tidak kuasa menahan tangis. Air mataku bercucuran, membasahi pelipis, turun ke rambut dan telingaku. Aku terceguk-ceguk sementara orang yang memaku tangan kiriku terkekeh-kekeh. Dia menertawaiku dan mengataiku anjing tak berguna, sumber tontonan orang banyak, sewaktu kedua kakinya yang besar melangkahi tubuhku yang terbaring, menuju ke tempat tangan kananku tergeletak pasrah, menanti paku. Rasa nyeri tak tertahankan merayapi dadaku saat kedua tanganku yang gemetar sudah sepenuhnya terpaku ke salib. Aku nyaris tak bisa bernapas. Rembesan darahku sendiri yang terasa hangat mengalir membasahi sisi tanganku.

Di balik penglihatan mataku yang berair, aku melihat samar sosoknya berjalan ke bawah, yang sekarang tampak tertarik dengan kedua kakiku. Aku mengerjapkan mataku sekali, dan saat aku bisa melihat jelas wajah orang itu, aku jadi teringat akan diriku sendiri, waktu aku merampasi keperawanan gadis-gadis Yerusalem. Oh betapa pasrah dan tidak berdayanya mereka, seperti aku sekarang ini, saat aku memperkosa mereka, satu demi satu. Orang itu meraih kaki kananku, menaruhnya di atas kaki kiriku, dan kali ini dia mengambil sebuah paku yang besar, jauh lebih besar dari paku yang sekarang berada di dalam daging tanganku. Aku berteriak saat ujung paku yang tajam itu menembus satu kakiku, dan aku sudah tidak bisa mendengar suara teriakanku lagi saat ujung paku itu bergerak-gerak di dalam daging kaki kiriku, berusaha mencari jalannya, sebelum menghantam kayu yang ada di bawah.

Tiga tentara Romawi menarik tali yang terkait di ujung salibku sebelah kanan, membalikkan posisi tubuhku dan sekarang salib berat itu berada di atasku, menekan punggungku sementara mereka membengkokkan ujung paku yang menembus kayu salib. Mereka menarik tali itu lagi, mengembalikanku ke posisi semula, lalu menyeretku ke depan dan menarik tali yang terkait di ujung salib atas kepalaku. Tubuhku terangkat… tinggi… sampai bisa kulihat sosok orang-orang yang berduyun-duyun mengerumuni kami, sebelum ujung salib bawahku masuk ke lubang yang telah disediakan sebagai tempat untuk menahan salibku. Hentakannya menarik tubuhku kebawah, dan rasa sakit di kedua tangan dan kakiku nyaris membuatku hilang kesadaran. Mereka memperlakukan kawanku dengan cara yang sama.

Dan lihat, ada sesuatu yang menarik perhatian orang-orang untuk melihat ke belakang. Mereka yang tadinya mengolok-olok kami, yang tadinya melempari kami dengan batu, sekarang berhenti melakukan semua itu dan menjadi hening. Dari balik bukit, aku bisa melihat sebuah benda warna coklat beruncing-runcing yang merupakan wujud dari mahkota duri yang perlahan-lahan memperlihatkan bentuknya. Dan lelaki yang memakai mahkota itu berjalan… sangat lambat… terhuyung-huyung. Seseorang yang ditugasi memikul salibNya berjalan mengikuti dari belakang. Akhirnya si Lelaki Bermahkota Duri sampai di depan kami. Seorang tentara Romawi menarik jubahNya, menyerahkannya ke temannya, sebelum dia merobeki sisa pakaian dari tubuh Lelaki itu satu-persatu.

Dari tempat aku terpaku, aku bisa melihat sekujur tubuhNya yang penuh luka; luka yang berlubang-lubang dan berdarah-darah dan memenuhi wajah dan kakiNya. Dia berdiri disana, mendongak ke langit, dan bisa kulihat kedua rahangNya bergetar, menahan rasa sakit. Tentara Romawi itu menendang punggungNya dan Dia jatuh ke tanah sementara kulihat beberapa tentara Romawi lain mulai membuang undi atas jubahNya.

“Penghujat!” kata kawanku.
“Penghujat!” kata orang-orang yang mengelilingi kami.

Mereka menyalibkan Dia di kayu salib dan menaruh salibNya diantara aku dan kawanku, di tengah, di tempat khusus untuk orang yang telah melakukan kejahatan terbesar –orang paling berdosa.

Tentara-tentara Romawi menghalau orang-orang yang berusaha untuk mendekat. Mereka melempari kami dengan batu-batu yang bisa mereka temukan di jalan.

“Katanya Dia bisa membangun Bait Allah dalam tiga hari,” kata seseorang, “sekarang Dia sendiri ada diatas kayu salib, bagaimana bisa membangun kalau begitu?” Dan orang itu tertawa.
“Buktikan kalau Kau itu Anak Allah!”
“Ngaku-ngaku Raja kami?” kata seseorang yang meludah ke atas tanah. “Turun dulu dari sana!”

Enam orang yang berdiri paling depan, yang kukenal dari jubah yang mereka pakai sebagai para imam yang biasa bertugas di Bait Allah, tertawa mengejek dan salah seorang dari mereka berkata, “Kalau Kau adalah Anak Allah, turun dari salib maka kami akan percaya!”

Namun si Lelaki Bermahkota Duri yang tersalib di sisi kananku tidak berkata apa-apa. Saat aku melirik ke arah-Nya, bisa kulihat lebih jelas wajah-Nya yang penuh luka, berdarah-darah, nyaris tidak menyerupai wajah seorang manusia lagi. Tetesan-tetesan darah menetes dari ujung janggut-Nya, turun ke bawah, menjadi titik-titik hitam saat menyentuh tanah yang kering.

“Ini Dia Orangnya, kawanku, ini Dia. Si Yesus sang penyembuh! Yang pernah berkata Dia Anak Allah! Turun dari sana, kalau Kau Anak Allah, Yesus,” kata kawanku, “turun dari sana dan buktikan pada kami!”

Ya, aku pernah mendengar tentang Orang ini. Saat penduduk Yerusalem menyambutNya masuk dengan menaruh jubah dan pakaian mereka di atas jalan yang akan Dia lewati, aku ada disana, menyaksikan semua itu. Mulanya kukira rajakah yang datang? Kaisarkah? Tapi ternyata orang ini yang duduk di atas seekor keledai. Sungguh bodoh. Mereka mengelu-elukanNya dan saat itu kira Dia ini seorang utusan Tuhan.

Aku memaksa leherku agar bisa melihatNya lebih jelas, dan gerakan itu membuat tangan kiriku tertarik, menimbulkan rasa sakit yang teramat sangat.

“Hai, Yesus! Kalau Kau memang utusan Tuhan, dimanakah sekarang TuhanMu itu?”
“Orang lain Dia selamatkan, biarlah sekarang Dia menyelamatkan diri-Nya sendiri, kalau memang Dia adalah Mesias, Anak Allah!” kata seseorang di bawah kami. Bahkan tentara-tentara Romawi pun juga mengolok-olok Dia.

Kebencianku semakin memuncak ketika melihat si Lelaki Bermahkota Duri ini tidak berkata apa-apa. Aku memaki, dan kawanku juga, sebagian karena rasa sakit yang sedang kami derita, sebagian karena kerumunan orang yang terus mengatai dan berteriak-teriak. Lalu aku mendengar sebuah suara –suara yang datangnya dari arah kananku– yang berkata pelan namun masih terdengar jelas,

“Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”

Aku melihat ke bawah, ke arah orang-orang yang masih saja mengerumuni dan mengolok-olok kami. Mereka tampaknya tidak mendengar (atau sekalipun mendengar, tampaknya tidak peduli) akan perkataan Orang yang disalib di sebelah kananku. Sementara itu kulihat di kejauhan, gumpalan awan hitam yang semakin mendekat.

“Turun dari sana, Yesus, turun dari sana!” kata kawanku yang disalib di sebelah kanan si Lelaki Bermahkota Duri. “Selamatkan dirimu dan diri kami!”

Namun Lelaki yang bernama Yesus ini tidak menyahut. Dia menundukkan kepalaNya yang berdarah-darah sambil memejamkan mata.

Semua makian, semua olok-olok, dan banyak jari telunjuk mengepung dan menuding kami. Tidak ada suara lain yang bisa kudengar selain suara orang yang berteriak-teriak. Dan setiap aku dan kawanku mengumpat, memaki orang-orang yang telah menyalibkan kami, mereka tampak senang dan makin kencang teriakan mereka. Aku menggeliat-geliat, berpikir mungkin bisa melepaskan salah satu paku dari tanganku, namun hanya rasa sakit yang makin menghebat yang kudapat. Mereka yang berdiri di bawah menertawakan kebodohanku. Seorang dari mereka berkata kepadaku untuk minta tolong saja kepada Mesias, toh kami disalib berdampingan. Entah berapa lama aku berusaha lepas dari salib terkutuk ini, akhirnya aku menyerah, terlalu letih untuk membalas makian orang-orang yang mengerumuni kami, terlalu letih untuk bergerak-gerak lagi.

Dan aku mulai menangis.

Di sela-sela tangisku, aku mendengar kawanku masih terus saja mengatai dan mengolok-olok si Lelaki Bermahkota Duri. Saat air mataku membasahi pipiku, dan saat ingusku turun ke bawah, sampai di bibir atasku, aku menoleh ke kanan, ke si Lelaki Bermahkota Duri yang diam saja menerima semua makian dan olokan kawanku.

“Cukup!” kataku. “Masih perlukah kau mengata-ngatai orang ini? Masih perlukah kau mengolok-olok Dia? Kau dan aku memang pantas untuk berada disini, akibat seluruh dosa dan kejahatan yang kita perbuat. Tapi orang ini? Bukankah kau telah mendengar segala perbuatan-perbuatanNya yang ajaib? Burukkah itu? Jahatkah itu? Dia tidak pantas berada disini, kawanku. Jadi berhentilah mengolok-olok.”
“Katanya Dia Raja orang Yahudi!” teriak kawanku, disela-sela sisa tenaganya yang semakin berkurang. “Katanya Dia Raja yang akan memerintah sampai selama-lamanya! Cuih!” kawanku meludah, “Omong kosong!”

Jadi apa? pikirku. Aku tahu setiap manusia akhirnya akan mati. Tapi aku tahu juga bahwa kematian bukanlah akhir dari segala-galanya. Bahkan manusia yang telah matipun masih bisa dihidupkan kembali. Apakah kawanku belum mendengar berita tentang seseorang yang bernama Lazarus, yang telah mati empat hari dan dibangkitkan oleh si Lelaki Bermahkota Duri ini? Saat itu aku berada di barisan belakang kerumunan orang-orang yang mengelilingi Lazarus di depan pintu kuburnya. Kalau Dia bisa membangkitkan orang lain, bukan tidak mungkin Dia bisa membangkitkan diriNya sendiri. Ya. Bukan tidak mungkin.

“Yesus,” panggilku pelan, darah yang terus mengucur dari kedua tangan dan kakiku hampir menguras habis tenagaku. “Ingatlah akan aku, Yesus, apabila Kau datang kembali sebagai Raja.” Selesai aku berkata demikian, kedua mataku basah oleh air mata, dan aku tak kuasa untuk menahan tangisku.

Lalu Dia, yang sejak dalam perjalanan dari kota Yerusalem hingga ke tempat ini tidak membalas makian dan cacian orang banyak, yang tetap menutup mulutNya dari orang-orang yang mengataiNya, yang tidak memedulikan kawanku yang terus-menerus mengolok-olokNya, menoleh kepadaku.

Aku menatap ke balik kulit kelopak mata yang tercabik-cabik, ke balik gumpalan darah yang mengering di sekitar rongga mata, ke kedua manik mataNya yang, entah bagaimana mungkin bisa begitu, tampak bersinar dan hidup seperti orang yang bukan berada di atas kayu salib. Dia menatap lama ke arahku, cukup lama sampai aku bisa merasakan dalam hati bahwa ada sesuatu yang lain dalam diri orang ini. Dan untuk sesaat, aku mengira aku benar-benar sedang bertatap muka dengan Sang Mesias.

“Amin! Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga, kau akan ada bersama-sama dengan Aku dalam Fidaus.”

Kerumunan orang dan para imam berbisik-bisik satu sama lain melihat si Lelaki Bermahkota Duri berbicara kepadaku. Aku masih menangis, namun perlahan-lahan air mataku berhenti mengalir dan ada sesuatu dalam ucapan orang itu yang, walaupun hanya sedikit, menenangkan hatiku. Dia masih menatapku saat aku memutar kepalaku ke depan. Dia masih tidak menggerakkan kepalaNya saat aku menunduk, dan dalam hati, mulai menyesali segala dosa-dosa yang telah kuperbuat dulu.

Aku terbuai dalam lamunanku dan suara-suara disekelilingku seakan menjauh… menjauh… menjauh. Mereka yang mengerumuni kami masih mencaci-maki, masih menunjuk-nunjuk namun hanya gerakan mulut mereka saja yang bisa kulihat sementara kedua telingaku tidak mendengar apa-apa dan hati serta pikiranku terus mengulang ucapan si Lelaki Bermahkota Duri tadi.

Aku melihat dua orang, lelaki dan perempuan, yang menembus kerumunan orang banyak dan berjalan mendekat ke arah Lelaki yang disalib di sebelah kananku. Dia mengucapkan sesuatu kepada mereka, sebelum seorang tentara Romawi yang tidak senang akan hal itu menghalau mereka agar menjauh dari sana.

Lalu Dia berteriak, teriakan yang begitu keras yang diarahkan ke langit—seolah keluar dari mulut orang yang bukan berada di atas kayu salib. Para imam mendongak ke arahNya, dan seorang dari mereka mengatakan sesuatu. Di tengah suara tawa dan ejekan yang semakin terdengar tidak jelas di telingaku, aku melihat seorang prajurit mengangkat sebuah tombak, mencelupkan ujungnya ke dalam tembikar yang berisi anggur asam, lalu menyodorkannya ke mulut lelaki sebelah kananku.

Kemudian awan hitam yang gelap menudungi bukit tempat kami disalib. Semakin gelap dan gelap sampai sinar matahari tidak bisa menembusnya. Tiba-tiba kerumunan orang yang berdiri di bawah kami, yang sedari tadi mencaci-maki dan mengolok dan menertawai kami, menjadi hening. Di tengah kegelapan yang semakin mencekam, mereka berbisik-bisik satu sama lain. Keadaan menjadi begitu gelap sampai aku tidak bisa melihat ke si Lelaki Bermahkota Duri yang disalib di sebelah kananku. Kabut tebal menyelubungiku dan aku mendapati diriku seorang diri di atas kayu salib. Gumaman suara orang yang berbisik-bisik semakin menjauh. Aku bisa mendengar jantungku yang berdetak cepat. Lalu di balik semua itu, sekonyong-konyong aku menangkap suara desahan napasNya yang panjang dan berat, seakan sedang menemaniku di tengah kegelapan yang menyelimuti kami saat itu.

“Sudah genap,” kataNya.
Kemudian lanjutNya, “Ya Bapa, ke dalam tanganMu. Kuserahkan nyawaKu!”

Lalu desahan napasNya yang panjang dan berat itu tidak lagi terdengar. Ketika garis tepi awan hitam yang ada di atas kepala kami perlahan-lahan menjauh, aku mendapati tubuhNya sudah terbujur lemas di atas kayu salib, tidak bergerak, mati.

Kulihat sebagian orang ada yang berjalan menuruni bukit, meninggalkan kami, sambil memukul-mukuli dada mereka. Lalu aku mendengar semacam suara pukulan, seperti suara benda remuk dihantam oleh sesuatu yang keras, yang kemudian disusul suara teriakan kesakitan, yang berasal dari mulut kawanku. Pada saat aku mendengar itu, aku tahu kawanku telah mati.

Lalu aku melihatnya, si tentara Romawi yang tadi memukul kawanku, berjalan mendekatiku. Kedua tangannya memegang sebuah gada yang terbuat dari besi. Tiba-tiba rasa takut memenuhi hatiku –rasa takut yang menyesakkan. Aku akan mati, pikirku. Aku akan mati.

Tentara Romawi itu mengayunkan gadanya yang besar ke arah lututku. Kesakitan dan rasa nyeri menjalari kedua pahaku. Tubuhku semakin tertarik ke bawah dan kedua tanganku, yang penuh dengan aliran darah yang mengering, seolah tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Dadaku terasa sakit. Leherku tercekik. Aku ingin berteriak mengatasi rasa sakit yang menggerogoti seluruh sendi-sendi dalam tubuhku, tapi tidak ada lagi tenaga yang tersisa…

Pada saat aku menutup kedua matakulah, kedua mataku kembali terbuka dan aku melihat sebuah pintu gerbang tinggi menjulang di hadapanku. Dua makhluk menyerupai manusia dan bersayap berdiri menjaganya, bergeming, memandangiku

Lalu aku merasakan sebuah tangan yang hangat memeluk pundakku. Aku menoleh ke kanan, dan aku melihat Dia, si Lelaki Bermahkota Duri, tapi tidak ada mahkota duri lagi di atas kepalaNya. Dia yang tubuh dan wajahNya penuh luka, namun luka-luka itu telah hilang tak berbekas. Hanya sorot kedua manik mataNya yang tetap sama; bersinar dan hidup.

“Bukalah,” kataNya. Dan aku melihat kedua makhluk bersayap itu membuka pintu gerbang.
“Masuklah,” kataNya kepadaku.

Dan aku masuk bersama-sama dengan-Nya, melewati pintu gerbang, ke dalam Firdaus.