Mereka-reka Pemerintahan Jokowi Mendatang, Kesabaran Masyarakat Sipil Masih Perlu

Tidak berlebihan memperkirakan Joko Widodo bakal menang lagi di Pemilihan Presiden 2019. Semua jajak pendapat –CSIS, SMRC, Indikator, Median, Indo Barometer- atau KedaiKOPI-  menemukan dia yang unggul, terlepas dari elektabilitasnya yang cuma sekitar 50%. Sekedar mengukur-ukur sendiripun, bakal makin sulit buat Prabowo untuk mengalahkan Jokowi mengingat koalisi Merah Putih sudah mengecil.

Jadi Joko Widodo ‘pasti’ akan terpilih lagi untuk presiden masa jabatan 2019-2024. Apakah itu berita baik atau buruk, tergantung Anda masuk Jokowers atau Haters, begitulah salah satu istilah yang sering digunakan beberapa orang.  

Cuma jelas janji Jokowi dulu bahwa para anggota kabinetnya adalah para professional nonpartai sudah dilanggar. Maklumlah, politik jelas berurusan dengan keseimbangan kekuasaan, bukan cuma mengelola proyek pembangunan layaknya manajer perusahaan swasta. Malah, kata banyak orang, Jokowi ternyata bukan orang ndeso yang lugu seperti yang diperkirakan tapi pemain politik jagoan.
***

Seandainya Setya Novanto nanti benar-benar lolos dari jeratan dugaan korupsi E-KTP, bisa jadi para pendukung Presiden Joko Widodo semakin gusar. Sejak belum menang praperadilan -ketika masih jadi tersangka KPK- dia sudah menegaskan partai pimpinannya, Golkar, akan mendukung  Jokowi di Pilpres 2019.

Melihat nasib baik atau licinnya Setya Novanto selama ini –tergantung cara Anda memandangnya- besar kemungkinan dia bakal lolos total dari kasus E-KTP walaupun KPK katanya masih tetap mau menetapkannya jadi tersangka. Rekam jejaknya selama ini membuktikan Setya Novanto adalah orang ‘sakti’dalam urusan dengan hukum.

Dia dapat SP3 (penghentian penyidikan) dalam kasus pengalihan hak piutang PT Bank Bali kepada Bank Dagang Negara tahun 1999, dengan kerugian negara ditaksir Rp900 miliar lebih. Lantas hanya mendapat teguran dari Majelis Kehormatan DPR setelah jadi penggembira di kampanye Donald Trump, lolos dalam kasus Papa Minta Saham (Freeport), bangkit kembali jadi Ketua DPR, dan menang di praperadilan status tersangka KPK.   

Mengikuti perjalanan ‘kesaktian’ itu, amat mungkin Joko Widodo akan jadi presiden lagi dengan dukungan Setya Novanto. Ini bisa jadi soal.

Taruhlah semua keputusan yang membebaskan dia dari semua masalah hukum dan etika adalah berdasarkan pertimbangan yang 100% jujur, adil, dan mandiri. Itu untuk keputusan hakim, Kejaksaan Agung, dan Majelis Kehormatan DPR.

Tapi urusan sakitnya ketika sedang dalam proses pemeriksaan sebagai tersangka, sebagai penggugat praperadilan, dan sebagai saksi untuk terdakwa kasus E-KTP lain, dan dua hari kemudian memimpin rapat pleno Partai Golkar? Sulit rasanya mempercayai kejujurannya dan juga para dokter yang terlibat dalam penyakit politiknya itu. Makanya warga internet menjadikan leluconnya habis-habisan.

Setya Novanto sudah tercemar kredibilitasnya, terlepas dari kekuatan sosial politiknya yang sudah teruji.

baca juga: Lanjutan kelicinan puluhan tahun Setya Novanto – Liston P Siregar
***

Dukungan lain untuk Jokowi, walau belum dinyatakan resmi, kemungkinan besar juga datang dari Agus Harimurti Yudhoyono, calon pemimpin katrolan dari Partai Demokrat. Kalah putaran pertama di Pilkada DKI Jakarta, anak mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini sudah bertemu langsung dengan Presiden Jokowi. Mundur dari TNI ketika masih mayor, pria berumur 39 tahun ini disiapkan menjadi pemimpin negara lewat jalur pintas dengan menyingkirkan sistem penggemblengan TNI yang sudah terbukti puluhan tahun.

Apa yang salah jika anak presiden terjun ke dalam politik? Tidak ada jika memang anak itu memang mampu. Tapi AHY cuma salah satu bukti nepotisme politik di Indonesia.

Ingat Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut? Mungkin Anda sudah lupa kalau putri sulung mantan presiden Suharto  itu pernah menjabat Menteri Sosial karena memang tidak ada yang bisa diingat dari dia sebagai menteri –terlepas dari masa jabatannya yang cuma tiga bulanan.

Ada juga Puan Maharani, putri mantan presiden Megawati Soekarnoputri, yang masih menjabat Ketua Umum PDI-P, pendukung utama Jokowi di Pilpres 2014. Kalau Andapun lupa, Puan Maharani adalah Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, membawahi delapan kementrian. Ketika peningkatan aktifitas Gunung Agung di Bali sedang jadi perhatian besar dunia –mencakup penanganan sosial dan potensi dampak atas budaya dan pariwisata- media dalam dan luar negeri lebih sering mengutip Ketua Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho.

Jadi selain Puan Maharani, Jokowi akan punya menteri katrolan lainnya, AHY, yang dengan mudah naik ke puncak Partai Demokrat, melangkahi sistem kaderisasi partai politik yang pernah berkuasa dua periode. SBY tentu berkepentingan jika putranya -yang sudah mengorbankan karier di militer- mendapat pelatihan politik di kabinet pemerintah.

Datang lagi Panglima TNI, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, yang oleh beberapa orang sudah digadang-gadang menjadi calon wakil presiden pendamping Joko Widodo di Pilpres 2019. Berpandangan konservatif, dia mendapat banyak dukungan dari kaum Islam kanan dan pada sisi lain dianggap dibutuhkan Jokowi sebagai pengawal untuk menghadapi kelompok-kelompok penentang kerasnya.

Satu lagi kekhawatiran pendukung  Jokowi bisa berasal dari pengusaha kawakan Hary Tanoesoedibjo, yang sudah mendaftarkan Partai Perindo miliknya ke KPU. Saat mendaftarkan partainya ke KPU, tanggal 9 Oktober lalu, raja media yang sedang tersangkut gugatan hukum –dengan dugaan mengancam jaksa agung muda- menegaskan dukungan kepada Presiden Jokowi untuk 2019. Jika lolos dari tuntutan hukum dan partainya boleh ikut pemilih, dukungan pengusaha yang pernah sekubu dengan Prabowo ini makin mendekati kenyataan.
***

Sebenarnya tidak ada masalah dengan yang sering diistilahkan sebagai koalisi pelangi –yang terdiri dari beragam aliran partai politik- apalagi untuk Indonesia yang politiknya hampa ideologi.  

Di Belanda, koalisi empat partai membutuhkan waktu tujuh bulan hingga Senin 9 Oktober kemarin untuk mencapai kesepakatan setelah pemilu Maret lalu. Mereka ‘terpaksa’ berkoalisi untuk mencegah berkusanya partai sayap kanan pimpinan Geert Wilders, yang antipendatang dan anti-Islam. Tujuh bulan diperlukan untuk mencari titik temu dari berbagai aliran politik: liberal, kanan tengah, progersif, dan prolingkungan.

Tapi di Indonesia, tidak serepot itu karena koalisi sepertinya lebih untuk sekedar meraih kekuasaan dan mengamankan para pemimpin partai semata. Bahkan dalam kabinet Jokowi sekarang ini, keragaman toh juga sudah mencolok. Ada Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti, dan Ignasius Jonan yang mandiri tapi juga ada Wiranto dari Hanura, Airlangga Hartarto (putra Ir Hartarto, Menteri Perindustian zaman Orde Baru) dari Golkar, dan orang PKB Hanif Dhakiri maupun kader PAN, Asman Abnur.  

Jadi kalaupun nanti ada wapres bekas panglima TNI, dengan menteri dua anak mantan presiden, ditambah lagi masuknya orang dari partai pimpinan raja media, mestinya tidak ada masalah. Apalagi kalau dipadukan dengan menteri-menteri teknis yang terdiri dari para professional yang independen.

Terbukti pula sudah tiga tahun pemerintahan Joko Widodo, sejumlah janji pembangunan prasarana terwujud, beberapa orang senang mendapat sepeda sementara sebagian lain senang menikmati adegan pemberian sepeda, dan banyak pula yang senang melihat presidennya santai makan bakso di kaki lima. Tingkat dukungan pada Jokowi, menurut berbagai survei, berada pada kisaran di atas 60%, baik di kawasan pedesaan maupun perkotaan.

Yang paling penting pula, seperti keyakinan banyak orang, Jokowi tidak korup.
***

Cuma dengan komposisi sekarang, apalagi dengan dugaan setelah Pilpres 2019, maka para pegiat hak asasi manusia masih harus berpanjang sabar lagi. Jangankan memperjuangkan nasib korban pembunuhan massal pasca-30 September 1965, tekanan untuk menuntaskan pembunuhan Munir sajapun tidak ditanggapi biarpun aksi Kamisan sudah berlangsung 10 tahun di depan Istana.

Juga kaum minoritas Kristen atau Budha mungkin perlu lebih berhati-hati dalam mengungkapkan ekspresi ibadahnya  -gereja digusur, patung dewa ditutup kain. Kaum LGBT pun harus lebih rapi bersembunyi karena ruang privasi mereka semakin disempitkan, bukan cuma tempat kebugaran saja yang digerebek, tapi kamar hotel dan tempat kos juga menjadi terbuka bagi ‘pasukan penjaga moral’.

Tambahkan lagi dengan pengekangan kebebasan bersuara atas nama UU ITE –mengkritik layanan apartemen yang tak sesuai janji saja bisa berakhir di pengadilan- intimidasi atas wartawan –Dhandy Laksono digugat karena menyamakan Megawati Soekarnoputri dan Aung San Suu Kyi dalam menghadapi kaum minoritas. Atau tekanan pada pegiat sosial politik: masih sulit membayangkan kenapa Sri Bintang Pamungkas harus diadili dengan tuduhan kudeta maupun VKL yang ditekan karena berpendapat rezim Joko Widodo lebih parah dari rezim era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.  

Seperti yang sudah terbukti, masyarakat sipil Indonesia ternyata masih bersabar atau memang tidak punya pilihan lain. Lagipula ada keyakinan bahwa bagaimanapun Joko Widodo adalah pemimpin terbaik yang tersedia di Indonesia saat ini.
***

Bagaimanapun ada kekhawatiran memburuknya kinerja perekonomian Indonesia. Sejak Jokowi berkuasa tahun 2014 lalu, pertumbuhan GDP berada di kisaran 5%, sedikit di bawah zaman SBY sekitar 5,6%. Jelas ada faktor anjloknya harga komoditi –salah satu andalan perekonomian Indonesia- di pasar dunia. Sementara reformasi pajak masih belum terasa hasilnya.

Untuk tahun 2018, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan Indonesia akan mencapai 5,3% atau di bawah sasaran pemerintah sebesar 5,6% sementara tingkat pengangguran tetap di kisaran 5,3% setelah turun dari 6,1% pada 2015 lalu. Sedangkan inflasi sebesar 3,7% saat ini akan diperkirakan naik menjadi  4,2% tahun depan.

Rumit untuk merincikan angka-angka itu ke dalam kehidupan praktis sehari-hari. Tapi satu yang bisa tergambar bahwa perekonomian Indonesia ya masih begitu-begitu saja, kalau tidak mengkerut walau dengan laju yang tipis.

Tapi semoga pada periode keduanya Jokowi punya kalkulasi politik lain. Tertutupnya kemungkinan untuk terpilih kembali mungkin membuat Presiden Joko Widodo tak perlu lagi menempatkan keseimbangan politik sebagai prioritasnya lagi. Di masa jabatan keduanya, siapa tahu presiden lebih berani mengguncang kaum-kaum mapan pendukungnya untuk kesejahteraan dan demokrasi Indonesia.

Apalagi jika menyadari bahwa dia punya banyak pendukung: rakyat yang sehari-hari bekerja keras yang mengharapkan kehidupan yang tenang, dan sedikit perbaikan nasib. Para pendukung jujur -yang bukan pengurus atau pemilik partai politik- yang memilih langsung presidennya.
***