Dari Bambu untuk ‘Peumulia Jame’ – Fakhrurrazi
Lemang Aceh berawal dari bambu-bambu muda berisi ketan atau beras, santan, gula, garam, dan air yang dibakar berderetan dengan posisi miring.
Sang pembakar lemang, Muhammad Yakob, bertanggung-jawab memastikan kematangan tiap-tiap bambu, yang dibakar hingga merata selama empat jam.
Biasanya Yakob membakar delapan sampai 10 batang bambu per hari namun meningkat pesat sepanjang masa puasa yang bisa mencapai 65 batang, menghabiskan 100 kg beras atau ketan.
Tiga jenis lemang -putih, hitam, dan ubi- dibakar bersamaan sejak sekitar pukul 11.00 WIB untuk siap dipasarkan sore harinya, sebagai sajian berbuka puasa pada bulan Ramadan atau jajanan harian.
Di Tanah Rencong, ‘meulumang’ (atau berlemang) menjadi tradisi melekat dalam kegiatan keagamaan, budaya, dan adat istiadat Aceh, sebagai perlambang ‘peumulia jame’ (memuliakan tamu).
Lemang siap santap ini membutuhkan kesabaran saat pembakaran untuk menjaga kematangan pas, yang diwariskan lewat pengalaman langsung.
Lokasi pembakaran dan penjualan lemang sudah melekat di Kawasan Lamdingin, Banda Aceh, sejak tahun 1994, dan selalu ramai sepanjang hari-hari Bulan Ramadan.
***
Fakhrurrazi, lahir di Alue Sungai Pinang, Kabupaten Aceh Barat Daya. Lulus dari Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara tahun 2019 lalu, kini bekerja sebagai jurnalis di Banda Aceh.