Memanggil Hujan – Zakiyyatul Fuadah

ketika tanah retak,
perigi padam,
sungai kerontang,
masih bertanyakah kalian
apa itu kesedihan?

tak ada kesunyian tersimpan
dalam tempurung kepalaku
hanya mantra-mantra tergelincir
memecah getir takdir
yang membeku di lorong hujan

o, dewi sri
lihat sekujur tubuhku
penuh bunga-bunga
perantara
bagi kidung malang
sedang keringat malam
telah mengembun

dari lengan-lengan
yang mengayunkan tubuhku

setelah harapan demi harapan
menubuatkan takdir kampung halaman
angin berdesakan,
bulan pucat ditelan awan berarak
juga di antara pergumulan nyeri
dan asap sesaji
kutukan kecil tuhan retak
guntur berderak serupa sajak

pada tangan-tangan
selembut sutra
yang mengayunkan tubuhku
mulai melambat.
entah esok hari
kesedihan akankah minggat
***
2024

* Adaptasi dari tradisi Cowongan di Banyumas, Jawa Tengah yang eksistensinya masih terjaga sampai hari ini. Tradisi tersebut dipercayai sebagai ritual untuk memanggil hujan ketika kemarau panjang berlangsung.

Di Savana

mengerjap mata kita
pada sehampar sawah
hijau teplok, kertap angin
berkabung
guntur menderam
menggamit butir hujan,
sloki-sloki kita isi matcha
gelas bergeming di sulangan pertama
melipur sisa luka masa lalu,
anjing-anjing liar itu, sayang
kita dengarkan menggonggong

mendesak kita beranjak, segera
pulang kembali ke utara
berjumpa kenangan
di balik bantal-bantal lapuk
juga selimut sutra yang kita percayai
kerap menguap dalam kamar
jam yang jauh, angka-angka
melepaskan diri dari almanak,
dinding dan lorong
lari ke dalam gelap,
kesedihan macam apa
yang pernah mendera
hati kita?
***
2024

Zakiyyatul Fuadah, lahir di Purworejo, Jawa Tengah. Mahasiswi Sastra di Unsoed Purwokerto. Puisinya terpublikasi di pelbagai media cetak dan daring. Bergiat di SKSP UIN Saizu Purwokerto.