Ibu Izin Mau Membaca Buku Di Sini, Rabu-Rabu* Saja

Arifah Nugraheni

Berderet-deret bangku lusuh penuh coretan pena dan goresan silet seakan ingin mengenalkan dirinya bahwa dia sudah banyak diduduki manusia. Warna cat coklatnya cenderung mulai menghitam kusam.

Kursi plastik tambahan tak cukup jumlahnya untuk siswa. Berebut kursi jadi  pemandangan yang biasa tiap kali masuk ke kelas. Yang duduk di kursi plastik bisa menikmati sensasi seperti duduk di kursi goyang. Kelas yang dindingnya terlalu lengang tanpa tempelan atribut pelajaran, bahkan senyum presiden dan wakil presiden pun –yang seakan berucap, “selamat pagi anak-anakku semangatlah belajar!”- tidak menggantung di dinding untuk menyemangati.

Matahari pagi yang mencolek-colek dari ufuk timur akan mengubah suhu di kelas menjadi sebuah ruang sauna. Meski begitu anak-anak SMP Negeri 2 Pulau Morotai ini tergolong beruntung: sekolahya berdiri kokoh dengan bangunan tembok.

Terletak di jalan utama kabupaten, mereka punya lapangan tetap, yang biasa dipakai untuk main bola atau sekedar berlarian saat istirahat. Tiang bendera merah putih berdiri tegas di tengah lapangan, mengabarkan ke seluruh penjuru dunia: “Saya ini juga bagian dari Indonesia, lho!”.

Ada satu ruang kecil ukuran 4X3 meter, tempat penyimpanan harta karun, penyimpanan karya-karya sastra, tempat orang menerka-nerka, menebak-nebak, dan membayangkan bagaimana penemu alat-alat canggih di dunia terkekeh-kekeh menciptakan temuannya. Juga menjadi tempat semua ilmu pengetahuan hidup dengan damai saling berdampingan di antara rak lapuk tanpa suara.

Inilah perpustakaan SMP Negeri 2 Pulau Morotai.

Koleksinya cukup lengkap. Buku cerita rakyat, legenda, fabel, sejarah, atlas, agama, pelajaran yang bukan masuk kurikulum, kamus bahasa Inggris, dan bacaan berbahasa Inggris. Untuk sebuah sekolah di pedalaman, koleksi perpustakaan SMP Negeri 2 Pulau Morota cukup lengkap.

Dijaga oleh guru bahasa Inggris, Ibu Sri Juliarti Redjeb, yang mengatur segala pemimjaman buku dan pengembalian buku sekaligus memegang kunci perpustakaan. Cilakanya, karena Ibu  Sri juga mengampu mata pelajaran Bahasa Inggris kelas tujuh maka perpustakaan -yang menjadi –kapal bentangan pengetahuan di SMP Negeri 2 Pulau Morotai- jadi sering tutup.

Dan ketika ruang penyimpanan harta karun dibuka, akan penuh sesak oleh para pemburu ilmu pengetahuan. Murid-murid memadati ruangan kecil sambil menikmati buku pilihannya.

Sebuah pemandangan yang indah!

Orang bilang pemandangan indah itu langka, sulit didapatkan mata. Dan begitulah: perpustakaan jarang dibuka.

Datanglah bocah bertubuh subur, putra seorang nelayan desa Momojiu, dengan senyum manis yang rajin membantu orangtuanya. Namanya Abdurahim Deto, orang-orang memanggilnya Im.

Masih membayang dalam ingatan ketika dia mendatangi saya di sebuah sumur desa di pinggir pantai tempat nelayan menjual ikan tangkapannya. Langkahnya tenang senyumnya mengembang. Tangannya memegang buluh tipis, panjang nan lancip.

Di ujung buluh itu tertancap sepotong ikan dengan daging tebal berwarna coklat keemasan bekas dibakar barusan, nampaknya sedap.

“Ini ikan untuk Ibu, ini namanya ikan malawari**, ikan ini dagingnya paling sedap, coba ibu rasa”, jelasnya seraya mengulurkan tangannya didepan saya.

Ikan bakar yang pertama kali saya coba di Pulau Morotai, ikan yang dibakarkan oleh seorang anak umur 13 tahun, ikan yang dibumbui air laut, ikan yang paling enak yang pernah saya makan.

Tiap kali Papanya pulang melaut, Im sudah menunggu di pantai. Menarik perahu ke darat, mengangkut ikan-ikan berukuran jumbo dari kapal ke tempat penjualan ikan, mencopot baling-baling kapal lalu mencucinya sampai bersih. Im yang mengerjakan.

Im kadang juga berkeliling menjual ikan hasil melaut Papanya, “Nao…nao…nao!”***, teriaknya lantang menjajakan ikan. Ya, Im memang rajin. Dengan tubuh gemuknya dia tetap energik.

Sekarang Im duduk di kelas delapan. Dia pernah bercerita kepada Ibu Henny bahwa dia sangat suka pelajaran IPA. Dan dia pernah memohon untuk meminjam alat praktikum yang disimpan di gudang sekolah karena guru yang betugas mengelola alat praktikum enggan mengurusnya. Repot katanya.

Alhasil sekolah yang memiliki alat belajar yang lengkap ini sempat terbengkalai dan  anak-anak hanya bisa memohon. Akhirnya guru IPA semester satu diganti oleh Ibu Henny, dan anak-anak merasakan praktikum dengan alat-alat laboratorium seperti yang mereka impikan, termasuk Im. Betapa girangnya dia.

Tapi Im pernah tersakiti. Semangatnya patah.

Hari itu -seperti banyak hari-hari lainnya- perpustakaan tutup sejak pagi. Waktu istirahat datang, anak-anak berhamburan ke luar dari kelas, ada yang menyantap pisang goreng di warung kayu samping sekolah, ada yang saling berkejaran, ada juga yang cuma duduk-duduk di depan kelas.

Ibu Sri pun membuka perpustakaan.

Melihat ada angin segar, Im dan beberapa kawan laki-laki di kelasnya mendekati perpustakaan, masuk dengan halus dan sopan. Im berjalan paling depan, “Ibu ijin mau membaca buku disini, rabu-rabu saja”.

Tapi Ibu Sri mendorong-dorong Im keluar dari pintu, kedua tangannya dibuka dengan merenggangkan 10 jarinya seraya dikipas-kipaskan ke arah anak-anak itu, “Pergi sudah, su mau tutup, saya sibuk”, katanya dengan nada meninggi.

Lenyaplah acara menggali harta karun di perpustakaan. Pintu satu daun digembok dengan rapat. Im berjalan dengan muka ditekuk, muram. Senyum hangatnya lenyap, dia berjalan menjauh dari perpustakaan, meninggalkan ruang harta karunnya.

Pengawal perpustakaan mengaku sibuk mengajar, padahal semua tahu dia sedang asyik bercakap-cakap di kantor sambil menjaga anak balitanya.

Kesedihan Im adalah tamparan untuk kita semua: sebuah kecerdasan yang tidak didukung lingkungannya. Dipatahkannya keinginan membaca seorang anak yang sungguh-sungguh ingin belajar. 

Im memang gemar membaca. Dia juga cerdas saat mengikuti pelajaran dan  perilakunya santun. Dia cuma butuh lingkungan sehat untuk belajar. Im butuh dukungan.

Morotai –wilayah Indonesia yang paling utara di Samudra Pasifik- adalah pulau yang kaya. Tanahnya subur, lautnya makmur dan termahsyur. Tidak berlebihan jika Jenderal Mac Arthur**** memilihnya sebagai tempat untuk mengunci wilayah Samudera Pasifik.

Bukan cuma dianugerahi kekayaan flora dan fauna, Morotai juga dianugerahi Tuhan dengan anak-anak yang cerdas, yang kuat untuk calon atlet-atlet masa depan. Alam membuat kecerdasan otak dan fisik mereka berkembang dengan baik, alam juga membuat mereka berbakat dalam olahraga. Namun ada keterbatasan dan kesempitan untuk mendewasakan mereka, yang juga anak-anak Indonesia.

Beri mereka buku, hanya buku. Antar mereka mengelilingi dunia dengan bukunya.
Semoga jangan ada lagi Im lainnya yang dipatahkan rasa keingintahuannya, yang ditolak ketika ingin bercengkerama dengan buku.

Beri mereka buku.
***

Cat.
*. Rabu-rabu: bahasa yang digunakan sehari-hari di Maluku Utara yang berarti sebentar saja.
**.Malawari: ikan Cod, Codfish.
***. Nao: bahasa Galela yang berarti ikan.
****. Mac Arthur: Jenderal perang Amerika Serikat yang berperan penting pada Perang Dunia II di wilayah Samudera Pasifik.