The Act of Killing, untuk Indonesia


Kru Indonesia untuk Film Jagal (The Act of Killing)

Membaca reaksi pemerintah Indonesia terhadap film Jagal atau The Act of Killing kami merasa perlu memberikan tanggapan.

Film yang kami buat berlokasi di Indonesia, berbahasa Indonesia, dengan tema yang berkait erat dengan babak gelap dalam sejarah Indonesia, namun demikian film kami sesungguhnya bercerita tentang manusia; tentang sebuah pembantaian massal yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia lainnya.

Film kami bercerita mengenai dunia yang dibangun oleh imajinasi dan penyampaian cerita; tentang dunia yang dibangun dengan imajinasi penguasa dan penyampaian cerita berupa propaganda cuci otak. Tentang sebuah dunia yang dibangun untuk menjustifikasi kekerasan massal sebagai sebuah perjuangan heroik yang terus dipertahankan sampai hari ini.

Tentang sebuah dunia yang menghasilkan kekosongan moral dan kematian budaya–semati hewan awetan walau diusahakan kelihatan dan berpose hidup. 

Tentang sebuah dunia yang dibangun diatas kuburan massal yang disembunyikan agar terlupakan.

Film kami adalah sebuah kisah mengenai apa yang terjadi di manapun jika manusia membangun normalitas sistem ekonomi dan politik berdasarkan kekerasan, kebohongan, dan ketakutan.

Menghindari membicarakan pokok persoalan yang diangkat di dalamnya, film Jagal dituduh sebagai upaya asing untuk memperburuk citra Indonesia di dunia. Kami, pembuat film Jagal, sama sekali tidak pernah berniat memperburuk citra Indonesia, karena bagi kami citra buruk bukanlah dari apa yang digali dan diungkap dari kejadian di masa lampau tetapi apa yang dikerjakan saat ini.

Bagi kami citra bukanlah persoalan bagaimana dan seberapa baik kejahatan terhadap kemanusiaan disembunyikan dari pengetahuan rakyatnya. 

Citra buruk adalah melanggengkan ketidakadilan dan impunitas bagi mereka yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Citra buruk adalah tidak meminta maaf kepada penyintas dan keluarga korban kejahatan terhadap kemanusiaan. Citra buruk adalah tidak merehabilitasi dan memberikan mereka rekompensasi atas segala yang telah dirampas dari mereka selama ini. 

Citra buruk adalah terus-menerus menyembunyikan fakta yang penting, walaupun pahit, pada buku teks yang dibaca jutaan murid sekolah dan pada akhirnya mencetak berlapis generasi yang tak mengenal sejarahnya sendiri.

Citra buruk adalah mengangkat arsitek pembunuhan massal sebagai pahlawan.

Citra buruk adalah ketiadaan upaya untuk memulai sebuah proses rekonsiliasi yang sejati dan menampilkan rekonsiliasi pura-pura yang berinti proses pelupaan sebagai satu-satunya hal yang mungkin dilakukan. 

Tidak satupun kerja memperburuk citra Indonesia kami lakukan lewat film Jagal.

Menuduh film Jagal sebagai suara ‘asing’ adalah upaya usang sekadar memancing sentimen sempit untuk mendirikan pagar pemisah tinggi-tinggi antara yang ‘kita’ dan yang ‘mereka’. Jika ada yang bisa diambil pelajarannya dari film kami, maka pembedaan yang melupakan semua kesamaan itulah yang menjadi salah satu faktor mengapa sebuah kebencian dan kekerasan massal menjadi mungkin dibayangkan dan dilakukan oleh sekelompok manusia terhadap sekelompok manusia yang lainnya. 

Berbicara mengenai intervensi asing, kami ingin mengajak semua untuk melihat berbagai investasi asing, proyek, dan utang yang menggelontor Indonesia sejak 1965 dan dibukakan gerbangnya selebar-lebarnya oleh pemerintah, masuk sebagai kelanjutan pembantaian massal yang disembunyikan itu dan pada akhirnya menggusur, mempermiskin rakyat, mengeruk segala kekayaan alam sambil meninggalkan jejak kerusakan lingkungan yang berkelanjutan dari Aceh sampai Papua.

Pembunuhan massal 1965-1966–dan bukannya film ini–yang justru adalah sebuah intervensi asing. Justru pemerintahan yang menuduh bahwa film ini adalah sebuah intervensi asing yang sesungguhnya adalah produk dari puluhan tahun intervensi asing .

Film Jagal bukan semata-mata ekspresi dari pendapat dan pandangan awak film berkebangsaan selain Indonesia, tetapi juga adalah pandangan kami, awak film berkebangsaan Indonesia. Film ini mewakili pandangan kami semua sebagai manusia penghuni bumi melintasi batas-batas negara, kebangsaan, ras, etnis, dan bahasa. 

Film Jagal dibuat oleh orang-orang dari berbagai bangsa, dengan awak film paling banyak berasal dari Indonesia, dengan semangat kemanusiaan dan solidaritas kepada semua korban pelanggaran hak azasi manusia di dunia. Jika film Jagal (The Act of Killing) secara resmi terdaftar sebagai produksi Denmark, Inggris, dan Norwegia–negara tempat perusahaan produksi film Jagal berkedudukan -itu semata-mata karena keputusan kami untuk menjadi anonim atau awak film tak bernama- karena dalam pendapat kami, negara kami belum bisa menyediakan perlindungan yang memadai. Kami tak bisa mendaftarkan film kami sebagai film Indonesia karena kami yang tak bernama tak mungkin mendirikan perusahaan dan tak ada jaminan bahwa perusahaan produksi yang mewakili film kami akan aman dari tindakan kekerasan.

Kami tidak ingin menciptakan risiko baru di dalam negara yang gagal melindungi pertemuan keluarga penyintas dan korban kekerasan massal 1965, yang tidak hadir ketika kekerasan terjadi pada saat orang menyampaikan pendapat dan berekspresi dengan damai, yang tidak mengusut tuntas dan menghukum orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan Munir, wartawan Udin, dan jutaan korban kekerasan politik serta pelanggaran HAM lainnya sejak 1965 di seluruh Indonesia dan Timor Leste. Hal-hal seperti inilah yang bisa–dan sepatutnya–dilakukan oleh negara jika negara sungguh-sungguh ingin memulai memperbaiki citranya, pertama kali, kepada rakyatnya sendiri.

Kami adalah generasi muda yang berusaha untuk menjadi sadar sejarah dan kami tahu bahwa banyak terjadi pelanggaran di luar Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah negara lain. Kami tidak membuat film mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan negara lain, seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Israel, Afrika Selatan, Rwanda, Serbia, dan lainnya karena, tanpa mengurangi arti penting dari film tentang pelanggaran HAM di manapun oleh siapapun, hal utama yang memotivasi pembuatan film Jagal adalah solidaritas kami kepada sesama rakyat Indonesia yang menjadi korban penindasan negara selama ini, dan karena bagi kami yang terpenting adalah membuat negeri kami menjadi negeri yang terhormat di antara negara lain di dunia.

Untuk bisa menjadi negara yang terhormat, kami yakin, negara harus menyadari bencana moral akibat pembantaian massal–dan bencana moral hari ini akibat impunitas, korupsi, dan ketakutan. Itu sebabnya kami membuat film Jagal. Solidaritas terhadap penyintas dan keluarga korban ini juga yang kami bawa bersama awak film dari bangsa lain dan ingin kami tularkan kepada penonton di seluruh Indonesia dan di luar Indonesia.

Kami sepenuhnya sadar bahwa sebanyak dan sebesar apapun pelanggaran HAM yang dilakukan negara lain tidak pernah memberi pembenaran bahwa kita bisa melakukan hal yang sama. 

Seperti kami yang melalui film ini menggugat negara kami, awak berkebangsaan lain pun menuntut hal yang sama lewat film The Act of Killing kepada pemerintah negaranya. Awak film berkebangsaan Amerika Serikat, sutradara film Joshua Oppenheimer, lewat film ini menuntut agar pemerintah Amerika Serikat mengakui perannya dalam genosida, dan berharap penonton Amerika mengenali The Act of Killing sebagai sebuah film mengenai dampak kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang mengutamakan hak perusahaan-perusahaan Amerika untuk menjarah dengan perlindungan impunitas di atas hak hak azasi manusia di negara-negara tempat perusahaan tersebut beroperasi.

Sebagaimana telah berkali-kali disampaikan oleh pembuatnya di berbagai kesempatan di banyak negara, film ini menyampaikan sebuah pesan bahwa kita lebih mirip dengan para pelaku pelanggaran HAM daripada yang selama ini kita bayangkan. Pesan yang dimengerti dengan jelas oleh para penonton di banyak negara.

Kami bekerja dan memberikan sumbangsih untuk membuat film yang sebaik-baiknya dengan kesadaran bahwa kamilah yang berbahasa Indonesia paling baik di antara semua awak film Jagal (The Act of Killing), kamilah yang paling dekat dengan sejarah yang menjadi tema film ini, kamilah yang merasakan tumbuh dan hidup di dalam sebuah dunia fantasi yang dipaksa menjadi rumah dan tanah air kami, serta kamilah yang akan menjalani segala konsekuensi dari perubahan atau ketiadaan perubahan di tanah air kami.

Kami menempuh segala risiko yang tak tertebak sampai saat ini, dengan kesadaran tidak akan pernah dikenal dan menerima langsung penghargaan setelah bekerja dan bekerja sama selama delapan tahun untuk menghasilkan karya kami, dari Indonesia untuk Indonesia dan dunia.

Mari menengok kembali tanggung jawab kita bersama membuat dunia yang lebih manusiawi. Mari kita mulai dengan membuat Indonesia menjadi lebih manusiawi.
***
semua kru Indonesia The Act of Killing tidak disebutkan namanya