Bang Jeck

Divo Utomo

Setiap orang memiliki filosofi hidup yang berbeda,  ada yang logis dan ada yang tidak logis menurut daya terhayal dan cara berfikir terilmiah ‘otakku’. Semua filosofi adalah benar, entah logis atau tidak dan hanya sudut pandang Tuhan yang bisa menilai secara pasti, selama tidak bertentangan dengan hak asasi manusia dan hukum terlogis, yang efeknya berkeadilan bagi semua mahkluk hidup di jagat raya. Penemuan filosofi baru yang logis dan nyata menjadi pembantai bagi filosofi dan ideologi yang telah mendarah daging walau yang tidak logis akan langsung saja tyerbuang jauh ke angkasa, yang bisa balik juga bisa tidak balik. Balik karena sampah yang terlalu banyak di angkasa sehingga menghujani bumi kembali.
***

Uh… semester 4 aku merasa sangat bosan dengan situasi perkuliahan, sangat statis. Tidak berwarna, membodohkan kualitas otak, menghancurkan kreatifitas spontan.

Aku merasa banyak penyakit mencengkramku dan memutuskan pindah kos.

Harus tempat kos yang tidak biasa. Kutentukan ukuran tidak biasa itu: dari berbagai orang yang memiliki kepribadian, budaya, agama, warna kulit, kebiasaan, cara berfikir, maupun jadwal mandi, jadwal tidur, atapun jadwal ngelamun yang berbeda. Rumah kos yang harus ragam perbedaan. Dan kutemukan juga akhirnya.

Aku bertemu dengan orang–orang yang sebelumnya tidak pernah kutemui secara langsung dan personal. Mereka datang dari berbagai daerah Indonesia bagian timur: Papua dan NTB. Bercampur dengan orang-orang Jawa seperti aku dari Cilacap dan rekan sekota plus satu lagi dari Kudus, maka bisa kujamin ada perbedaan di tempat kos baru. Dan kumantapkan kepercayaan semakin bisa memahami perbedaan, semakin bertambah wawasan dan semakin peka terhadap orang lain.

Kesan saat petama bertemu adalah orang-orang ‘baru’ itu sangat ramah, sangat baik hati plus murah senyum. Yang dari Papua bernama Bang Morin, yang dari NTB bernama Bang Jeck, yang dari Kudus bernama Alfa, dan yang Cilacap bernama Aan. Kami melebur dalam semesta kecil yang baru. Amat kurasakan alam semesta karena cita-cita perbedaan yang lumayan drastis di antara kami.

Bahkan dengan Aan -yang secara geografis dan budaya relatif sama- tetap saja muncul perbedaan. Aan adalah yang paling muda dan kalau secara asal geografis paling dekat denganku namun justru yang paling jauh di tempat kos. Dia lebih suka menghabiskan waktu di bawah bersama anak keluarga pemilik kos yang seumuran, 16 tahunan. Mereka berdua nyambung untuk semua hal: musik aliran cinta dari band Ungu, lagu kosidahan -yang biasa aku dengar saat menemani ibu kondangan- dan kerap jalan– jalan ke mal. Meraka berdua juga punya jam berwarna putih yang sama persis.

Rasanya tak ada yang nyambung denganku. Orang bilang aku sangat serius -dan kadang harus kuakui ada benarnya. Keseriusan yang membuatku lebih mudah bergaul dengan orang-0rang yang lebih tua. Selera musik -jika diukur dengan tren saat ini- tergolong klasik: Lembayung Bali dari Saras Dewi, Lea Simanjuntak yang bersuara sopran, Harvey M, Yana Yulio. Aku suka Orham Pamuk, Dewi Lestari, R. Kelly, Lady Gaga, Spongebob dan Patrick, Doraemon, Keluarga Cemara, Maliq and Dessensial, Mocca. Daftarnya bisa diperpanjang menjadi Bengawan Solo, Bimbo, Indonesia Jaya, Tohpati, Mariah Carey, IL Divo, Arisan, Detik Terakhir, Pasir Berbisik, Laskar pelangi, Daun di atas Bantal. Dengan daftar itu, nyaris tidak mungkin aku nyambung dengan anak 16-an tahun.

Sedang Alfa -anak asal Kudus- sangat cerdas namun memiliki cara berfikir yang ekstrim tentang hidup dan Tuhannya. Dia sangat menutup diri. Tidak suka keluar kamar, tidak suka jalan–jalan, tidak suka melakukan apapun kecuali bermain game di laptopnya. Kadang setor muka ketika kami ngumpul namun cuma sebentar. Dia bisa menghabiskan waktu 24 jam untuk rmain game dengan jeda makan, kencing, minum kopi, muntah, dan tidur.

Dia cenderung tidak suka dengan segalah hal -kecuali game, kopi, dan rokok. Dia mengaku tidak punya cita–cita, tidak suka dengan musik sama sekali. Sesekali aku bisa ‘menangkap’ dia di dekat pintu dan menggalinya tentang berbagai hal. Kadang kami tertawa bersama, namun belakangang kupahami alasan tawa kami amat berbeda. Dia tertawa dengan alasan yang tidak lucu sama sekali, dan buatku itu mengerikan. Jadi sering aku lebih berhati-hati untuk tertawa supaya tidak seperti di rumah sakit jiwa.

Bang Morin usianya sudah hampir 50 tahun. Sosoknya kebapakan dengan kulit hitam seperti orang–orang Papua lain. Pakai kacamata dengan rokok pasti di tangan dan selalu membawa tas punggung kemana pun. Bang Morin sangat ramah. Hidupnya selalu ceria seperti anak 10 tahunan. Dia sepertinya tidak pernah memikirkan sesuatu secara berat dan masalah satu-satunya yang terberat adalah hasratnya atas perempuan yang amat sulit dikendalikannya. Aku tak ingat lagi berapa perempuan yang menurutnya sudah diitidurinya, termasuk para pekerja seks komersial.

Akhirnya Bang Jeck: malaikat kami. Dia yang bisa menyatukan kami semua. Pintar, dewasa, memiliki sudut pandang seribu kali lebih banyak, dan keramahannya yang membuat tidak pernah marah. Bang Jeck seperti paman yang sekaligus menjadi teman. Tak hanya menjadi tempat bertanya, juga bisa diajak main sepakbola atau menjaga rahasia supaya tidak dimarahi ibu.

Berbagai karakter di tempat kos baru membuatku lebih menikmati hidup dan tersenyum bahagia. Semakin hari semakin kurasakan kemewahan dan keindahan perbedaan. Juga semakin membuka wawasanku. Buatku kesenjangan di dunia bukanlah kesenjangan antara si kaya dan si miskin tetapi kesenjangan antara orang yang selalu berfikir positif dengan orang yang selalu berfikir negatif. Itulah ancaman terbesar di dunia, dan aku yakin itu seratus persen.
***

Bagaimanapun sebenarnya Bang Jeck yang paling membuatku semakin terbuka dengan banyak hal. Sesekali aku tertanya-tanya tentang agamanya, tapi dia tidak pernah menyebutnya atau menanyakan agamaku. Aku pun memutuskan untuk tidak usah memperdulikan soal itu lagi. Dan ketika dua bulan berlalu kudengar dia beragama Kristen, sudah sama sekali tidak relevan dan juga tidak memuaskan pertanyaan yang dulu sesekali pernah muncul di benakku.

Tapi kami sering juga berdiskusi tentang agama-agama sepanjang malam. Persamaan antara Kristen dan Islam, sejarah Budha maupun Yahudi atau konflik-konflik antar agama yang pernah terjadi di banyak belahan bumi.

Aku paling suka ketika ngobrol tentang sebuah kotak kebenaran yang akan dibuka saat sebelum kiamat terjadi nanti, kira–kira 3 hari sebelum kiamati. Hampir lebih dari 4 malam kami membahas keberadaan kotak kebenaran tersebut disertai dengan berdebatan panjang tentang akhir jaman dan urutan terjadinya kiamat serta tokoh utama yang akan muncul atau sebagai pertanda akan kiamat. Dan ketika pembahasan kami semakin serius, Bang Jeck kemudian mencairkan suasana. “Kotak kebenaran itu ternyata berisi petunjuk membohongi malaikat supaya bisa masuk surga,” ramalnya.

Kami sama–sama memiliki khayalan yang sangat tinggi dan selalu haus akan berbagai informasi baru tentang sejarah dan ramalan masa depan peradaban umat manusia, umat binatang, umat tumbuhan, dan umat jin di jagat raya.

Biasanya malam Sabtu tempat kos kami kedatangan kawan-kawan Bang Jeck dan Bang Morin. Suasana semakin seru rasanya: bayangkan bukan hanya dua orang dari Indonesia timur tapi kadang enam atau delapan.

Bang Jeck pernah menceritakan tentang kebiasaan salah satu penduduk disalah satu pulau di NTB yang suka menangkap ikan paus dan dagingnya dibagikan untuk seluruh warga desa. Dia menceritakan tentang cara menangkap paus, berapa jumlah orangnya untuk menangkap seekor paus, terus rasa dagingnya, dimakan oleh berapa banyak orang sampai daging pausnya habis. Masih ada lagi tulangnya yang bisa dimanfaatkan dan cara memasak tulang, atau enaknya mata paus maupun ukuran lambungnya, jumlah giginya.

Semakin malam Bang Jeck semakin mengeksplorasi paus lebih luas tentang ekor paus, makanan paus, tempat paus beranak,  serta cara membuang bangkai paus. Semacam biografi paus yang sangat kunikmati. Cerita Bang Jeck itu membuat aku bergabung menangkap paus dan memakan dagingnya ramai–ramai dengan memakai bumbu kacang yang dibuat ibu -yang banyak tomatnya dan khusus dibuat setahun sekali saat Idul Adha.

Tentu tak hanya paus. Bang Jeck juga pernah bercerita orang NTB yang suka makan daging dan minum arak karena cuaca yang sangat dingin pada malam hari. Atau harga sayuran yang lebih mahal dari daging. Tapi cerita paus yang paling kunikmati dan kuingat dan juga kuimpikan.

Semakin dekat aku dengan Bang Jeck, mulai pula kebiasaannya mempengaruhi kebiasaanku terutama dalam soal waktu jam makan dan jam tidur. Biasanya aku makan malam jam 7-an namun aku mulai makan malam jam 1 atau jam 2 subuh. Jam tidurku juga berubah, aku lebih banyak tidur siang hari.

Dan kunikmati perubahan tersebu: seperti membuat hidupku lebih berwarna, tidak monoton, sangat baru, sangat mengasyikan.
Satu hal yang tidak bisa terpengaruh oleh Bang Jeck adalah ketahanan fisikku. Bang Jeck sama sekali tidak pernah lelah. Sebagian perjalanannya mengandalkan kedua kaki, termasuk ke gereja yang jaraknya sampai 10 km tetap dengan berjalan kaki.

Makanan faforitnya adalah sayur, mungkin semacam kemewahan karena sayur yang mahal di NTB. Aku menduga wilayah NTB yang terdiri diri pegunungan, hamparan padang rumput yang luas, serta jarak rumah yang sangat jauh satu sama lain membuat fisik manusianya menjadi berkali–kali lipat lebih tangguh dari orang Jawa, yang tinggal di kawasan padat penduduk dan relatif datar.

Dia mengaku beberapa kali ikut lomba jalan di NTB yang panjang lintasannya mencapai 100 km lebih. Dan aku akan berupaya mengelak sebisa mungkin kalau diajaknya jalan kaki. Baru sebentar, keringat dari seluruh pori tubuhku keluar, sedang dia sama sekali masih kering kerontang. Ekspresinya seperti baru berjalan 10 meter saja.
***

Pada suatu Natal, semua mahasiswa dari NTT dan NTB berkumpul di sebuah villa di Baturaden. Karena Bang Jeck salah satu yang ditetuakan, maka aku, Aan, Alfa, dan Bang Morin ikut diundang. Entah lebih didorong rasa ingin tahu atau faktor keramahan Bang Jeck, kami semua datang ke pesta

Baru pertama aku kali aku ikut pesta Natal, yang jelas amat berbeda dengan Idul Fitri. Kami semua berdansa diiringi ritme musik country khas NTB dan NTT. Kucoba meniru gaya dansa orang NTB dan NTT dan akhirnya aku merasa puas karena bisa melakukannya walau tak sempurna.

Sebenarnya aku bingung juga karena dalam pesta Natal, sebagian besar waktu dihabiskan dengan berdansa sepanjang malam sampai pagi. Tapi aku singkirkan segera pertanyaan itu. Kami semua berdansa tanpa lelah malah, semakin menuju pagi semakin tambah semangat. Rasa maluku hilang. semangat seriusku meluntur. Kami semua tertawa riang, amat berbeda dengan kondangan yang selama ini kudatangi yang selalu menciptakan kerikuhan di setiap langkah. Di villa Baturaden itu, dalam sebuah perayaan Natal, aku merasa memasuki sebuah dunia yang sangat berbeda, dan kunikmati dunia baru itu.

Lama-lama, kutemukan rutinitas Bang Jeck: setiap Selasa dia selalu membaca injil, sebelum, tidur– tiduran santai kursi panjang di teras atau di atas jendela melihat langit sore hari sambil merokok, maupun naik ke genteng melihat pemandangan di sekeliling kampung sambil minum kopi. Selasa seperti menjadi hari ‘perenungan’ untuk menyerap makna injil. Pada hari itu dia tidak belajar atau nonton berita di TV ataupun baca koran. Membaca injil dan menyerapnya. Itulah Selasa buat Bang Jeck.

Dan hanya Bang Jeck rasanya yang punya hari khusus perenungan. Itu membuat aku juga melihat Bang Jeck sebagai salah satu panutan. Jelas ak belajar dari bang Morin, Alfa, maupun Aan. Dengan perbedaan masing-masing karakter, aku seperti mempunya kesempatan untuk belajar dari mereka, tapi Bang Jeck lebih jauh dari itu. Ada semacam peran model panutan yang dia miliki di depan mataku.

Prinsip Bang Jeck untuk terus belajar sampai kapanpun membuat aku juga menjadi semakin terpacu untuk kuliah lebih serius. Sudah menjadi tekad Bang jeck untuk melanjutkan kuliah sampai S3. Bahkan dia sudah membuka-buka peluang untuk melanjutkan hingga pasca doktora, “Konsentrasi penuh untuk penelitian dan menulis pastilah menjadi kesempatan belajar yang amat baik dan membaginya,” katanya.

Aku masih jauh dari rencana-rencana seperti Bang Jeck. Anganku adalah selepas universitas, mendapat kerja dengan gaji bagus sehingga aku tak usah harus menunggu kiriman orang tua. Tapi semangat belajar seterus-terusnya pean-pelan mulai kulekatkan ke dalam jiwaku.
***

Usai kuliah, Bang Jeck tak bisa langsung melanjutkan kuliah S2. “Yang kita rencanakan tak selalu terlaksana kan,” tuturnya waktu acara perpisahan di vila Baturaden, tempat aku pertama kali -dan mungkin terakhir kalinya pula- ikut perayaan Natal. Keluarga Bang Jeck datang dari NTB. Para mahasiswa asal NTB juga diundang. Ramai dan meriah.

Bang Morin dan Aan juga datang, sedang Alfa memilih pulang walau sebelum berangkat berjanji akan datang juga ke Baturaden dan tidak muncul. Suasana lebih pesat perayaan keberhasilan BangJeck menyelesaikan kuliah, amat jauh berbeda dengan suasana hati dan akalku. Sulit rasanya tiba-tiba rumah kos kami ‘kosong’ dari Bang Jeck.

Ketika kesempatan menyampaikan sambutan, akhirnya kuberanikan tampil mewakili rumah kos. Suaraku bergetar dan Bang Jeck menanggapi sambutanku sambil tersenyum kecil dan mengangguk-angguk pelan. “Bang Jeck bukan hanya teman kami, dia juga panutan kami yang selalu memberi inspirasi bagi kami,” tuturku tak perduli pendapat sebenarnya Bang Moring, Aan, maupun Alfa. “Selamat jalan Bang Jeck, kami akan kehilangan tapi sekaligus yakin lebih banyak lagi yang gembira menyambut Bang Jeck di NTB, menantikan sumbangsihnya.”

Semua orang tepuk tangan dan Bang Jeck berdiri menyambutku turun dari panggung kecil, menyalamiku sambil menepuk-nepuk pundakku. Aku yakin dia mendapat pesanku.

Pesta berlanjut kemali dengan dansa, minum bir, dan main poker. Semuanya ketawa riang dan kuteguk sedikit bir ketika Bang Jeck mengangkat gelas diikuti semua orang. Terasa pahit dan aku tak akan pernah suka. Kyakinkan bahwa itulah pertama dan terakhir aku menengguk bir, agar kenangan dengan Bang Jeck tetap melekat kuat.
***

Aku dan Bang Jeck masih teus berkirim kabar lewat email. Bang Moring, Alfa, sert a Aan sudah lama hilang dari kehidupan keseharianku dan tinggal sebatas kenangan. tapi Bang Jeck ternyata tetap hidup dalam cita-citaku.

Dan kuyakin sekali waktu kami akan bisa ngobrol lagi tentang segala hal yang selama dua tahun lebih cuma kami singgung-singgung lewat email. Itu tinggal soal waktu, walau tempatnya tak pernah tahu, mungkin Prancis, tempat yang ia cita-citakan untuk melanjutkan kuliah.
***

TAGS :