Ketika Hampir Mati, Aku – Eliakim Sitorus

Bagaimana rasanya menjelang ajal? Betulkah ada proses yang sangat rumit meninggalkan kehidupan menuju ke kematian? Bagaimana meyakinkan diri bahwa di balik kematian fisik, memang menanti kehidupan yang lain? Pertanyaan-pertanyaan yang dulu amat sering dulu saya dengar dalam diskusi-diskusi pemahaman alkitab. Juga banyak dibahas dalam buku-buku teologia, kesehatan, juga kejiwaan.

Saya sudah lupa semua, yang dulu saya bahas dengan semangat, juga yang sudah saya baca dengan mendalam. Tapi saya pernah mengalaminya. Memang sudah empat rahun berlalu, namun masih segar dalam ingatan dan selalu disegarkan dalam bayangan setiap kali saya melayat orang yang meninggal dunia.
*** 8 Nopember 2006, pukul 02.00 pagi, mendadak saya menderita sakit di ulu hati, antara dada dan perut ke arah sebelah kanan. Sakitnya luar biasa. Saya terbangun dari tidur dan teringat ucapan orang, bahwa sakit di ulu hati
namanya angin duduk. Saya mencoba mengurangi rasa sakit dengan mengelus bagian yang sakit dengan gelas berisi air panas. Kemudian air dingin, dibuang dan diganti dengan air dari termos. Tetapi segera setelah air menjadi dingin, rasa sakit muncul lagi. Lalu saya turun dari tempat tidur, menekankan bagian yang sakit ke sudut meja belajar saya. Seketika memang rasa sakit hilang, tapi tak lama kesakitan pun muncul lagi. Saya coba tidur di lantai dan kaki saya angkat ke tempat tidur. Dalam posisi seperti itu, rasa sakit hilang sejenak, karena sakitnya meradang lagi. Bantal guling saya tekan sekuat tenaga ke dada, perut dan ulu hati, agar rasa sakitnya hilang. Nnyatanya rasa sakit masih terus.

Karena tidak tertahankan lagi, akhirnya saya membangunkan pembantu kami, Maria. Dia malah membangunkan ibu mertua, dan segeralah saya dilarikan ke Rumah Sakit Santa Elisabet yang terdekat dari rumah. Tiba di ruang gawat darurat, saya dibaringkan dan dokter jaga -seorang perempuan yang sabar- memeriksa sekilas.Jantung, katanya baik-baik saja, jadi kemungkinan maag yang kambuh. Alat-alat periksa jantung dicopot kembali dari badan. Saya tetap bertanya, kenapa sesakit ini? Obat rasa strawberry saya telan. Beberapa saat, ternyata menenang rasa sakit itu. Ddokter menyarankan pulang. Pulanglah.Tapi ketika sarapan bubur yang dimasak khusus ibu, rasa sakitnya kambuh lagi. Dan, kali ini tidak lagi hanya di satu tempat, seperti sebelumnya, melainkan menyebar ke atas atau ke dada dan ke bagian bawah, ke perut.

Juga sukar bernafas. Jam 06,45 dan saya telepon Tarigan, kawan yang yang sering menjadi teman seperjalanan menuju kantor. “Tarigan, tolong kau datang, aku sakit aku sekarat”. Dengan gerak cepat saya dilarikan lagi ke RS St Elisabeth. Ibu mertua juga ikut lagi mengantarkan kembali ke RS.

Kali ini, saya harus rawat inap, walau tak jelas apa yang akan dirawat mereka. Dokter yang memeriksa -selayaknya kebanyakan dokter di Indonesia- sedikit memeriksa dan pelit bicara. Yang pasti adalah saya harus diperiksa lagi, besok dan USG. Dari USG diketahuilah ada banyak batu di dalam kantong empedu saya. Lima hari di sana, saya yakin pengobatannya kurang intensif, Maka saya pindah ke Gleneagles Medical Centre Penang, Malaysia. Di sanalah, akhirnya saya dioperasi, dua belas hari setelah saya kesakitan.


Ketika berada di ruang ICU pasca operasi itulah saya mengalami penglihatan yang belum pernah saya alami. Saya seolah ditempatkan di jalan yang sempit dan pipih, lalu ada dorongan dari belakang agar saya berjalan ke depan. Sakit sekali rasanya sekedar untuk satu langkah ke depan. Di sebelah kanan dan kiri, terlihat buntalan putih seperti embun atau kapas atau salju. Putih sekali. Saya tidak bisa pastikan benda apa itu. Setiap kali saya maju ke depan, saya lirik ke belakang dan jalan yang saya lalui tadi hilang ditelan benda putih kemilau tersebut. Sehingga saya harus maju. Sesekali badan saya oleng atau hendak jatuh ke kiri, dan saya lihat sebuah telapak tangan tangan kiri datang mendekat, tangan yang besar sekali. Lalu karena tenaga dahsyat dari tangan raksasa itu, saya kembali tegak berada di jalan yang pipih. Selama masa perjalanan yang melelahkan saya itu, saya mendengar suara yang sangat nyaring bertanya kepada saya. Di tengah kesakitan mengangkat satu langkah, saya menjawab semua pertanyaan. Tiap langkah saya berjalan sambil menjawab pertanyaan yang muncul dari atas, seolah keluar dari corong atau mikropon dengan kekuatan besar. Tetapi tatkala saya lirik ke atas, tidak terlihat apapun. Ada banyak sekali pertanyaannya. Tetapi hanya dua yang saya ingat.“Eliakim, seandainya kau masih diijikan hidup, apa yang akan kau lakukan?””Saya akan semakin dekat ke gereja, saya akan melayani dengan lebih bagus,” jawab saya, dan saya agak sadar bahwa itu adalah suara Tuhan. ”Apakah kau mencintai isterimu dan anak-anakmu?”Pertanyaan yang ini saya jawab dengan lantang: ”Jangan kau tanya itu Tuhan. Engkau tahu, hanya merekalah milikku di dunia ini, saya mencintai isteri saya, mencintai anak-anak saya” Ada suatu saat, penglihatan dalam bentuk perjalanan itu terputus, ketika seorang perawat masuk atau datang ke ruangan. Suster memeriksa temperatur atau tekanan darah dan membenahi peralatan yang banyak nempel di sekujur tubuh. Suster juga mencek kabel-kabel yang bersileweran. Pada saat itu jalan pilih, buntalan putih, dan suara lenyap. Segera setelah sang suster pergi, saya tiba-tiba sudah berada lagi di jalan tadi, dengan pemandangan putih bagai salju atau awan di langit. Didorong agar berjalan lagi dan ditanyai lagi. Lelah sekali rasanya.

Saya tidak tahu persis akhir penglihatan itu, apakah tiba di ujung atau sama sekali tak ada ujung jala. Yang saya rasakan pasti dalam penglihatan tersebut adalah rasa sakit badan yang semuanya menghilang. Sepertinya rasa sakit meningkat dan sampai pada kulminasinya sebelum menekuk ke bawah dan hilang. Tidak ada lagi rasa sakit.Saya sadar total, melihat langi-langit kamar, ujung tempat tidur, kursi di salah satu pojok, dan peralatan kesehatan di samping tempat tidur saya. Tercium juga bau bersih rumah sakit: “wow..rupanya saya belum mati.”Dialog dengan Tuhan dalam jiwa tadi rupanya doa saya, dan Tuhan masih meluluskan permohonan saya. Umur saya masih diulur hingga hari ini.
***

*. Peristiwa itu sudah empat tahun lebih berlalu, tetapi masih segar bugar dalam ingatan. Dan pasti akan saya kenang terus saya. Juga menjadi pegangan untuk menikmati dan mensyukuri hidup. Saya meminta dan saya mendapat, maka saya tidak punya alasan untuk mengeluh. Hidup kehidupan!

Eliakim Sitorus, Tamat dari Universitas Sumatera Utara Medan, melanjutkan S2 ke Universitas Satyawacana Salatiga dan lalu lalang sebagai pegiat pemberdayaan masyarakat dan penyelesaian konflik.