Bapak Suka Ngobrol – Eliakim Sitorus

Saya tidak tahu, apakah orang tua lain yang sudah lanjut usia, seperti bapak saya, semunya suka ngobrol. Di rumah dia paling suka dengan saya, karena menggunakan bahasa Batak. Inilah kekurangan saya: tidak berhasil mengajarkan bahasa Batak kepada anak-anak sehingga tidak lancar komunikasi ompung dengan pahompu. Padahal sesungguhnya bapak sangat ingin ngobrol dengan cucu juga.

Acap sekali bahan obrolan bapak kepada saya adalah kisah-kisah lama yang sudah pernah diceritakan sebelumnya. Apakah dia lupa, atau ingin meyakinkan bahwa saya harus ingat cerita tersebut, saya tidak paham. Yang pasti, setiap kali ada kesempatan saya berada dekatnya, dia akan spontan menceritakan apa saja yang muncul dalam benaknya.

Untuk itu saya harus sabar. Memang kadangkala tidak mampu juga, lalu saya bilang, “sudah tiga kali itu bapak ceritakan kepada saya”. Maka dia akan menjawab, “oh iya?”

Namun  sebentar kemudian, dia akan ulangi dan lanjutkan menceritakan kisah itu. Jika sudah demikian, saya harus mendengarkan saja. Saya perkirakan yang sudah terkumpul dalam benaknya harus dikeluarkan, maka biarlah saya menjadi pendengar yang baik. Mungkin dia akan sakit atau tersinggung juika saya tak sudi mendengarkan penuturannya.
 
Hidup adalah penggalan-penggalan cerita pendak dan panjang. Kisah nyata, bukan  fiksi di atas panggung, yang
bersambung-sambung jadi satu. Memang seperti fiksi, ada yang mengharukan atau menyedihkan, ada yang mencengangkan tetapi banyak juga yang membuat tertawa ria, gembira.

Supaya kisah hidup menarik buat pendengarnya, maka cara orang menceritakan atau alur cerita dibuat sedumikian rupa bergantian antara yang mengharu biru dengan  duka nestapa. Ini membutuhkan teknik dan kiat yang didalami langsung dari kehidupan nyata bukan dipelajari di kursus-kursus.

Oleh karena penutur kisah hidupnya itu adalah bapak saya sendiri -yang sebagian dari dirinya adalah saya sendiri- maka saya harus menjadi pendengar yang aktif untuk terfokus pada bagaimana membuat agar kisah bapak menjadi menarik dan menggembirakan bagi dia, bukan bagi saya. Saya tidak perlu protes, jika seumpanya dia bercerita  loncat dari kisah satu (ketika masih kanak-kanak sudah ditiggal ibunya,  awal 1940-an) ke kisah lain (bagaimana dia menghadapi kawan sekerja di perkebunan tahun 1970-an).

Saya tak perlu harus mengoreksi tahun-tahun yang dia sebut sebab hanya akan mengganggu konsentrasinya bertutur, walaupun tanpa konsentrasi penuturannya. saya tahu hal yang sesungguhnya dia maksud. Bukan hanya karena sudah berulang dia ceritakan, tapi juga sebagian jalan pikiran dia adalah jalan pikiran saya juga.

Seperti saat ini, ketika saya sedang meneruskan pekerjaan di komputer, selepas makan malam. Dia duduk di sofa di ruang saya kerja. Tanpa saya minta -juga tanpa mau tahu saya sedang mengetik di komputer- dia mulai menceritakan bagaimana dia turut serta menghadiri kebaktian penghiburan -yang dalam bahasa Batak disebut martogar-togar- di  rumah seorang keluarga di kawasan Condet.

“Jadi ketika saya diminta untuk menyampaikan kata-kata, perlu jugalah saya ceritakanlah bagaimana saya pertama kali mengenal almarhumah,” katanya mengawali.

Berceritalah dia. Bagaimana perkenalan awal dengan suami almarhumah, karena dari perkenalan dengan suami itulah dia baru kemudian diperkenalkan dengan almarhumah, istri dari kenalannya yang pertama.
 
Ini contoh konkrit, bagaimana bapak saya tak perlu harus menceritakan ulang rekonstruksi peristiwa panjang perkenalannya dengan suami kemudian setelah itu disusul dengan almarhumah istrinya. Karena sambil bekerja, maka tidak mungkinlah saya penuh konsentrasi terhadap penuturan bapak saya. Maka saya hentikan pekerjaan dan duduk di dekatnya. Ini dia keaktifan saya tadi, bukan duduk sambil bekerja tapi aktif memberi kesan bahwa ceritanya menarik, dari segi isi maupun gaya penuturan.

Dia bertambah semangat bercerita. Sampai kisah itu berakhir atau tepatnya karena dia sudah lelah, barulah saya kembali duduk menghadapi komputer, dan bapak pun sudah tertidur, kecapekan berkisah.

Namun pekerjaan saya tunda dan saya ketiklah tulisan ini.

Bapak sangat ramah, mungkin karena dia suka bertutur atau karena itulah dia harus ramah supaya ada yang mau mendengar. Entahlah. Tapi setiap kali dia bertemu dengan orang lain, muncul keinginan untuk bertutur sapa.

Ketika masih di kampung halamannya, itu memang lumrah. Hampir semua orang di kampung di sekitar di Jalan Toba Sarimatondang, Sidamanik, dikenalnya, terutama kaum dewasa. Sehingga setiap kali keluar dari rumah berjalan, akan segera bertemu dan berpapasan dengan orang yang dikenal. Itu berarti kesempatan ngobrol, ya ngobrol tentang apa saja.

Beda dengan di Jakarta. Bagaimana mungkin bapak harus bertutur sapa dengan orang-orang di lingkungan tempat kami tinggal yang sudah berpikiran ‘siapa lu siapa gua’ atau mungkin sebenarnya lebih pada sudah terlalu lelah menjalankan rutinitas mencari nafkah.

Pernah beberapa kali bapak menyapa seseorang, namun orang itu tak menyambut sapaan bapak. Beberapa kali itulah baru dia yakin sudah membuktikan saran saya sebelumnya agar tidak usah terlalu berhasrat menyapa atau ngobrol dengan orang-orang di sini, apabila belum kenal.

Tapi pernah juga bapak ngobrol sepuasnya dengan orang yang belum dikenal, dengan seorang lelaki tua Taman Interaksi Sosial Cipinang, Muara Ilir. Ketika kami sedang jalan santai sore dan tiba di situ, sudah ada pria tua beruban sedang duduk berjemur di kursi besi taman. Mulailah bapak menyapanya dengan bahasa Indonesia aksen Batak. Saya biarkan.

Ternyata pria iu sama seperti bapak, tengah berkunjung ke rumah anaknya. Mereka cepat akrab dan bapak pun lebih lama duduk dekat si bapak daripada melakukan gerak badan, seperti biasanya jika kami datang ke taman ini. Si bapak yang satu lagi bermukim di Yogya.

Untuk memberi ruang bagi mereka berdua, saya melakukan gerak badan sambil nguping. Saya dan bapak yang harus lebih dulu pulang ke rumah karena mulai gelap sedang bapak asal Yogya masih melanjukan duduk karena rumah anaknya dekat dengan taman.

Dalam perjalanan pulang, bapak menceritakan kembali obrolannya dengan bapak Yogya tadi padahal sebagian besar tadi sudah saya dengar langsung.

Tapi begitulah, saya harus menjadi pendengar aktif. Bukan untuk saya tapi untuk bapak.
***
Cipinang Lontar, Jum’at, 05-02-2010, 00.35 WIB

*ompung : kakek, nenek
**pahompu : cucu

Eliakim Sitorus, Tamat dari Universitas Sumatera Utara Medan, melanjutkan S2 ke Universitas Satyawacana Salatiga dan lalu lalang sebagai pegiat pemberdayaan masyarakat dan penyelesaian konflik.