Bapak Sedih Hari Ini – Eliakim Sitorus

Ketika saya dan bapak sedang jalan pagi, ada pesan singkat dari adik saya. Isinya, mengabarkan bahwa dia dapat telpon dari rekannya: “Ompu* Parsaoran boru** Manurung meninggal dunia”. Ompu Parsaoran adalah teman sekampung bapak saya di Sarimatondang, Sidamanik, Sumatera Utara.

“Dia sepantaran dengan saya,” demikian bapak menjelaskan ketika kami duduk di bangku besi di taman  kecil di seberang kali Cipinang, Jakarta Timur.

Saya coba telepom ke Berlin Hasibuan, anak Ompu Parsaoran yang tinggal di Jakarta Selatan. HP-nya sibuk. Saya telpon menantu almarhumah yang tinggal di Jakarta Barat, yang semarga dengan saya Riris boru Sitorus, juga HP-nya sibuk. Riris baru sebulan lalu ditinggal suaminya Sahat Hasibuan, anak kedua Ompu Parsaoran.

Pastilah Riris sangat bersedih. Bulan lalu dia ditinggal pergi suami untuk selamanya, hari ini ditinggal oleh ibu mertua.  Dia harus pulang kampung menghadiri perkabungan.

Oleh karena info kematian itu masih berasal dari sumber ketiga, maka segera saya hubungi nantulang*** di kampung, yang rumahnya persis berhadapan dengan rumah Bapak di Jalan Toba, sekitar 150 meter dari rumah Ompu Parsaoran boru Manurung.

Eh malah nantulang ini belum tahu. “Tunggu ya, aku lari dulu ke sana. Aku  cek dulu, nanti kukabari kau,” katanya. Tak lama kemudian, teleponku berdering, dari nantulang. “Ya betul Ompung Parsaoran sudah meninggal tadi malam. Sudah tua,” itulah jawaban atas pertanyaan sakit apa?

Saya melihat bapak sedih. Berkurang satu lagi orang tua sepantarannya yang sudah menjanda ditinggal suaminya lebih sepuluh tahun lalu. Ompu Parsaoran adalah teman seprofesi ibuku almarhumah: pedagang kecil untuk komoditi ayam. Dibeli dari Tigaurung, Tidagaolok atau Tigapanei lalu dijual di pasar pekan Sarimatodang hari Jum’at dan Minggu. Bapak sendiri sudah mengenal Ompu Parsaoran sejak dari masa gadisnya. Ketika itu bapak suka berkunjung ke kampung Ompu Parsaoran yang gadis, sebab ada namboru**** bapak bermukim di desa itu.

Satu lagi menyusul.

Setelah kami kembali ke rumah, dari jalan pagi yang kami biasakan bersama bapak sejak tiba di rumahku di Jakarta 20 Desember lalu, saya kembali ditelepon nantulang lagi. Ada apa?

Ternyata Ompu Norma boru Butarbutar pun sudah meninggal tadi pagi. Berarti rumah duka sekarang hanya berselang 6 rumah, sebab rumah Ompu Parsaoran dan rumah Ompu Norma adalah ruko yang berjejer di jalan besar Sarimtondang.  Pastilah mengharukan: dua orang tua sama-sama janda pergi ke alam baka pada saat yang hampir bersamaan.

Bapak bilang: “Memang mereka akrab. Sama-sama pedagang kecil, pedagang ayam dari pekan ke pekan seperti Mamak.”

Kini, ayah benar-benar bersedih. Lalu dia cerita bahwa tak lama sebelum bapak datang ke Jakarta tanggal 19 Desember 2009, dia sempat bertemu dengan Ompu Norma di rumah Ompu Parsaoran. Mereka menghibur Ompu Parsaoran lantaran anaknya, Sahat Hasibuan, baru saja meninggal di Jakarta Barat dan dia tak kuat untuk datang melayat anak keduanya itu.

Dalam pertemuan terakhir bapak dengan dua orang tua itu, tak ada firasat bahwa keduanya akan pergi. Bapak kira masih akan sempat bertemu mereka kelak jika kembali dari Jakarta ke rumahnya di Sidamanik.

Ompu Norma walau sejak dulu kurus tetap tampak sehat. Dia bilang ke bapak, bahwa dia kuat makan. Usianya sudah hampir 93 tahun, berarti 10 tahun lebih tua dari bapak. Sedangkan Ompu Parsaoran sebaya dengan bapak. Badannya gemuk, sebab dirawat anak permpuannya yang tinggal di rumah tersebut dengan suaminya Siahaan. Mereka megelola toko obat.

Kami tahu bahwa anak-anak Ompu Parsaoran baru saja berkumpul di rumah mereka Natal kemarin, tak lama setelah kematian putra keduanya. Ada acara pemberian penghormatan kepada Ompu Parsaoran oleh anak-anaknya yang bisa berkumpul. Nama acara itu Mangalehon Sipanganon na Tabo atau bebasnya memberi makanan enak kepada orang tua. Ini simbolik, sebab sudah pasti tak bisa dimakan oleh orang tua namun makanan tetap saja bergilir disuapkan ke mulutnya oleh anak-anak yang datang berkumpul hari itu..Yang terpenting adalah ada kata-kata sambutan dari semua yang hadir, saling memaafkan dan saling menguatkan. Maka orang tua Batak akan sangat senang jika sudah menerima penghormatan dari anak-anaknya.

Ketika makan siang, bapak bercerita kepada Angel, puteri kedua saya: “Kawan ompung meniggal dunia, dua orang sekaligus di kampung.”

Puteri saya diam saja, tak tahu mau mengatakan apa.

“Tak lama lagi giliran ompunglah yang mati”, katanya lagi.

Kali ini saya yang menyela: “Ya.. semua manusia akan ke sana. Tidak ada yang tidak akan mati”.

Seharian, bapak menyanyikan lagu-lagu rohani dari Buku Ende gereja kami.

Bapakku sedih sekali hari ini…
***

Cipinang Lontar, Rabu, 20.01.2010
Cat:
Ompu : ompung, nenek, kakek
Boru : anak perempuan
Nantulang : tante dari garis ibu
Namboru : tante dari garis bapak

Eliakim Sitorus, Tamat dari Universitas Sumatera Utara Medan, melanjutkan S2 ke Universitas Satyawacana Salatiga dan lalu lalang sebagai pegiat pemberdayaan masyarakat dan penyelesaian konflik.