Mimpi Indah di Ujung Tidur

Andika Edwin Pahlevi

Malam minggu tiba, dan aku duduk di depan laptop menjelajahi internet di tengah alunan lagu High and Dry dari Radiohead. Akupun chat di msn, ngalor ngidul membahas rencana demo dan long march ke gedung rektorat.

Tiba-tiba ada pesan “tolongin gua dong.” Kulihat usernamenya sassy, yes! Yang di tunggu akhirnya muncul. Sudah lama aku naksir Sassy. Perempuan itu dianugrahi fisik luar biasa indah,wajah ayu rupawan, bibir yang membuat aku –dan aku yakin tak sendirian– ingin sekali mengecupnya. Namun yang paling membuatlu tergila-gila adalah dia selalu membuatku penasaran.
 
Cepat kujawab “tolong paan sas” dan “bantuin gue bkn tlisn buat presentasi bsk jmt.”

Hoaaa, perasaanku campur aduk jadi satu. “bisa aja mank paan topiknya.”

“demokrasi, gue percaya lo bisa bantuin gue soalnya lo nak FH, pliss donk.”

Heyaaah hatiku menjadi sumringah. Jarang-jarang seorang Sassy minta tolong orang lain. Dia terkenal punya kebiasaan mengerjakan semuanya sendiri. Aku sudah kenal Sassy sejak SMA dan naksir dia sejak SMA itu juga.

Masih kuulur tanya sana sini memperpanjang obrolan sebelum “gue telpon ya sas gak enak meseg2an kayak gini.” Aku yakin dia sebenarnya enggan kutelpon tapi aku ngotot –selagi dia perlu bantuan– dan memang diangkatnya. Chatting berlanjut di telepon, tak hanya sekedar topik demokrasi. Satu jam sudah, entah berapa pulsaku yang menguap. Bodoh, yakinku. Usai bertelepon tak mau kucek pulsaku, pastilah menguap banyak.
***

Jam 9, ada SMS “woi vi dugem yu, malem minggu masa dah kayak katak dlm tempurung aja.”

Kubalas “dimana no.”

Aku bergegas mengambil setelan kemeja dan berdandan necis ala eksekutif muda, mengambil kunci mobil dan meluncur ke tempat nongrong hedonis. Sambil nyetir kunyalakan rokok –biarpun tertera jelas larangan merokok.

Sampai di tempat tujuan, gemah ripah menyambutku. Lena, pegangan lamaku berteriak dan manggayutku.

“Levi, kemana aja lo. Tenggelam li di Surabaya sana.”
“Iya,” balasku mencengkram pinggangnya. Aroma parfum terlempar tajam ke hidungku.
“Surabaya antah berantah gitu.”
“Surabaya membosankan.” teriakku dan kugeser dia ke sampingku dan kusapa teman-teman lain. “Cemana bros?” .

Kamipun larut di bawah siramn lampu remang berwarna-warni dan lantunan musik trance.

Temanku Febro setengah berteriak ke kupingku: “Vi, dah tao belom lo kalo si Sassy dah jadian,”
“Serius? Ama siapa?” Aku seperti terbodo.
“Sama si Bagus, yang kayak Cina itu.”

Kuhisap dalam rokokku, seakan tak mau percaya. Aku merasa habis-habisan untuk Sassy, jalan-jalan,makan, sampai mengerjakan tugasnya. Sia-sia!

“Lo suka sama Sassy kan,”
“Ya, bego banget nggak nembak lagsun saja.”
“Sekarang lu move on sajalah, cari yang terbaik buat lo.”

Nasehat yang rada mengesalkan, tapi aku menghargai simpati Febro.

“Kalo lo masih niat ama Sassy tungguin aja, paling dia jadian ga bakal lama. Bocah bosenan,” Febro ketawa lepas.
“Kasi tau gue kalo sassy dah jomblo lagi,” dan kutarik Lena merapat ke badanku.

Jam 4 pagi, tapi wajah Sassy terus membayang.

Aku menyetir setengah mabuk tapi masih bisa juga selamat sampai rumah.

Sedikit oyong aku melawati ruang tamu dan terhenti memandang foto almarhum ayahku yang tergantung di tengah ruang tamu, Foto setengah badan berskala penuh itu memang sengaja ditaruh di tengah ruang tamu sehingga tak satupun orang yang datang tak bisa tidak melihat sorot matanya.

“Alo pa, kok ngeliatin Levi kayak gitu sih? Biasa aja lagi pa,” kujawab sorot mata itu. Tapi aku gelisah, apa rasanya dia melihat anak sulungnya. Masih terpatri di kepalaku seruan: “kamu itu anak kebanggaan papa, kamu itu aset papa sama mama. Kami nggak perlu emas segunung atau uang selautan cukup kamu saja.”

Kuseret kakiku, lari dari sorot matanya. Air mataku menetes.

Kini aku tahu mengapa ibu mengirim kuliah ke Surabaya biarpun di Jakarta aku sebenarnya lolos di universitas nomor satu se-Indonesia. Awalnya, sampai beberapa menit lalu, aku masih tidak bisa menerima keputusan itu. Aku akhirnya pindah ke Surabaya setelah pertengkaran hebat dan ibu menangis dan menyembah foto ayah di ruang tamu.

Ibuku rupanya visi jauh ke depan. Dia rupanya tahu gaya hidupku yang bodoh; hedonisme yang tak akan pernah terpuaskan. Malam itu, setengah mabuk, aku merasa menjadi mahluk yang paling bodoh. Hidupku di Jakarta habis terserap musik trance, perempuan berparfum tajam, alkohol, dan nikotin.

Kurebahkan tubuhku dan kucium bau busuk ketika aku menguap lebar. Di atas mejaku ada foto keluarga, semuanya tersenyum riang, Kuambil bantal dan kututupkan kepalaku,

Aku gelisah membolak-balik Malam itu aku mimpi indah. Indah sekali. Aku tak tahu persis apa mimpinya, tapi aku terbangun dengan senyum riang yang ringan.
***
Surabaya 14 maret 2009