Kota Itu Masih Tetap Tidak Tidur – Ningrum Sirait

Untuk kesekian kalinya aku berkunjung ke ibukota dunia ; ‘Capital of the World,’ kata mantan walikotanya Rudy Giulani yang terkenal berhasil membersihkan New York dari kriminal, dan memberinya wajah baru yang lebih menarik. Sebelas September sudah hampir setahun dan banyak sudut-sudut yang terasa tetap sama saja. Stasiun Grand Central masih berlangit langit langit rotunda yang cantik, dengan lukisan artistik. Subwaynya masih menyimpan beberapa warna hitam ketuaan, walau di beberapa stasiun kulihat juga marmer baru berwarna beige, yang aku yakin pergantiannya tidak ada hubungan dengan 11 September.

Pengamen amatir masih tampil dibeberapa tempat di Subway dengan lagu lagu klasik khas. Sungguh suatu serenity ditengah kekumuhan beberapa stasiun bawah tanah yang gelap. Broadway dan Times Square masih dengan kumpulan manusia dari berbagai bangsa, berjalan ke berbagai tujuan, seolah aliran air yang tak pernah putus. Turis-turis dan para New Yorker berbaur seperti biasa, menyebarkan apa yang kurasakan sebagai aroma New York.

Jadi apa yang berbeda kali ini, pikirku?

Tiba tiba saja aku terbalut perasaan kehilangan, dan aku telusuri rute ritual ; keluar stasiun Subway Bowling Green, sepanjang Wall Street, melewati gereja, yang kali ini penuh dengan hantaran bunga dan lilin. Kusaksikan antrian hening orang. Ahhh, itu dia Ground Zero.

Disitulah dulu, kulihat menjulang gedung kembar World Trade Center, dikelilingi gedung pencakar langit lain. Aku ingat ada taman untuk orang-orang yang ingin menikmati makan siang di udara terbuka. Hilton Hotel dan beberapa gedung lain terlihat masih ditutup jaring pengaman hitam. Jalan masuk tertutup dan dijaga polisi dengan menyisakan ruang selebar semeter untuk sekedar melintas ke jalan di seberang Ground Zero.

Aku mengenang ritualku. Melintas British Museum di London atau Museum Louvre di Paris untuk sekedar melihat Monalisa. Hanya melintas, titik. Dan aku juga melintas Ground Zero, sebuah lubang maha raksasa yang baru selesai di bor. Sekelilingnya bersih dan tidak lebih menggambarkan sebuah pembangunan besar- besaran akan segera dilaksanakan.

Aku merenung sebentar, mencoba membayangkan dahsyatnya kejadian itu, tapi pemandangan di depanku menghalangi angan-angan. Bagaimana ide itu mampir dipikiran sekumpulan orang? Menabrakkan pesawat ke gedung di pusat daerah padat orang-orang pencari nafkah penghidupan. Sukar untuk tidak mengatakan ide itu brilian tapi pada konsep yang salah dan tidak manusiawi.

Teringat kembali berita yang diputar berulang kali TV, “they ‘re both down”, kata-kata terakhir yang terserak dan berpasir dari handy talkie anggota pemadam kebakaran New York, dan gedung kembar itupun musnah menjadi tragedi kemanusiaan.

Ada yang berubah, pikirku, mengamati suatu tempat di sebuah negara besar setelah serangan besar. Aku merasakan banyak orang Amerika yang lebih patriotis, lebih religius, dan lebih banyak berpikir tentang perbedaan agama, politik, serta keamanan. Dimana-mana tersebar slogan-slogan berbentuk stiker ataupun poster yang menggambarkan Amerika akan menuntut balas, dan akan mencari serta meminta pertanggung-jawaban pelakunya. Slogan-slogan yang bombastis yang pasti mampu menggoncangkan darah rakyat Amerika untuk menuntut balas.

Slogan ini bukan hanya di New York, tapi diberbagai pelosok Amerika. Dua lampu seperti mercu suar tinggi yang terlihat dari berbagai penjuru kota pernah dibuat untuk mengenang para korban gedung kembar WTC. Sebagai bangsa yang selalu mengaku demokratis dan manusiawi, tindakan itu jelas memancing kontroversi pro-kontra.

Aku mengenal orang Amerika sebagai bangsa yang patriotis, dengan seruan-seruan dari Uncle Sam yang terkenal untuk memanggil anak muda ikut wajib militer. Tapi, di kuartal pertama tahun 2002, aku merasakan semangat yang lebih digelorakan lagi. Dan motifnya sedikit berbeda ; untuk mempertahankan martabat dan milik bangsa di dalam rumah sendiri, bukan sesuatu yang kabur seperti perang Vietnam dulu.

Religiusme juga mendapat tempat. Gereja dan sinagog di New York menjadi penuh karena orang orang mulai mempertanyakan hubungan manusia dengan Tuhan melalui tragedi gedung yang runtuh itu. Mereka mungkin masih sulit memahami orang-orang yang pagi itu berangkat dengan rutinitas sehari-hari, berkemas, mengecup anak, istri atau suami, lantas memastikan janji pertemuan atau makan malam dan bergegas mengejar kereta bawah tanah.

Beberapa jam kemudian ribuan orang-orang itu musnah bercampur debu dan puing bangunan, dalam waktu sekejap mata. Alangkah tipisnya batas kehidupan dan kemusnahan. Betapa dahsyatnya serangan itu, dan banyak tempat beribadah yang belakangan menuai jemaat.

Demikian juga pemahaman terhadap Islam, yang menjadi topik menarik dan hangat dalam berbagai seminar. Perhatian lebih banyak diarahkan pada orang-orang berjilbab. ‘Kenapa selama ini kita tak memperhatikan tetangga kita sendiri, siapa mereka ini?’ begitulah kita-kira benak mereka. Amerika berubah, juga New York.

Tetapi tak seluruh nadi New York. Kota ini tetap NewYork seperti yang aku kenal. Serangan dasyat 11 September tidak sampai melindas habis pluralisme kota super heterogen ini. Segala hal memang bisa ditemukan di kota ini, termasuk antagonisme.

Setelah prahara WTC, pemerintah Amerika menyatakan Bin Laden yang bertanggung jawab. Ketika Amerika memimpin pemboman Afghanistan, kontradiksinya adalah sekumpulan warga Amerika mengumpulkan bantuan untuk para keluarga dan anak anak di Afganistan yang menjadi korban pemboman Amerika. Suatu philantropisme yang paradoks. Bom dan bantuan dijatuhkan pada saat sama kepada bangsa yang sama dan dari bangsa yang sama.

Beberapa teman LSM Amerika mengeluh kalau philantropi Amerika lebih sibuk mengurus dirinya sendiri. Berbagai lembaga dibentuk untuk mengurus anak- anak dari orang tua yang menjadi korban WTC. Pemerintah juga sibuk memikirkan mobilisasi besar-besaran dari perkantoran yang tutup di sekitar WTC. Belum lagi mengurus warganya yang kehilangan pekerjaan.

Tetapi New York masih New York juga. Ditengah upaya mencari korban dan harta benda yang bisa diselamatkan, masih ada warga yang mencoba mengais keuntungan dengan mencuri atau mengklaim harta benda yang terkumpulkan.Ini mestinya kelakuan tipikal warga negara negara berkembang, tapi hei….ini New York. Segala hal bisa terjadi di New York.

Dan pahlawan baru Amerika telah lahir. Pemadam kebakaran New York, Fire Department of New York (FDNY), mengorbankan diri untuk bekerja siang dan malam di gunung puing-puing WTC. Kapitalisme pun segera berperan dengan penciptaan pasar baru untuk wisatawan seperti aku. Topi, t-shirt, gantungan kunci, dan stiker pemadam kebakaran kota New York mewabah di seluruh pelosok turisme.

Di balik pernik-pernik pemadam kebakaran New York aku temukan pula slogan cinta atas kota ini ; ” I love New York, more then ever…” Dahsyat sekali penduduk New York ini, pikirku.

Terkenang kembali pesan email dari teman dekatku satu jam setelah WTC ambruk diserang ;”it is now the whole world watching us from now on to the future…”. Dia mungkin benar. Banyak yang memandang tragedi ini untuk membuka dan menjalin kembali semua pemikiran yang ada. Dunia sepertinya tidak akan pernah sama lagi dengan yang sebelumnya, walaupun New York tetap bergulir seperti sedia kala.

New York tetap menggulirkan taksi kuningnya, antrian panjang turis dengan tambahan tujuan baru Ground Zero, lalu lalang jembatan Brooklyn, kunang-kunang lampu Manhattan, atau sorak sorai stadiun Yankee. Broadway tetap mengelar pertunjukkannya, Museum of Modern Art MOMA terus menggeliat mendesakkan kesenian dunia modern, dan Central Park tetap berkerudung tanaman hijau pada musim semi.

WTC memang tidak terlihat lagi di hutan lebat pencakar langit New York, ketika aku melihat lagi langitnya. Saat itu jam 2 subuh, dan dari jendela taksi kuning New York aku rasakan New York –seperti biasanya– tidak akan pernah tidur. Kehidupan berjalan sebagaimana biasa.

Sekedar kebencian manusia –yang direncanakan secara brilian dan sistematis sekalipun– ternyata tidaklah mampu menghentikan New York.
***