G3 WA 7 (Gara-gara Grup WhatsApp)

Tiga hari setelah penjelasan awal tentang yang kukerjakan pada suatu shift malam itu, aku dipanggil lagi. Kembali Bos Operasi dan Bos Personalia, namun kali ini bersama sekretaris personalia yang duduk di bagian pinggir meja dengan laptop, selayaknya seorang panitera pengadilan.

Sekretaris personalia itu sebenarnya orang baik, kata banyak orang di kantor, jadi bukan menurut aku dan kawan-kawan yang tak pernah naik pangkat dan naik gaji saja.

Bukan cuma ramah dan sopan, juga siap membantu secara profesional. Aku sering dengar banyak rekan yang dibantu jikanya ingin ketemu Bos Personalia secara pribadi, entah urusan memamerkan kinerja, permohonan cuti mendadak, cash bon –harus ada tanda tangan Bos Personalia baru bisa ke kasir- maupun untuk penjilatan untuk bisa naik pangkat dan naik gaji, atau sekedar cari muka tanpa tujuan nyata jangka pendek.

Ada juga yang minta lihat file pribadinya sendiri –paling tidak beberapa kawan-kawan senasibku- sekedar untuk mengetahui kapan terakhir kalinya dia naik gaji, yang bukan penyesuaian inflasi. Atau meminta salinan peraturan tentang cuti, kalau ada orang yang sirik tidak dapat cuti waktu musim liburan sekolah tapi rekan di meja sebelahnya dapat.

Sekretaris itu pasti membantu sebisanya, terlepas orang yang datang bergaya memerintah, mendesak, memohon, merayu, atau datar-datar saja.

Asima adalah peninggalan dari Bos Personalia yang lama sehingga -menurutku- masih menganut nilai-nilai professional yang santun. Baginya semua orang harus diperlakukan sama: dihormati dan dibantu sedangkan rasa suka tidak suka hanya boleh ada di luar kantor, di luar dunia profesi.

Aku suka dia sampai sekarang, biarpun sebelumnya tak pernah meminta bantuan atau berurusan langsung sama dia, sampai saat ini. Aku tak mau melempar sorot mata tajamku ke arahnya, yang tampaknya memang sengaja memilih menatap mati layar laptop, tanpa mau tahu siapa yang menjadi tertuduh.   

Begitu aku duduk, tanpa selamat pagi atau bersalaman, Bos Operasi langsung membuka.

“Pak Simatupang, kami cukup dalam membahas masalah kinerja Bapak mengingat senioritas dan pengalaman Bapak, yang kami hargai. Tapi pada sisi lain, senioritas Bapak seharusnya pula menjadi panutan bagi banyak karyawan lain, atau mungkin semuanya. Itu yang kami tidak lihat dan amat mengejutkan bagi kami semua bahwa pekerjaan yang seharusnya bisa diselesaikan oleh semua karyawan malah tidak mampu Bapak selesaikan.”

Terhenyak juga  rasanya.

Padahal aku sebenarnya bukan tergolong orang yang bisa dengan mudah dihancurkan. Sepanjang 18 tahun lebih bekerja di posisi yang sama dengan jenis pekerjaan sama –walau ada penyesuaian teknologinya tentunya- dan gaji yang sama pula kecuali penyesuaian inflasi resmi pemerintah, jelas membuat kekebalan terhadap berbagai macam hal di kantor menjadi amat tinggi.

Seperti pengembangkan sistem kekebalan tubuh, sekali makan nasi yang agak basi membuat perut memang menjerit tapi lama-lama terbiasa juga. Cuma mendengar divonis sebagai orang yang tidak bisa menyelesaikan pekerjaan, jelas pula membuatku terganggu. Apalagi untuk pekerjaan yang tidak mendesak, tidak terlalu penting, dan tidak terlalu sulit.

Jadi aku diam dan hanya terdengar suara keyboard si sekretaris. Kukeluarkan keahlianku –begitulah kata beberapa kawan dekat- dengan menatap tajam dan dingin mata Bos Operasi dan pindah ke mata Bos Personalia. Kali ini keduanya menantang pandanganku. Suara keyboard berhenti dan satu dua detik hening sebelum Bos Personalia bersuara.

“Kami berpendapat masalahnya bukan ketrampilan atau kapabilitas, tapi lebih kepada attitude. Dan itu berbahaya bagi teamwork,” jelasnya sambil sempat menggugah anggapanku selama ini –apa judul Viva Teamwork! dari dia mungkin, bukan dari Bos Operasi.

Aku diam lagi, bingung. Sungguh bingung.

“Seandainya sekedar masalah ketrampilan atau kapabilitas, tentu itu soal yang bisa dengan cepat ditangani dengan pelatihan-pelatihan. Tapi attitude soal lagi dan kami khawatir jika attitude itu sudah terbentuk mapan,” tambah Bos Operasi lagi dengan latar suara tangan sekretaris yang kembali mengetik cepat mengikuti mitraliur tuduhan itu.

“Maksudnya Bu?” tanyaku, bukan sinis tapi memang benar-benar pingin tahu.

“Apa masih perlu saya jelaskan, ketika bukti-buktinya sudah ada?”  

“Bukti apa Bu?,” dan terasa ada dung dung sret sret dari telepon di sakuku. Kuambil Samsungku dan kutaruh di atas meja. Kalau nanti semakin muak mendengar mereka, pikirku, aku pura-pura lihat pesan penting saja.

“Ini semua,” katanya memberikan beberapa halaman cetakan WA dan email.

“Terus…” rupanya tanpa diatur aku sudah pindah dari mode kebingungan menjadi mode perlawanan.

“Anda hanya membalas satu WA tapi dalam penjelasan beberapa hari lalu mengaku kebingungan menyerap pesan-pesan itu sampai tidak mampu menuntaskan pekerjaan, yang kami yakin bisa dikerjakan oleh orang-orang selevel Anda dan sepengalaman Anda,” kali ini Bos Operasi yang menjelaskan dengan suara rada tinggi dan sudah mengganti Pak Simatupang dengan Anda.

Mode perlawanan saya pun semakin menguat rasanya.

“Pak kalau saya membalas WA itu, sama sekali tak ada yang saya kerjakan. Malam itu sudah tiga perempat selesai, kalau Haryono meneruskan seperi yang saya minta, paling sejaman lagi juga selesai.”

“Tapi Anda punya berapa jam….,” kata Bos Operasi yang belum selesai sudah kupotong.

“Lagi, kalau membalas WA itu semua, salah juga, kok kerjaannya membalasin WA, dan ini jadi lebih tebal,” tanggapku sambil memegang halaman cetakan WA dan email.

“Seperti yang saya katakan, tidak perlu lagi penjelasan tentang attitude Anda,” kata Bos Personalia.

“Itu hanya kesimpulan Ibu saja.”

Kami bertiga diam dan sebagai isyarat untuk mode perlawanan kulihat WA: 1.376 semuanya, kubuka dan ada satu dari Reza –salah seorang kawan yang tak pernah naik pangkat dan naik gaji- “Aman juragan? Kata orang-orang lagi sidang indisipliner.”

Kubalas dengan meme orang pakai kaca mata hitam.

“Kami sangat menyesalkan attitude Anda, yang mestinya jadi panutan dari rekan-rekan lainnya,” kata Bos Personalia memecah keheningan selama satu dua menitan tadi.

“Pertama saya tidak mengerti attitude yang dimaksud, kedua attitude dari seorang karyawan tak bisa lepas dari attitude perusahaan dan attitude para pimpinan, apa pun attitude itu,” tanggapku entah dari mana pula muncul keahlian manajemen itu.

Diam lagi beberapa menit.

“Kami kira, pertemuan ini sudah cukup. Anda punya pertanyaan lagi,” tanya Bos Personalia.

“Ya sebenarnya ada, apa maksudnya attitude itu, tapi mungkin agak susah menjawabnya,” kujawab sambil menggeser kembali kertas-kertas cetakan WA dan email ke arah mereka.

“Terimakasih atas waktunya,” kata Bos Personalia, berdiri dan membuka pintu.

Aku pun ke luar dan melihat ke Asima, bukan dengan pandangan tajam dan dingin, tapi yang lembut sekedar untuk menyapa tanpa kata-kata. Dia memilih duduk kaku sambil menatap mati layar komputer dengan kedua tangan tetap siap di keyboard.
***

Sampai di luar aku pencet: “Pantatlah sama orang itu semua!”

Aku kembali ke mejaku, dan rasanya beberapa orang melihat ke arahku tapi diam.

Baru duduk, dung dung sret sret. “Lu nulis apa di grup, salah kirim itu,” dari Reza.

Kulihat WA Viva Teamwork dan ada “Pantatlah sama orang itu semua!”

Mati aku.
***

Seminggu kemudian, aku menerima surat Pemutusan Hubungan Kerja, tidak jelas entah gara-gara WA Pantat atau pertanyaanku tentang attitude atau memang sudah dijadikan sasaran.

Ada sekitar belasan halaman yang kuterima dan tak terlalu kubaca. Halaman pertama pemberitahuan PHK, bagian kedua berisi dua halaman berupa Penjelasan Atas Keputusan No. 319/2016, dan sisanya Notulen Pertemuan, entah berapa halaman. Kubaca bagian paling bawah notulen dan ada juga tertulis lengkap, “Ya sebenarnya ada, apa maksudnya attitude itu, tapi mungkin agak susah menjawabnya.”  

Asima memang professional, pikirku.

Dengan kompensasi tiga bulan gaji –bukan tawaran pensiunan dini- jelas aku tidak menerima keputusan itu dan melaporkan ke Departemen Tenaga Kerja, Lembaga Bantuan Hukuk, dan Serikat Buruh Merdeka –“itu yang paling radikal dan serius menangani kasus-kasus penindasan buruh.Orang itu juga tidak minta biaya atau komisi.” saran kawan kuliahku dulu yang jadi pegiat hak-hak perempuan.
***
bersambung