Para Suara Bintang – Ni Wayan Wijayanti

“Aku sedang mencoba cara membuat dirimu kembali di dalam pikiranku yang sudah buram tanpa ada kenangan tentangmu. Sepertinya aku amnesia, atau memang kenangan itu tidak aku anggap penting lagi? Setiap kali aku melihat Scorpion, gemamu seakan datang bagai riak di pesisir. Berdebur halus namun sulit aku raih. Ibu.”

Aku menutup buku yang sejak tadi habis aku tulisi. Tetes-tetes air mata sedikit mengoyak lembarannya. Ya, aku sangat rindu. Pada orang yang sudah tidak ada. Tidak tahu juga harus menggapainya di mana. Pikiranku kebas saat mendengar namanya. Sebab dia, ibuku. Sudah lama mati.

Malam semakin menjelang, seperti biasa aku keluar ke balkon. Menatap rasi itu dan mengajaknya bicara. Orang-orang bilang itu hanya halusinasi saja. Namun merekalah yang tidak tahu, bahwa sebenarnya semakin malam bintang-bintang itu bersuara padaku. Riuh.

Mereka menyampaikan kabar bahwa ibu di sana sangat bahagia. Katanya dia selalu menungguku datang. “Kau tidak mau menyusulnya?” tanya gema itu halus. Saking halusnya dia tampak samar dengan semilir angin malam yang dingin. 

Aku terkekeh. “Tidak, aku masih ingin di sini saja. Menatap dia yang melambai dari jauh,” tandasku dengan yakin. Suara itu merobek hening, menyisakan tawa cekikian dari kejauhan. Lalu tiba-tiba suasana kembali hening, saat itu aku merasakan kembali, kehadiran sepasang mata misterius seolah mengawasi. Siapa dia?

Sudah beberapa hari ini aku merasa terintai. Seseorang memperhatikan gerak-gerikku. Aku takut bahwa dia juga ingin berbicara pada bintang. Lalu bintang-bintang akan lebih menyukainya dibanding diriku. “Hey, apa jika aku membawa seorang teman maka kalian akan meninggalkan aku?” gumamku menengadah langit.

Aku memang sangat takut kehilangan suara-suara yang sudah sejak lama menjadi teman. Khawatir jika mereka pergi dan hanya aku sendirian menikmati malam-malam. 

Aku tidak berkawan dengan siapa pun. Sudah sejak lama semenjak ibu pergi, rasanya lebih nyaman sendirian. Kaki ini perlahan-lahan menyeret langkah, menarik diri dari kehidupan sosial yang membutakan hati. Sosial yang kejam yang kerap orang-orangnya palsu.

Aku hanya menjadi diriku yang asli, bersama lembaran buku usang yang sudah mulai terkoyak karena habis aku tulisi. Setiap halamannya mencapai lembar terakhir, aku akan memulai lagi lembaran awal di buku yang sama. 

Hingga tidak terasa tulisan-tulisan itu bertumpuk satu sama lain. Sampai-sampai tidak ada sedikit pun ruang putih yang kosong. Entah sudah berapa ribu kisah yang aku coret dalam buku itu selama sepuluh tahun ibu pergi. 

“Tentu saja tidak, asal kau menuruti apa pun yang kami katakan. Percayalah hanya malam teman kesepian terbaik manusia, Diandra!” Suara itu membalas pertanyaanku cukup lama. 

Aku tersenyum getir menengadahkan wajah dan menatap Scorpion. Bagaimana aku tidak jatuh cinta pada rasi itu. Dia sungguh tampak gagah membentang luas di langit. Dulu aku dan ibu sering mengamatinya bersama, sembari membaca legenda-legenda pada setiap rasi.

Konon Scorpion adalah kalajengking utusan Dewi Hera untuk membunuh Orion si pemburu yang angkuh. Sehingga jika Scorpion terbit di ufuk timur maka Orion akan terbenam di barat. Begitu seterusnya seperti sedang berkejar-kejaran. Mereka seolah berlari tanpa rasa lelah sepanjang zaman. Abadi di atas langit.

“Hay, bagaimana jika manusia hidup abadi?” tanyaku gamang. Pertanyaan yang sungguh lucu. Bahkan ibuku satu-satunya orang yang aku sayangi dan aku percaya akan ada selamanya untukku, meninggal di usia 40 tahun. 

Dia berbohong. Berbohong bahwa penyakitnya tidak akan dapat membunuhnya. Berbohong bahwa dia tengah baik-baik saja, dan bahkan berbohong bahwa tidak akan pernah meninggalkan aku. “Kalau saja ada kompetisi orang-orang yang pandai berdusta. Ibu, kau pantas masuk nominasi…”

“Hidup itu sangat membosankan. Kalian semua terikat kewajiban dan aturan masyarakat bodoh yang dibuat untuk makanan perut para pendosa di kursi jabatan sana. Untuk apa kau bertanya hidup abadi?” Suara itu terdengar geram tampak seperti kesal dengan pertanyaanku.

Selama ini mereka selalu menyuruhku mati saja. Membeberkan dengan berbagai teori-teori bahwa hidup hanya sebagai kotoran sampah. Bahwa mati lebih baik dari pada menjalani hidup penuh derita begini.

“Kami ini orang-orang mati yang sudah bebas dari segala tekanan hidup. Sehingga hadir dalam telinga orang-orang sebagai suara bintang,” ucap mereka saat pertama kali hadir dalam gendang telingaku beberapa tahun silam. 

Kala itu aku sangat sedih mengenang kepergian ibu. Tapi orang-orang menyuruhku untuk tidak mengeluarkan air mata barang setetes pun. Sehingga aku hanya bisa tertawa terbahak-bahak saat ibuku masuk ke dalam liang kuburnya. Tawa itu aku tumpahkan pada langit yang setia mendengarkan. 

Kadang aku merasa kilat dan gemuruh adalah balasan atas segala rasa sedih dan luka menganga yang aku tanggung dalam rasa sepi. Sendirian terluka dan menangis. 

Kemudian perlahan-lahan dari suara hati tersebut, samar terdengar balasan dan jawaban atas segala hal yang aku adu. Mengadu pada kesunyian dengan cara yang sangat menyedihkan. 

Sampai kini aku selalu rutin mendengar mereka mengoceh. Entah siapa dan bagaimana, aku yakini mereka adalah suara bintang. Suara rasi yang gagah itu. Suara Scorpion si kalajengking utusan Hera.

“Lihatlah disebelah sana, ada seseorang yang tengah mengawasimu. Dia tidak suka kau bersinggungan dengan kami. Padahal kami ini kan sahabatmu. Dengar Diandra, percayalah hanya padaku!” Suara itu menggelegar seiring kerlipan Antares, bintang merah di jantung Scorpion yang meredup tertimbun awan gelap.

“Kau bisa mengambil botol kaca itu lalu pecahkan ujungnya. Bunuh dia sebelum dia menyakiti kita! Dia tidak ubahnya seperti manusia-manusia lain yang sangat membencimu karena kau dianggap gila.” 

Aku tercenung menatap botol kaca di atas meja. Mata itu masih tetap mengawasi dari jauh. Entah apa magsudnya begitu, kenapa tidak langsung mendatangi aku dan mengutarakan magsudnya saja? Ah dasar manusia jahat, dia pasti memang betul-betul hendak membuat aku celaka.

“Kalau kau berani melakukannya, maka kami berjanji tidak akan meninggalkanmu.” Suara itu masih berkeras. Padahal sedari tadi Scorpion sudah tertutup awan hitam sepenuhnya. 

“Kenapa aku harus menuruti kalian?” balasku dengan ketus. Mengacuhkan suara-suara latar yang kini kian ramai dalam telinga. 

“Karena kami teman terbaikmu. Padahal kamilah yang menemani selama sepuluh tahun kau kesepian menatap langit seorang diri. Jika kami tak muncul, tentu kau akan jadi gila dimakan rasa keheningan itu kan?”

“Dengarkan, percayalah pada kami. Dia ingin mencelakaimu. Semua manusia adalah jahat.” Suara itu masih saja ribut, hingga aku harus menutup kedua telinga agar mereka berhenti menyuruhku mencelakai sosok yang tengah awas pada gerak-gerikku. 

Aku akui mungkin mereka benar. Mungkin memang benar dia hendak membuat aku celaka. Karena sejak tadi dia hanya diam menatapku di kejauhan dalam remang di balik semak-semak itu.

“Diamlah!” teriakku dengan gusar. Aku sampai berlutut dan menutup telinga sekuat yang aku bisa. Suara bintang itu sangat bising dan jumlahnya kini bertambah. Lima orang, sepuluh orang, lima belas, dua puluh…

“Kami baru akan diam setelah kau melakukan apa yang kami suruh. Jika tidak, hiduplah dalam penderitaan suara ini. Sudah aku bilang, percaya saja. Jangan buat dirimu dalam bahaya oleh orang misterius itu. Dia dapat mencelakaimu kapan saja.”

Aku sudah tidak tahan lagi. Aku harus menyelamatkan diriku. Dalam dunia yang keji ini, kau bisa memilih untuk memakan atau dimakan. Ya, hanya itu cara bertahan.

Tanganku menyambar botol kaca yang sedari tadi tegak seolah sudah menunggu untuk diambil. “PRANG!”  Dalam satu pukulan ke tembok, ujung botol itu pecah. Menyisakan sisi tajam siap untuk menyakiti siapa saja. 

Tanganku erat menggenggam leher botol dengan ujung runcingnya yang berkilatan tertimpa cahaya bulan. 

Kakiku melangkah ke arah semak-semak tempat orang itu mengawasiku. Aku mendengar suara langkah mundur seakan hendak bersiap untuk melarikan diri. Tapi terlambat. Kerah baju laki-laki itu sudah aku cengkeram dengan kuat. Dia tidak akan bisa lolos. 

Tanpa berpikir lagi, dalam kegelapan itu aku menghujami tubuhnya dengan ujung runcing botol berkali-kali. Sosok itu berteriak keras. 

Tepat sesaat setelah badan kecilnya tumbang dengan darah yang mengalir, beberapa kaplet pil obat jatuh dari sakunya. Obat-obatan yang biasa diresepkan psikiater untukku agar suara-suara bintang tersebut hilang. 

Cahaya bulan menyembul dari balik kepulan awan hitam, menyingkap wajah orang misterius tersebut. Aku tersentak kaget. Ternyata sosok tersebut adalah Agil, adikku semata wayang, yang hendak menyerahkan obat untukku.
•••
25 Maret 2022

Ni Wayan Wijayanti lahir di kota seni Gianyar-Bali pada 30 April. Menulis cerpen adalah hobinya sejak masih anak-anak. Karyanya telah dimuat di beberapa media. Saat ini aktif sebagai Online Sales and Marketing disalah satu penginapan yang berlokasi di wilayah Ubud-Bali.