Bibir di Ujung Sepatu – Maiza Marsya

Arya berdiri membatu, menatap sepasang sepatu pantofel hitam. Permukaannya yang halus mengilat tertimpa cahaya lampu memantulkan bayangan wajah tirusnya. Pipinya yang setahun belakangan mencekung pun kentara. Gurat-gurat penderitaan menghiasi dahinya.

Sepatu ini terlalu polos, akan lebih menawan bila diberi hiasan, pikir Arya. Tercetuslah ide gila, walau menyimpang dari desain baku perusahaan. Dia berniat menabrak aturan, tidak peduli risiko yang akan ditanggung. Keberaniannya menyala-nyala, seperti orang-orang yang beringas merampas hak-haknya.

Arya mencopot bibirnya yang melekat di atas dagu lalu menempelkan di ujung sepatu pantofel hitam itu. Sontak, kawan buruh lainnya terbengong-bengong melihat kelakuan Arya. Mereka yakin Arya sudah sinting akibat terlampau berat memikirkan nasib yang tidak kunjung berubah. Karena iba, Jodi merenggut sepatu pantofel hitam dari tangan Arya, lalu mengambil bibir itu dengan maksud dipasang kembali ke wajah Arya. 

Tapi bibir itu sudah merekat kuat di ujung sepatu. Ditarik kencang sampai bentuknya pencong sekalipun, bibir tidak mau lepas dan tetap bisa kembali ke bentuk semula, elastis seperti karet. Bahkan bibir itu menertawai dan mengatai Jodi layaknya bocah nakal.

“Kau dungu! Tak punya akal!” Berulang kali bibir itu berkata sambil bernyanyi dengan nada yang terdengar menyebalkan, menggerakkan setiap sudut bibir dengan gemulai bak penari. Bila sepatu itu disertai tangan dan kaki, mungkin ikut bergoyang menggerakkan pantat sepatu membelakangi Jodi. 

Tawa geli pecah seketika. Mereka terbahak-bahak melihat salah satu temannya dikerjai sebuah bibir. Beberapa di antaranya menirukan bentuk bibir ketika berbicara, miring ke kanan dan ke kiri, atau sedikit lebih monyong membentuk sudut yang menggemaskan. 

Jam kerja berubah menjadi pertunjukan lawak. Buruh yang berada di pojok sebelah terpancing mendekati kerumunan, berpusat pada satu titik melihat tontonan sepatu yang bisa berbicara. Ada yang terbengong, menganggap sesuatu yang aneh sedang terjadi. Namun, banyak yang menganggapnya hiburan jenaka. Suasana makin riuh. 

Harga diri Jodi ikut runtuh. 

Jodi kemudian melempar sepatu ke lantai dengan keras hingga bibir itu berteriak kesakitan. Jodi bekacak pinggang sambil tertawa puas. Giliran dirinya yang mencela. “Rasakan! Dasar bibir tidak tahu diri!”

Tidak mau kalah, bibir itu kembali mengomel. “Jika kau kesal, bukan aku yang seharusnya kau lempar, tapi otakmu. Badan saja yang besar tapi otakmu seukuran udang. Dasar bodoh!”

Dengan wajah memerah, Jodi mendekati sepatu itu berniat menginjaknya berharap kekesalannya tuntas. Namun, dengan cepat Arya datang mencegat dan meraih sepatu tersebut.

“Tuan, orang itu ingin mencelakaiku. Tolong, selamatkan aku. Eh, bukan. Maksudku selamatkan otaknya. Dia perlu mengganti otaknya dengan yang baru,” bibir itu meronta manja kepada Arya.

Kekesalan Jodi memuncak. Tangannya bergerak hendak merampas sepatu itu. Namun, dengan cepat bibir itu meloncat ke wajah Arya menempati posisi semula.

Mulut Jodi menganga. Matanya menatap heran pada ujung sepatu pantofel hitam yang terlihat mulus kembali seperti sedia kala. Padahal beberapa menit lalu dengan susah payah dia melepas bibir itu dan gagal.

“Kalian sudah melihat betapa menjengkelkan bibir ini bila bicara, bukan?” ucap Arya. 

Kawan buruh mengangguk. Sedangkan Jodi menimpali dengan kesal, “Bibir itu memang membuatku geregetan! Telingaku bising dibuatnya.”

“Menurut kalian apa yang terjadi bila bibir kita berunjuk rasa langsung kepada penguasa?” Ucapan Arya membuat kawan buruh berpikir sejenak. 
“Yang jelas penguasa akan kesal seperti yang dirasakan Jodi tadi.” Salah satu buruh menjawab.
“Itu pasti. Bibir kita akan menyerukan derita yang selama ini mengikat kehidupan buruh pabrik. Penguasa akan tersudut. Sehingga kekesalan menjadi berlipat membuat  mereka terpaksa melahirkan kebijakan yang akan mengubah nasib kita. Bukankah sepatu pantofel ini pesanan mereka?” Arya berucap lantang membujuk yang lain untuk bergerak melawan, tidak hanya diam ketika diinjak seenak hati.

Ucapan Arya bagai khotbah membuat kawan buruh terpaku, meratapi nasib bagai sapi perah: enam hari bekerja penuh dengan target harian. Namun, upah keluar cuma  setengah. Tunjangan kesehatan tidak tahu rimbanya apalagi tunjangan hari tua dan kecelakaan kerja. Anak dan istri hidup terlunta-lunta. Utang menggunung demi menutupi kebutuhan. Apakah karena pabrik yang terjerat utang besar pantas dijadikan alasan menggantung bayaran buruh? Sedangkan perut para atasan bertambah hari makin buncit, ditambah penampilan mentereng dengan mobil baru.

“Lalu apa kita harus mencopot bibir dan menempelkan di sepatu?” tanya salah satu buruh. 
“Itu terserah kalian.” 
“Apakah bibir kita bisa kembali?” Buruh lain turut bertanya. 
“Bukankah tadi kalian sudah melihat yang terjadi dengan bibirku?”

Para buruh saling bertanya dan bertukar pendapat. Suara mereka riuh seperti suasana pasar tradisional. Apa boleh buat? Ketika berteriak dipecat sedang diam akan kian melarat.  

Maka beramai-ramai mereka melepas bibir dan menempelkan di tiap ujung sepatu pantofel sambil menaruh harapan agar jalan terakhir ini membawa perubahan, yang diidam-idamkan oleh semua buruh melarat.
***

Ratusan pasang sepatu pantofel telah dikemas di dalam kotak kardus siap dikirim kepada pemesan. Mata para buruh berkaca-kaca melepas perpisahan dengan bibirnya, bagai istri tentara yang mengantar suaminya pergi ke medan perang. Mereka dihadapkan pada dua pilihan: kembali seutuhnya atau hanya akan tinggal nama. 

Setelah itu, suasana pabrik sepatu seluas dua kali lapangan sepak bola itu berubah.  Hanya bunyi mesin yang mengisi ruangan. Para pekerja tuna wicara. Sepi tanpa ucapan. Hambar tiada candaan. Cuma mata dan gerak tangan sebagai bahasa isyarat. 

Situasi itu mendatangkan hawa sejuk bagi para atasan. Mereka bisa mengawasi para buruh dengan tenang tanpa ditagih janji, yang selama ini tersemat di bibir mereka tentang upah yang akan dilunasi esok hari. Nyatanya, esok itu tidak pernah datang dan janji menjadi bau mulut busuk belaka. Bahkan mereka menertawai rupa buruh yang tampak aneh tanpa bibir. Salah satunya berucap sambil bertepuk tangan, “Kedunguan kalian sangat kompak!”

Nasib pekerja bertambah malang melihat atasan menyoraki penderitaan, seolah-olah sedang berdansa di atas luka yang masih basah. Kabar nasib bibir mereka pun tidak kunjung terdengar. Peruntungan yang dinantikan tidak juga singgah. 
***

Di pusat kota di sebuah gedung bertingkat lima belas dan bercat putih mengilat bertuliskan Gedung Penguasa, para penguasa dilanda kegaduhan. Suara para penguasa beradu dengan sepatu mereka yang sedang mendemo. Berisik.

“Bayar kami dengan upah penuh!”
“Bayar tunjangan kami!”
“Lunasi utang gaji kami!”

Tanpa jeda, suara itu terus menggema. Ketika dilempar, bibir di sepatu tidak mau diam, dan ketika dimasukkan ke dalam kardus teriakannya tetap terdengar, bahkan ketika diinjak keras terus berteriak berontak. Begitu bandel bibir-bibir itu hingga membuat para penguasa kebingungan. Mau diapakan sepatu yang terpasang di kaki mereka agar bungkam? Milyaran rupiah sudah dibayar untuk membeli sepatu pantofel hitam mengkilat bak milik direktur perusahaan kelas atas. “Kita datangi saja pabrik itu, minta ganti rugi!” teriak salah satu penguasa yang berkumis tebal dan berkepala botak.

 Akan tetapi, usulan ditolak, karena tidak menjamin bibir-bibir di sepatu bakal diam. Akhirnya, mereka mencari jalan pintas agar pencari berita tidak mendengar demo bibir-bibir sepatu. Sudah jadi berita besar yang berulang yang dibaca oleh banyak orang tentang para buruh pabrik sepatu dan pabrik-pabrik lain yang semakin hari semakin melarat. Tak ada soal baru karena para penguasa memilih berlagak tuli dan menutup mata. Tapi jika soal-soal lama itu disuarakan oleh bibir sepatu, tentu jadi berita besar yang baru.

“Tenang, selama jurnalis tidak mendengar suara bibir sepatu, kita semua aman,” putus seorang penguasa berkumis tipis dengan rambut klimis. 
“Tapi mereka amat ribut, pusing kepala saya…,” ujar penguasa lain berkacamata dengan gagang berwarna emas sambil menutup telinga karena para bibir sepatu terus berteriak-teriak, “Mana tunjangan kesehatan???” atau “Kami minta gaji penuh, bukan setengah!” Sebagian bibir sepatu cuma berteriak “booo…booo….booo….” dan satu bibir sepatu malah mendendangkan lagu kebangsaan, “Jayalah Negeri, Sejahteralah Bangsa….”

Suasana meriah dan bising.  

Di tengah keriuhan, salah satu penguasa bergegas berlari ke luar dan kembali dengan lakban hitam serta gunting. Dia angkat kakinya ke atas meja, dan dengan cepat dia gunting dan dia rekatkan lakban hitam di ujung kedua sepatu. Diamatinya beberapa menit. Ternyata usahanya membuahkan hasil. Bibir membisu. Para penguasa berlarian mendekati penguasa berambut kribo itu, untuk  beramai-ramai mengikuti cara yang sama.

Perlahan suasana gedung berubah hening. Bibir-bibir bengal terbungkam. Teriakan yang tadi menggema seakan-akan ditelan waktu. Namun bibir-bibir itu pantang takluk, mencoba membebaskan diri sehingga membuat lakban yang melekat di ujung sepatu bergerak-gerak. Melihat itu, para penguasa terpingkal-pingkal. Bila saja mereka tahu dari awal bahwa semudah itu membungkam bibir-bibir bengal, tentu panik tidak menyerang seisi gedung.

Kini para penguasa kembali duduk tenang menyandarkan badan di punggung kursi tahta. Hati mereka bersiul menang. Sedangkan bibir-bibir yang bersemayam di ujung sepatu pantofel hitam tidak bisa bergerak pulang kepada tuannya. 

Di pinggiran ibu kota, di pabrik sepatu, suasana bungkam. Tak ada lagi suara apapun selain deru-deru mesin. Sesekali memang tedengar suara manusia,  yang  tertawa  puas karena tak ada lagi suara-suara buruh bebal yang mengesalkan.” 
***

Maiza Marsya adalah seorang mantan buruh yang mencintai literasi. Lahir dan tinggal di Pasuruan.