Trilogi Pecundang – Rani Aditya

Satu

Arman tidak mau mati. Itu satu-satunya alasan untuk terus lari. Ia masuk ke sebuah labirin sempit dan berbelok setiap kali menemukan celah. Sesekali terjatuh atau menabrak pagar bambu, tetapi tidak berhenti.

Sampai suara-suara itu senyap. 

Suara-suara marah yang sudah mengejarnya dari depan pasar, sejak ia berhasil mengutil dompet seorang perempuan. Saat perempuan itu menyadarinya, Arman sudah cukup jauh di tepi jalan. Seharusnya ia tidak ketahuan. Seharusnya lampu jalan yang redup melindunginya.

Akan tetapi, wajah kuyunya langsung pucat, ukulele butut di tangannya bergetar, saat mendengar ada yang berteriak, “Dia pencopetnya!”

Lalu ia lari. Ketika suara-suara itu akhirnya musnah, ia malah tidak merasa aman tapi bodoh.

Kebodohan yang beralasan.

Seharusnya ia lulus kuliah. Seharusnya ia bergelut dengan skripsi. Seharusnya ia menyiapkan lamaran kerja. Bahkan, mungkin, seharusnya mulai mencari calon istri.

Sayangnya, bukan itu yang terjadi.

Suatu hari, yang lalu, ia hendak mengirim surat ke kampung. Surat belum terkirim, tapi berita telah sampai ke telinganya. Tentang kampungnya yang habis luluh lantak dimakan longsor. Tentang korban-korban yang hilang tak tergali. Sejak itu, Arman sebatang kara. Hidupnya jungkir balik. Tak ada kuliah, tak ada skripsi, apalagi gelar sarjana. Satu per satu barang-barangnya habis. Arman tak punya apa pun lagi.

Malam penuh teriakan orang-orang marah itu adalah pertama kalinya menjadi bodoh. Di dalam gang sempit dengan lampu-lampu redup, ia terduduk kelelahan. Ukulelenya yang patah sudah teronggok di keranjang sampah.

Aku tidak akan melakukannya lagi. Ini bodoh.

Dibukanya dompet coklat berisi beberapa lembar seratus ribu yang bisa memperpanjang hidupnya. Paling tidak sebulan ke depan.

Ini yang pertama dan terakhir. Besok aku akan cari kerja.

Disorongkannya lembaran-lembaran merah ke dalam kantong jaket. Dompet yang tersisa berbagai kartu itu pun dicampakkan ke keranjang sampah, bersatu dengan ukulelenya. Lalu, ia berjalan lagi.

Rumah-rumah petak di sekitarnya senyap, hanya diterangi lampu-lampu muram murahan, tapi sebuah jendela di depannya terang benderang. Jendela berkorden merah jambu. Arman tidak tahu sudah pukul berapa, tetapi mestinya sudah sangat larut. Naluri yang segar terasah sejak pengejaran beberapa saat sebelumnya, membuat Arman terpaku.

Di jendela itu, sebentuk siluet menampakkan diri. Seorang perempuan menarik blus merah ke atas melewati kepalanya.

Arman menelan ludah.
***

Dua 

Imas adalah perempuan kampung pinggiran yang butuh banyak hal demi merasa berharga. Makan enak. Baju bagus. Wajah cantik. Terutama, dompet yang tak pernah kosong. 

Itulah yang ia pelajari dari ibunya.

“Enggak usah sekolah tinggi-tinggi. Lulus sekolah, kawin saja. Kamu cantik, banyak yang mau. Pilih yang bikin hidupmu terjamin.” Begitu selalu ibunya berpesan. Sadar nilai-nilainya di sekolah mencemaskan, Imas mencoba menurut.

Tetapi soal lelaki, Imas keras kepala.

Ibunya mau Imas menerima lamaran Koh Amin, duda tua pemilik toko beras, sementara Imas hanya mau Obet, kawan sekelas yang hidungnya mengingatkan pada ujung-ujung pagar besi gerbang sekolah. Lancip. Kokoh. Obet sesumbar pula akan menyeberangi sungai terderas dan mendaki gunung tertinggi, demi Imas.

Ketika Imas kabur bersama Obet di hari pernikahan dengan Koh Amin, ibunya muntab. Perempuan yang kerutnya ditutup alas bedak itu pun meraung dan meratap, antara marah dan bingung, karena Koh Amin minta uang panjarnya kembali.

Imas sempat menikmati kebahagiaan dalam pelarian bersama Obet. Hanya sebentar. Di kota besar, kecantikan Imas terlalu banyak tandingan. Obet pun pergi meninggalkan Imas untuk menebar sesumbar yang sama, menyeberang sungai terderas dan mendaki gunung tertinggi.

Imas malu, tak ingin pulang, lalu bekerja di toko grosiran. Ia mengontrak kamar petak di gang sempit dekat dari pasar, namun lorong semen berliku serupa labirin itu membuatnya terasa jauh.

Wajah manis Imas memukau Adang, bos komplotan preman pasar induk, yang terus menghujaninya dengan janji manis dan hadiah mahal. Imas pun terlena dan Adang kerap datang ke kamar petaknya, mengungsi dari istri di rumah.

Malam itu seharusnya Adang datang. Imas sudah berdandan cantik, mengenakan blus merah dan rok mini, hadiah dari Adang bulan sebelumnya. Karena pasar induk hidup di saat sisi lain kota telah lelap, lelakinya biasanya datang saat gang sempit sudah sepi. Tapi Imas sudah bersiap sejak sore dan menenggak bercangkir-cangkir kopi.

Namun, hingga menjelang pagi, tak ada yang datang. Imas ingin menelepon, tetapi kehabisan kuota. Merutuklah ia karena kopi membuatnya terus terjaga.

Jam-jam penantian yang membuat teringat ibu. Rasa bersalah, malu, dan harapan saling berdebat di dalam kepalanya hingga membuatnya sesak.

Masihkah Ambu menerimaku aku pulang? Aku rindu.

Ia menatap ke dalam cermin di pintu lemari, lalu membenci dirinya sendiri.

Jam menunjukkan pukul satu saat Imas menyerah. Di dalam kamar berkorden tipis merah jambu, ia lepas blus merah yang telah lengket oleh keringat, untuk berganti daster kusut tua berwarna biru luntur.

Ia berpikir menelepon ibu tapi tak ada kuota. Atau lebih baik aku langsung pulang saja?

Ada suara pelan dari luar yang biasanya hening,  dan Imas menyibakkan ujung korden. Tampak seorang lelaki berdiri mematung. Bukan Adang, namun hanya seorang lelaki kurus. Disorot cahaya suram lampu di halaman, Imas melihat lelaki itu sedang menatap ke arahnya. Lelaki lusuh yang masih muda. 

Imas bertemu banyak lelaki sepanjang pelariannya, tapi lelaki kurus, lusuh, dan muda itu menyentaknya. Ia tampak lelah, sendu, dan sepi. Imas seperti melihat dirinya sendiri.

Jantung Imas berdetak kencang.
***

Tiga

“Orangnya ilang di gang, Kang!”

Adang menggerutu saat mendengar laporan anak buahnya. Ia mengumpat dengan segala makian kasar dan kotor. Tidak ada yang boleh membuat kacau daerah kekuasaannya. Cik Jesi, perempuan yang dompetnya dijambret, adalah pemilik toko sembako di pasar induk. Perempuan berambut keriting yang dicat coklat itu patuh membayar uang keamanan.  Sesekali ia kirim sekarung beras ke rumah Adang. Cik Jesi lebih percaya komplotan Adang untuk menjamin keamanan pasar, bukan para petugas berseragam yang sering tidur di pos jaga.

Maka Adang murka ketika dompet Cik Jesi dicopet. Pipinya kirinya seperti ditampar keras. Para anak buah bergegas mengejar pencopet, tetapi gagal menyeretnya pulang ke pasar selain membawa kabar, “Copetnya yang tukang ngamen ukulele itu Bos.”

 Pipi kanannya terasa ditampar lebih keras. Pengamen ukulele yang menawarkan hati riang di dalam dunia yang keras, yang sopan memberi hormat kepadanya, yang rutin menyetor iuran keamanan sebisanya. Entah bagaimana ia harus berkilah di depan Cik Jesi. Dan Adang semakin murka terhalang ke kamar petak Imas, gara-gara urusan pencopet licik yang menghilang ditelan gelap.

Adang menggeliat gelisah. Tiga tahun dia berjuang keras untuk jadi bos preman. Tiga tahun dia terus memukul, menendang, mendorong, menyeret, dan memekik sebelum hanya berujar memerintah. Kini dia malah jadi tertawaan sinis Cik Jesi, anak buah, pedagang, kuli, dan satpam pasar.  

Dulu Adang buruh pabrik keramik, ketika Munah menuntut untuk dinikahi. Lalu dua anak hadir. Lalu pabrik mengurangi buruh. Adang masuk barisan yang dipecat. Cuma kerja kasar yang Adang bisa dan tak banyak kerja kasar disekeliling ketika amat banyak pekerja kasar yang menganggur.

Munah turun tangan berjualan baju sisa ekspor sambil marah-marah menyaksikan suaminya luntang lantung sepanjang hari, setiap hari. Adang pun sembunyi ke pasar seharian berkumpul bersama komplotan laki-laki bersikap kasar, bertubuh keras. Tiga tahun berlalu ketika bosnya mati ditikam komplotan preman narkoba dan Adang naik jadi bos komplotan.

Adang pun bisa membawa pulang uang lebih banyak untuk Munah dan beragam jajanan untuk kedua anaknya. Tapi istrinya tetap marah-marah.

“Uang panas, Kang! Haram!”

Jadi Adang lebih lama lagi bersembunyi di pasar induk, menyaksikan Imas lewat sambil tersenyum kecil setiap hari dan berkhayal memeluk perempuan molek yang pemalu, bukan istri yang marah-marah. Kulit Imas seputih beras super, rambut ikal lebat sehitam aspal, lekuk tubuh seliku boneka membuat Adang selalu menahan napas. Pelan-pelan, Adang boleh berkunjung ke kamar petak Imas untuk menikmati kenyamanan dan kehangatan bak di istana agung. 

Malam gelisah yang menggeliat itu, Adang semakin butuh Imas. Saat masih terjebak sisa-sisa cacian Cik Jesi serta lirikan sinis para penghuni pasar, Adang menyelinap pergi menyelusuri labirin sempit yang berliku-liku, seperti tubuh Imas yang diimpikan. Pelan-pelan gelisah terasa mereda namun segera terkobar kembali melihat dompet Cik Jesi terbuang di dalam keranjang sampah di atas ukulele patah. Tak ada selembar uang pun tersisa di dompet selain kartu-kartu yang cuma penting bagi Cik Jesi.  

Wajahnya memerah, tangannya mengepal, dan menggeram, Pengecut busuk itu pasti lewat sini. Ngumpet di mana dia?

Darahnya menderu. Jantungnya berlari, seirama napasnya yang memburu. Namun ia tak yakin arah tempat pengecut busuk bersembunyi. Dini hari yang senyap dan dingin itu, Adang berkeringat amarah yang memuncak, namun hatinya berbisik pelan mengingatkan kenyamanan dan kehangatan Imas. 

Pintu kamar petak Imas tinggal beberapa meter. Kerinduan akan Imas mencairkan kemarahan. Lampu di balik korden merah jambu masih menyala, seolah kamar sempit itu setiap saat selalu siap menunggu Adang. Dalam pelukan Imas, kelak dia menjadi raja dunia di istana agung.

Langkah Adang mendadak terhenti. Sesosok tubuh kurus bergelung di teras depan pintu kamar, sedang tertidur lelap. Satu gelas bening yang kosong tergeletak di sampingnya. Adang mengenal selimut kain batik pria kurus itu. Didekatinya sosok asing itu dengan sorot mata tajam yang seksama. 

Wah ini dia si pengamen pencopet 

Kemarahan Adang menggelegak lagi, bersamaan dengan dering ponsel di kantongnya.

“Kang! Pulang! Si Eneng panas sampai kejang! Munah mau ke IGD, jangan lupa bawa uang!”

Dalam keringat kemarahan diterpa udara subuh, tubuh Adang membeku.
***
Rani Aditya, ibu rumah tangga yang berdomisili di Cibinong, Kab. Bogor, hobi menulis cerpen dan artikel. Aktif dalam komunitas Nulis Aja Dulu sebagai moderator, penulis, dan editor, serta menulis juga di platform Opinia.id. Telah menerbitkan satu novel solo: Wasiat Para Perempuan Bharata (Voila Publishing, 2021).