Teheran Dalam Stoples

Peta Dunia
Keramaian di rumah keluarga Khan juga terlihat di beberapa rumah lain, dan pada tanggal 7 Muharram, suasana di sekolah terasa lebih riang. Beberapa murid dari kelas lain, yang hanya kukenal wajahnya, mendekati semua orang ketika memasuki pintu gerbang, Mereka seperti berlomba-loemba menyentuh dan murid lain yang datang.

Sebagian anak yang tadi dipegag bahunya kemudian bergabung dalam kelompok untuk menyentuh bahu murid yang baru datang. Kelompok itu semakin besar dan semakin ramai dengan suara penuh keriangan.

Aku tidak ikut dalam kelompok itu dan di halaman sekolah, banyak yang berlari-lari tanpa arah jelas. Mereka seperti sedang menghabiskan tenaganya. Yang lelah beristirahat sebentar dan tak lama kemudian berlari lagi. Rombongan-rombongan kecil yang berlarian ke dan dari segala arah itu tidak sampai bertabrakan satu sama lain. Aku berdiri ke pinggir halaman, menyaksikan suasana yang meriah itu.

Lonceng sekolah berbunyi dan semua berlarian ke kelas masing-masing. Hari itu kami belajar geogragfi dan Ummu Khoira masuk ke dalam kelas dengan membawa tas besar. Kemarin ummu sudah menjelaskan bahwa kami akan melihat peta dunia, dan aku tak sabar ummu membuka tas besarnya itu. Apakah Indonesia masuk dalam peta yang akan diperlihatkan ummu?

Suasana hening ketika ummu membuka retseleting tasnya dan dia mengeluarkan lipata keras besar. Dipanggilnya Farah, Aliya, Firdosi, dan Pia yang duduk di kursi paling depan untuk memegang keempat ujung kertas itu sementara ummu menempelnya dengan selotape.

Terpampanglah peta dunia yang menutup setengah lebih papan tulis. Walau tidak mengenal semua bentuk di peta itu, susunan utamanya masih bisa aku kenal dengan baik. Sebuah pulau luas di bagian tengah dan atas dengan beberapa bercak pulau-pulau kecil di sekitarnya.

Ummu mengambil tongkat mungilnya dari atas meja dan mengangkatnya, sebuah isyarat bahwa pelajaran segera dimulai.

“Tahukah kalian apa ini?”
“Tidak,” terdengar jawaban pelan dari beberapa temanku, sebagian besar memiih diam tidak menjawab.
“Apa ini Leila,” tanya ummu dan aku sedikit terkejut.
“Itu peta dunia.”
“Apakah ada yang tahu apa itu peta dunia?” tanya ummu lagi dan kali ini tak semuanya diam.
“Apa peta dunia itu Leila,” ummu melempar pertanyaan itu kepadaku.

Aku bingung menjelaskannya, tapi aku tidak mau ummu berbuat kesalahan di depan murid-muridnya dengan meminta aku menjelaskan tapi tidak bisa menjelaskannya.

“Untuk mengetahui tempat-tempat di dunia ummu,” jawabku sekenanya.
“Ya, dengan peta dunia kita mengetahui bahwa ada banyak tempat di dunia ini, yang terpisahkan oleh gunung, sungai, maupun lautan.”

Aku lega telah menyelamatkan ummu dari kesalahan di depan umum.

Dengan tongkat mungilnya, ummu menunjuk Iran yang diberi warna kuning muda. “Di sini kita tinggal, Iran.”

Bagian berwarna kuning muda itu tidak besar, dan hanya beberapa kota saja yang tertulis di peta itu: Teheran, Qom, dan….

Ummu menjelaskan bahwa Iran berada di Benua Asia, salah satru dari lima benua di dunia. Masing-masing benua memiliki keunikan masing-masing dan ummu menceritakannya seolah-olah kami sedang melakukan perjalanan ke lima benua. Dia menarik pelan tongkat kecilnya dari Asia ke Australia dan berputar-putar di benua itu sambil bererita tentang kanguru, binatang yang memiliki kantung untuk menggendong anaknya.

Dari Australia, tongkat mungil ummu perlahatn-lahan naik kembali ke Eropa, yang masih mempertahankan beberapa tradisi kerajaan. Begitulah, tongkat ummu berjalan lagi ke Amerika di bagian paling atas.

“Di beberapa tempat amat dingin,” kata ummu- sebelum menuju Afrika yang amat panas.

Kami semua diam mendengarkan dengan seksama, menikmati perjalanan keliling benua bersama ummu, sampai terdengar bisik suara Zahro di meja bagian kiri ke Fatima, yang duduk di sampingnya. Bisikan yang pelan sebenarnya, tapi meja mereka persis di sebelah mejaku dan aku mendengar dengan jelas.

“Lihat di atas Iran ada Afghanistan.”

Ummu hanya mendengar suara berbisik dan menghentikan ceritanya tentang Afrika. “Ada apa Zahro?” tanya ummu.

Dia diam dan Fatima yang menjawab, “Di atas Iran ada Afghanistan,”

Ummu mungkin belum mendengar kasus King Kong, aku, dan Khafsah, jadi dengan tenang dia meneruskan kembali ceritanya. “Ya, Afghanistan, tapi kita sedang di Afrika, nanti kita akan kembali ke Asia.” tutur ummu.

Aku merasakan ketegangan menyebar di dalam kelas. Kutegakkan badanku, dan kuangkat sedikit wajahku berupaya menenangkan diri, tapi tidak terlalu behasil sebenarnya.

Ketika ummu melanjutkan ceritanya tentang air yang amat sulit di Afrika, Zahro mendekatkan badannya ke meja kami dan berbisik.

“Harusnya kau tak sekolah di sini. Kau kan orang Afghan.”
Kupandang dia dan tanpa berbisik kutegaskan: “Aku bukan orang Afghan.”

Ummu menghentikan kembali penjelasannya dan dengan pandangan yang tajam dia melihat ke arahku. “Ada apa Leila.”

Kejengkelanku belum mereda, menggeser rasa takutku kepada ummu. Sambil menunjuk ke Zahro, yang diam memandang tegak ke depan, aku menjawab: “Zahro mengatakan aku orang Afghan.”

Ummu tersenyum kecil, bukan marah seperti yang kuperkirakan.

“Ayo Leila, kamu maju ke depan dan tunjukkan dari mana baba dan ibumu,” ajaknya sambil mengarahkan tongkat mungilnya ke arahku. Maka aku pun maju ke depan.

Aku tak tahu persis walau samar-samar aku ingat Indonesia agak di bagian bawah sedang Turki sedikit ke tengah. Jadi kutelusuri bagian tengah peta dunia itu, sementara ummu malah duduk di kursinya, yang ditarik ke belakang sedikit sehingga dia seperti salah seorang murid yang sedang mendengarkan penjelasan dari guru.

Menelusuri dari kiri ke kanan, kutemukan Turki yang berwarna hijau lumut, kira-kira di sebelah kiri atas Iran. “Ini Turki, ayahku berasal dari sini.”

Keberhasilanku menemukan Turki itu seperti kunci yang membuka kotak pandora dan tiba-tiba berkeluaran semua ingatanku tentang cerita ayah.

“Ayahku lahir di kota Bursa,” tambahku sambil mencari-cari kota Bursa di peta, namun tidak kutemukan.”Ayah mengatakan dia lahir di sebuah rumah yang persis beraa di depan Masjid Ulu Jami, yang memiliki 25 kubah. Turki berada di dua benua, yaitu Eropa dan Asia. Karena letaknya di dua benua itu, dia menjadi tempat yang diperebutkan oleh banyak raja-raja.”

Semua kawanku diam mendengarkan, juga ummu, sehingga makin mengangkat kepercayaan diriku. Kucari-cari ke bawah dan akhirnya aku temukan juga rangkaian pulau-pulau ayng diberi warna abu-abu dengan tulisan Indonesia dari kiri ke kanan. Dan kuingat tingkat mungil ummu yang melakukan perjakanan keliling benua, maka kutarik perlahan-lahan tongkat itu dari Turki ke Indonesia.

“Dari Turki, ayah menyeberang lautan untuk bekerja di Indonesia dan bertemu dengan ibu di Pekanbaru.” Tapi tak kutemukan Pekanbaru, jadi aku putarkan tongkat mungil itu mengelililing tulisan Indonesia.

“Aku lahir di sini, sebelum kami sekeluarga pindah ke sini,” tambahku sambil menarik kembali tongkat ke Iran.

Menutup perjalananku, aku berbalik menghadap kawan-kawan dan memandang tajam ke Zahro, menghentikan pandangabnku di matanya selama satu dua detik sebelum menyapu semua wajah. “Jadi aku bukan orang Afghan, tapi orang Indonesia dan orang Turki.”

Aku berjalan ke arah ummu untuk menyerahkan tongkat, namun ummu memberi tanda untuk tetap berdiri di depan.

“Ada pertanyaan?”

Kupandang Zahro, dia balik memandangku, sepertinya dia masih meragukan asal usulku. Kuangkat kembali tongkat ummu: “Turki di sini, Indonesia di sini, sedangkan Afghanistan di sini,” tuturku sambil menunjukkan ketiga tempat yang terpisah itu.

“Kata ibu, Indonesia adalah negara yang amat luas dengan pulau terbanyak di dunia. Aku lahir di sana dan kulit orang Indonesia memang seperti ini, dan kalaupun seperti orang Afghan, jelas aku bukan dari Afghanistan,” tegasku lagi.

Kusapu pandangan ke semua kelas dan aku merasa masih perlu melanjutkan namun ummu berdiri untuk menghentikan pertunjukanku.

“Terimakasih kepada Lelia.”

Dan kudengar tepuk tangan pelan, aku menduga Khafsah. Tepuk tangan itu diikuti oleh beberapa kawan lain, masih terdengar ragu-ragu namun semakin membesar dan sambil berjalan ke bangku, aku bisa mendengar tepuk tangan yang bersemangat. Aku tak melihat lagi ke Zahro, dia sudah kalah total dan aku berharap dia menyampaikan pesan itu ke semua orang di seluruh dunia: ‘Leila bukan orang Afghan tapi ayahnya Turki dan ibunya Indonesia.’

“Hari ini kita sudah belajar lima benua dan juga Turki, Indonesia, dan Afghanistan,” ummu melanjutkan pelajaran, seperti menganggap persoalan antara aku, Zahro, dan Fatimah tidak pernah ada.

Semakin kagum aku padanya, bukan hanya menempatkan anggapan Zahro sebagai hal yang tidak serius, tapi juga sekaligus memberikan kesempatan kepadaku untuk langsung menyelesaikannya. Ummu mengajarkan sebuah senjata baru untuk kehidupan, bahwa kemarahan semata tidak akan membawa kemenangan, namun juga memerlukan ketenangan serta akal. Pagi itu kuping kiri dan kanan Zahro seperti disentil bersamaan.   

Siang itu giliran aku dan Khafsah membersihkan kelas. Merapikan kursi-kursi yang tergesar karena kami semua terburu-buru meninggalkan kelas, menghapus papan tulis, dan menyapu lantai kelas. Ummu kemudian menutup kelas dan kami membantu dia membawa tas besar berisi peda dunia tadi ke ruang guru.

“Bagus Leila, kamu menjelaskan dengan baik.” 
“Terimakasih ummu.”

Di pintu ruang guru, aku bertanya ke ummu tentang rumah-rumah yang menyiapkan banyak makanan dan banyak azadari yang berkumandang dai masjid maupun rumah-rumah.

“Nanti malam kita menuju Zainabiyah,” kata ummu. “Pasti ibumu memberi izin, nanti saya jemput kami sebelum magrib tiba. Apakah kamu mau ikut Khafsaf, jika ya tanyakan dulu ke ibumu.”

Kami tinggalkan ruang guru dengan riang, dan aku ulang kembali ke Khafsah: “Jangan lupa tanya ibumu nanti.”

Setibanya di rumah, kuceritakan kepada ibu tentang rencana ummu mengajakku ke Zainabiyah dan -seperti yang diduga ummu- ibu sama sekali tidak keberatan. Sekarang aku harus meyakinkan Khala Asiyah untuk mengizinkan Ali.

Tapi rasanya aku sudah cukup lelah, pertunjukanku tentang Indonesia dan Turki serta ajakan ummu meluapkan kegembiraan yang sepertinya tidak sepenuhnya bisa kukendalikan. Aku naik ke kamarku dan merebahkan badan di tempat tidur, dan segera jatuh tertidur.
***
bersambung