Biar Baik Asal Indah – Liston P Siregar

cara lain menonton film

Eliana-Eliana karya Riri Riza dan Bendera karya Nan Achnas belum saya tonton, dan mudah-mudahan kelak ada kesempatan untuk menyaksikannya ; untuk menapak tilas ketajaman mata, telinga, hati, dan akal Ging Ginanjar. Saya seolah-olah ikut menelusuri pemandangan yang jarang tersebut dan merasakan ketidak-gagalan keduanya –Riri Riza dan Nan Achnas– dalam menciptakan karya seni.

Tapi jelas ada banyak cara menonton film, dan tak semuanya memerlukan ketajaman mata, telinga, hati, dan akal. Saya tertawa gembira ketika mendengar komentar film Ada Apa Dengan Cinta –juga belum saya tonton– karena mengkaitkan dengan ‘masyarakat kota kekinian.’ Kedengarannya asyik sekali kalau sebuah film bisa ditarik ke sebuah istilah yang sungguh asyik ; masyarakat kota kekinian. Sampai sekarang saya sering mencoba-coba mengkaitkan banyak hal dengan masyarakat kota kekinian, walau hampir semuanya terasa berlebihan.

Akar masyarakat kota kekinian dalam Ada Apa Dengan Cinta –seperti diberitakan– adalah adegan ciuman antara dua remaja dalam film di sebuah masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Film ini kemudian jadi berita di AFP, Reuters, dan BBC. Hebat! Dan semua berita ditulis dengan angle adegan ciuman dua remaja di masyarakat mayoritas Islam . Jadi, seandainya tak ada adegan ciuman dua remaja itu, dan tak ada kekeliruan stereotype Barat dalam melihat masyarakat Indonesia –yang sebenarnya punya pelacuran meluas secara terbuka sekaligus tersembunyi– apakah Ada Apa Dengan Cinta akan jadi berita internasional?

Biarkan pertanyaan itu dijawab para sineas dan wartawan. Sebagai penonton, saya memang menyadari salah satu cara menonton film adalah pendobrakan nilai-nilai umum atau sebutlah sekedar anomali dari nilai-nilai bersama. Agaknya cara seperti ini jugalah yang digunakan Ging Ginanjar ketika mencerna Eliana-Eliana dan Bendera. Saya punya seorang teman yang kira-kira juga bisa digolongkan menggunakan cara serupa karena ketika menonton salah satu karya Frederico Fellini, dia berkomentar ‘membawa patung Kristus dengan helikopter di Roma. Hanya Fellini yang bisa melakukannya.”

Gambar helikopter dengan patung Kristus melayang-layang di langit putih Roma, melintasi atap-atap apartemen tak hanya dilihat sebagai keindahan, tapi suatu pendobrakan atau sesuatu yang tidak biasa. Ada stereotype dan ada aksi pendobrakan. Saya sedikit kagum dengan ketajaman pendapat itu, walau jauh lebih terkesan dengan keindahan gambar. Kepala terasa terpukul-pukul kecil menyaksikan sebuah lukisan besar yang indah. Seandainyapun adegan itu terjadi di Jakarta atau Mekah –yang mungkin akan jadi lebih rumit atau lebih sederhana makna pendobrakannya– atau di New York, London, Paris, maka adegan itu –buat saya– akan tetap indah.

Begitulah, umumnya, cara saya menonton film.

Jadi seandainya Eliana Eliana dan Bendera muncul dengan gambar Monas atau Bundaran Hotel Indonesia atau Semanggi ataupun kontras gedung bertingkat dan gubuk reot, mestinya tidak ada masalah kalau memang disajikan dengan indah atau mencekam. Soalnya adalah kalau deretan landmark Jakarta itu muncul dalam keadaan kering, mati, mekanis, atau klise, dan ini jelas sama saja dengan menelusuri kampung-kampung Jakarta yang dilakukan secara kering, mati, mekanis, atau klise. Objek gambar memang berpengaruh, tapi cara menyajikan yang membedakan seseorang –sutradara atau kameraman hebat– dengan jutaan orang lainnya.

Di La Haine, debutnya Mathieu Kassovitz, ada gambar menara Eifel yang muncul di layar TV di supermarket yang sudah tutup. Tengah malam itu, kamera menyorot tiga punggung anak muda yang menyaksikan gambar Eifel sambil menunggu kereta api pagi. Pertama, belum pernah terdengar orang mengatakan La Haine buruk. Kedua, seandainyapun ada pastilah penilaian buruk itu bukan karena ada gambar Menara Eifelnya. Ketiga, film itu meraih penghargaan sutradara terbaik di Cannes Film Festival 1995 dan film terbaik di Cesar Awards 1996.

La Haine mungkin tidak bercita-cita sebagai karya seni tapi sebagai catatan tiga pemuda imigran di salah satu kawasan miskin Paris, walaupun sudut-sudut kamera hitam putih terasa menghadirkan titik-titik seni juga. Jadi sama seperti Riri Riza dan Nan Achnas, Mathieu Kassovitz tidaklah gagal dalam menciptakan karya seni.

Menurut Mark Le Fanu, pengajar di European Film College di Denmark, film seni atau karya seni film adalah yang berbeda dari produk hiburan Hollywood. Lantas umumnya tidak berbahasa Inggris, dan lamban, terus ‘cerewet’ dan berurusan dengan masalah kejiwaan. Ciri lainnya, kata Le Fanu, adalah serius tapi juga seksi. Untuk urusan akal, mungkin ciri inilah yang bisa membantu melihat kekarya- senian sebuah film.

Jadi, mungkin, tidak ada juga masalah ketika Eliana kembali menyerah pada dominasi bunda, atau ketika Budi dan Rosi menemukan kembali bendera pusaka. Koridor moral yang terjaga memang bisa membosankan, tapi kemungkinan membosankan juga timbul dari koridor moral yang tidak terjaga.

Yiyi-nya Edward Yang adalah wujud dari betapa mengesankannya sebuah koridor moral yang terjaga, dari awal sampai akhir sepanjang dua jam lima puluh menit. Ketika NJ Jian dibujuk mantan pacarnya, Sherry, untuk meninggalkan keluarga, NJ menolak. Ketika Yang Yang melihat bayangan tubuh kakak kelasnya, dia tidak langsung onani di kamar mandi. Atau kesediaan seluruh anggota keluarga bergiliran bercerita di depan neneknya yang hilang kesadaran. Hidup di Yiyi adalah yang tertib dan bermoral, namun Yiyi –berdasarkan cara saya menonton film– adalah salah satu film terbaik sepanjang masa.

Sebaliknya pendobrakan bisa sangat merusak. Tahun lalu, saya nonton Puisi Tak Terkuburkan-nya Garin Nugroho. Betapa nikmatnya mencerna seudati dan kenangan mantan tahanan tentang masa kecilnya dengan logat Aceh yang kental, walau kadang sesekali terganggu oleh El Manik dan oleh seorang tahanan asal ‘kota’ yang mengutip aliran-aliran politik buku teks.

Tapi puncak gangguan adalah kehadiran seorang perempuan langsing yang cantik, pintar dan berani. Ketika dia mau dibawa ke tempat eksekusi dia menolak menutup wajahnya dan berpidato panjang “ibuku bilang jangan kau tutup kecantikanmu…. ” dan tentara yang bertugas sampai melupakan kekejamannya untuk menunggu pidato itu selesai sebelum membawanya pergi. Saya ingin menyergap layar dan mencekik mati perempuan itu, demi keindahan Puisi Tak Terkuburkan.

Ada pendobrakan, ada heroisme, ada keberanian, ada perjuangan penegakan moral, tapi baunya klise semua.

Di Through The Olive Tree karya Abbas Kiarostami, seorang pemuda –Hossein– yang tergila-gila dengan seorang perempuan –Tahereh– selayaknya mendapat simpati. Hossein buta huruf sedang Tahereh makan sekolahan, dan Tahereh seharusnya mau kawin sama Hossein. “Kalau dia kawin dengan yang sesama pintar maka itu tidak baik, justru karena dia pintar sebaiknya dia kawin denganku sehingga keturunanku jadi pintar.” Di ujung film kamera diam merekam Hossein mengejar Tahereh yang terus diam membatu. Hossein disorot menjauh sampai ke titik kecil dan kembali lagi untuk mengambil barangnya yang tertinggal. Hossein gagal total merebut hati Tahereh.

Secara perjuangan kemanusiaan Abbas telah gagal total menawarkan sebuah pendobrakan terhadap kemapanan masyarakat ketika dia sudah sempat menyusun alasan untuk mendobraknya. Tapi syukurlah Abbas memilih untuk membuat film dengan koridor yang biasa-biasa saja, dan bukan sebuah gugatan atas kemapanan masyarakat. Seandainya Through The Olive Tree diakhiri dengan perkawinan Hossein dan Tahereh, maka saya –berdasarkan cara saya menonton film– dan rasanya juga banyak orang lainnya, tidak akan mau lagi mengeluarkan sepeserpun untuk karya-karya Abbas Kiarostami.

Memang, gugatan itu mulia, menarik, menantang. Sayangnya gugatan bisa menjadi tujuan utama dan semua hal diabdikan pada gugatan itu. Sama dengan ketidak-biasaan, yang secara umum akan lebih menyentak tapi juga beresiko untuk menjadi sekedar tidak biasa semata.

Mudah-mudahan saya bisa menonton Eliana Eliana dan Bendra. Dan jika saatnya tiba, mungkin sebaiknya nanti saya memadukan ketajaman mata, telinga, hati, dan akal Ging Ginanjar dengan cara saya menonton film. Paduan itu mungkin membuat saya tidak akan terlalu terbuai dengan ketidak-adaanya landmark Jakarta dan sekaligus pula tidak terlalu terganggu dengan koridor moral yang terjaga.

Di Mother and Son, seorang anak berbakti sepenuhnya pada ibunya yang sakit-sakitan. Si Anak memberi makan ibunya, menggendongnya ke luar rumah, dan menemaninya duduk di padang untuk menikmati angkasa. Begitulah hari demi hari sampai ibunya mati. Anak yang berbakti buta, tanpa sepercik tanda pun yang menunjukkan pemberontakan dari kehidupan lamban yang direkam lewat kamera yang bergerak lamban –yang kadang statis di satu adegan selama beberapa menit– dengan warna sepia yang menonjol.

Saya hanya bisa terpukau terdiam beberapa saat seusai menyaksikan Mother and Son ; seperti tersihir tak bisa bergerak dari tempat duduk. Seseorang –namanya Alexander Sokurov– demikian kuatnya menghadirkan kesetiaan seratus persen kepada bunda. Sampai sekarang beberapa gambarnya masih lengket kental di benak –bukan soal koridor moralnya dan juga bukan ketidak-biasaanya.

Jadi, biarlah baik-baik asalkan indah.
***