Smaradina Muda Mangin 1 – Syam Asinar Radjam

Prolog
Malam berubah menjadi sangat pendiam, ketika aku memulai memutuskan untuk membaca ulang pesan-pesan Mangin. Sebuah amplop tebal. Sayup percik air menuruni batuan jauh di bawah pondokan. Sungainya, —dari penjaga pondok tempatku menginap malam ini —tidaklah sejernih suaranya. Keruh berbau pinggir kota. Bulan sesekali pemalu. Dijaga awan, pucat kafan. Pelepah-pelepah kelapa yang terlihat, menunggu sapa angin.

Gegas kubuka amplop yang dia titipkan sebelum aku berangkat meninggalkan Palembang.

Pertemuanku terakhir dengan Mangin, tak bertemu muka. Hanya sebuah paket post. Dia memintaku untuk menjauhkan masa lalunya. Tak masuk akal.

Amplop tebal kertas samson warna coklat tua. Talinya entah diikat dengan simpul apa. Perlu dua menit untuk memecahkan simpul tali pengikat amplop. Angin yang kuundang dari jendela terlalu pemalu, hingga baju belacuku harus kuyup tersiram peluh.

Akhirnya berhasil juga setelah mencongkel enam jepitan staples. Kulongok isinya. Tiga bundel, satu buku harian selama satu tahun Mangin. Kumpulan kerangka puisi dan draft cerita pendek yang tak pernah selesai dengan baik. Benda-benda ini tak pernah aku temui selama ini, sekalipun kami satu kamar kost —tepatnya aku membenalu saja pada dia selama empat tahun lebih. Satu lembar lagi, surat berisi pesan kepadaku, supaya kubaca baik-baik, dan disimpan saja. Aku mulai membaca lembar-perlembar apa yang dia pindahkan ke dalam bentuk tulisan. Aku tak percaya yang kubaca hanyalah sekumpulan huruf yang berangkai.

Seperti yang ditulisnya berikut; Apapun yang yang terjadi pada anak lelaki kecil sepertiku, ingin aku kisahkan kepadamu, Dinda. Kau bukan sesiapa, sekalipun. Ada sebuah hipotesa yang hendak kubuktikan. Tanpa harus kujatuhkan apel dari Menara Pisa, atau kuerami sendiri telur ayam. Bahwa setiap insani menyadari ketika seseorang lain menjatuhkan pilihan padanya tanpa getaran bunyi dari dria mulut. Tak kuingini rasa ini lesap begitu saja, sekalipun tanpa kuungkapkan padamu. Seperti mentari yang menyinarkan saja terangnya. Seperti Burung yang meletakkan serbuk sari pada kepala putik sekuntum bunga.

Pun mungkin teori ini bukanlah keniscayaan. Tanpa percobaan yang mendahului, didukung asumsi penguat yang lemah. Kuterima apapun.
(Sumber buku harian Mangin; halaman 33)

Ternyata Mangin puitis juga. Karena yang kukenal selama ini, dia hanyalah seorang pencinta data, penyuka diskusi tentang data kejadian, konflik, sengketa, dan apa saja. Dan dia juga mengkabarkannya ke khalayak. Tapi dia puitis? Haram jadah, tak sempat aku mengenalnya sedemikian jauh. Aku mengambil gelas air putih, dan beranjak ke teras panggung lantai dua. Tak lupa bungkus kretek juga gelas kopi yang berisi tinggal separuh. Harus dua kali mengulang ke dalam, aku juga butuh pensil dan kertas.

Surat pengantar paket yang kubaca sore tadi, menyebutkan,Seperti biasanya, Acun. Tetaplah kau boleh menggunakan tiga kumpulan tulisan ini untuk apa pun. Tapi tolong, bawa jauh mimpiku ini. Sampaikan pesanku, kepada 1519 jenis burung, 515 jenis mamalia, 20000 jenis tumbuhan angiospermae, 270 spesies amphibia, 600 jenis reptil, 121 kupu-kupu, dan 210 juta rakyat Indonesia, ha ha ha,… Aku mencintanya. Ada pertanyaan?

“Terima kasih, atas kepercayaan ini. Kusimpan kerna kelak kau kan menghiba memintanya kembali, Kawan.” Aku membuang nafas, jauh.

Aku berjingkat di lantai kayu menuju ransel. Takut membangunkan Odoy dari desahan nafas yang teratur. Kertas, blocknote di tanganku. Sleeping bag, tersepak. Telepon berdering di lantai bawah. Malam menemaniku membaca lagi tulisan Mangin. Mengeja lagi potongan-potongan dialog imajiner Mangin dengan dirinya sendiri atau siapa. Entah?Have I told you lately that I love you?
Have I told you there’s no one else above you?
Fill my heart with gladness, take away all my sadness,
ease my troubles that’s what you do

Bibirku tergetar lirih mengingatkan lagu yang selalu disenandungkan kawanku itu sebelum malam menyergap. Kawanku yang selalu membubuhi inisial AMM dari Alfred Muda Mangin pada setiap tulisannya.
***

Satu
Satu tahun lalu. Sebelum kuputuskan untuk menceritakan kisah Mangin, —seorang kawan baikku yang kadang tak kukenal dengan persis— semua sederhana. Mangin yang kukenal seorang lelaki gamang, teledor, dan jorok. Lengkap sudah penderitaannya. Aku akan ceritakan sedikit, seperti apa rupa dan kelakuannya, sekenal aku.

Tapi nanti, ada sebuah kisah tentang pertemuan yang membuatnya tergiring pada kegamangan berkepanjangan. Tentu saja aku cukup tahu, dan banyak berkesempatan mengenal dia karena dia mengizinkan aku membaca buku hariannya, sekaligus aku adalah kawan diskusinya mulai dari persoalan politik sampai ke urusan ideologi merah jambu -demikian dia menyebut istilah romantisme.
***

Pertemuan
Satu tahun? Tak bulat memang, dalam hitunganku sekitar selisih tiga atau empat bulan. Sebuah malam, saat itu Mangin bertemu seorang gadis dalam tatapan kebinaran. Masih ingat anak lelaki Mangin, karena teramat sering dia ceritakan kepadaku. Tentang senyum anak gadis itu yang mungkin bukan untuknya. Dalam bungkus kemeja denim dan blue jeans. Gadis yang tak feminim dalam perspektif Barat.

Jika tak salah dengar dan tak salah hafal gadis itu bernama, Dinda. Berkulit gelap kekuningan. Lazimnya melayu jawa. Kakinya bergoyang-goyang mengikuti alur diskusi. Dagunya sesekali ditopang tungkai tangan kanan. Mangin teringat bahwa kelakuan gadis itu mirip ketika dia mengayun-ayun tubuh bocah keponakannya, layaknya sebuah ayunan di taman kanak-kanak yang hanya satu catur wulan Mangin singgahi.

Duduk dia di sayap kanan letter U ruang pertemuan. Lebih sering menunduk ke bawah, arah meja lipat di kursi yang didudukinya. Menyibukkan pandangan pada bahan bacaan di tangan kanan. Tangan kiri lebih banyak dipakai menyibak anakan rambut yang sesekali mengganggu mata.

Matanya lelah dengan semangat keingin-tahuan tetap terlihat, sembab, sesekali memejam. Mengerjap dengan diikuti gerakan kecil gelengan kepala. Mengusir penat. Telapak tangan sesekali menutup setiap gerakan menguap. Menutupi arah jam lima dan tujuh dari matanya dua lesung pipi sesekali terlekuk, membuat Mangin berfikir keras supaya diskusi tengah malam menjadi lebih memancing tawa-tawa kecil. Mengundang lebih banyak lagi kemunculan lesung pipi. What a boy!

Mata, senjata sekaligus titik lemah. Dan mata lelah di sudut pandangan Mangin begitu bening. Sekaligus sebuah buku yang penuh dengan bahan bacaan yang perlu digali. Dalam penilaian awal Mangin, gadis itu adalah kuntum pembangkangan terhadap pakta dominasi aktivis laki-laki di kampus ini. Mudah-mudahan. Entah, toh semua bisa saja keliru tafsir. Sesekali kepalanya terangkat mendongak, mengikuti alur diskusi setiap ketika ada komentar yang muncul.

Detik per detik sudut mata Mangin tak rela melepaskannya. Tapi tak ada waktu untuk urusan bergeli malam itu. Harus fokus memfasilitasi diskusi di training dasar organisasi bagi mahasiswa baru. Batangan Djarum coklat baru dibakar, asapnya mengaburkan pandangan Mangin. Mata indah, sepasang lesung pipi. Blur, dalam ruang tajam yang sempit kecepatan 1/1000 second. Fokus, bergantian pas foto, close-up. Mangin yang dipercaya memfasilitasi diskusi tengah malam gelisah, selayaknya penunggu bis mahasiswa ke Indralaya. Gelisah. Tolong jawab, adakah teori revolusi yang lahir dari proses mengejar bis kota?

Diskusi tengah malam ini dimulai sejak pagi. Mangin kebagian satu sesi dekat pukul delapan malam -setelah pengantar yang cukup panjang dari seorang kawan. Sekalipun wacana yang didiskusikan terkategori ringan, Mangin harus membagi konsentrasinya pada dua arah. Ketika organizing comitte sudah mengisyaratkan bahwa alokasi waktu telah terlampaui, dan gerakan mulut beberapa peserta mulai menguap, Mangin memutuskan untuk mengakhiri proses pembisikan awal ini.

Dia mengambil penghapus white board dan menimpa goresan tinta spidol dengan warna baru, kosong. Setelahnya penghapus terlempar-lempar di tangan kanan-kiri Mangin dalam gerakan-gerakan kecil.

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, seakan-akan suatu bangunan yang tersusun kokoh,” Mangin menutup diskusi dengan mengutip Firman Tuhan.
***bersambung