Ibuku Dalam Kenangan – Sanie B Kuncoro

Seorang Ibu adalah nyawa bagi sebuah rumah.

Pernahkah kalian merasa hati kosong saat pulang dan mendapati Ibu sedang tak berada di rumah? Aura rumah menjadi berbeda, perasaan bahwa ada sesuatu yang tak ada membuat suasana rumah tidak sempurna. Meski sangat sesaat, perasaan yang seolah berlubang itu akan muncul. Lalu perlahan mereda oleh sebuah kesadaran bahwa Ibu sedang bepergian, entah jauh atau sekedar mengunjungi tetangga. Dan Ibu telah menjelma “siput” yang membawa rumahnya ke mana pergi. Benar dinding rumah kita tak bergerak dan berdiri tegak di tempat semula, tapi nyawa dan aura rumah mengikuti bayang Ibu.

Itu dulu. Selepas bulan September tahun lalu, perasaan kosong itu menetap.

Kini aku harus membawa perasaan kosong itu ke mana-mana, tak hanya di ambang pintu saat mendapati rumah kosong. Juga saat berada di beberapa tempat yang pernah kami kunjungi bersama, atau saat menemukan hal-hal lain yang terkait dengan Ibu dan menumbuhkan kenangan. Itu karena Ibuku tak lagi kembali pada rumah kami. Ibuku telah berangkat menuju pada rumahnya yang lain, kepada kedamaian yang abadi bersamaNya.

Ibuku berpulang pada tanggal 4 September 2016, pada sebuah petang selepas magrib. Aku dan adikku berada di sampingnya, tangannya dalam genggamanku sejak sore. Setetes airmata ditinggalkannya. Rupanya itulah oleh-oleh terakhir untukku.

Sebuah kepergian yang kuikhlaskan. Setelah merayakan ulangtahunnya pada bulan Juni, kondisi kesehatan Ibu mulai menurun. Menjalani operasi laparaskopi untuk pengangkatan batu empedu dan beberapa kali menjalani perawatan di rumah sakit. Hingga kehilangan kesadaran selama beberapa hari dan dirawat intensif di ruang ICU. Sesungguhnya aku tidak ingin kehilangan harapan, tapi melihat kondisinya yang memburuk membuat naluriku membujuk untuk melepaskan Ibu.
Sejatinya telah beberapa lama Ibu menyerah.

“Hidupku sudah lengkap, telah kujalani hidup yang bahagia. Kumiliki anak-anak yang membuatku bangga dan melegakan hati karena kalian tidak menanggung hutang. Aku punya cucu-cucu dan bahkan cicit yang ayu dan cerdas. Kuisi hidupku dengan pelayanan bersama teman-teman seiman yang selalu saling mendukung. Dan terutama kupercaya bahwa Yesus adalah Juru Selamatku, maka aku akan bahagia damai sejahtera di rumah Bapaku di surga.”

Demikian Ibuku berkata suatu hari dan menolak menjalani terapi pengobatan. Ibuku merasa telah selesai pada kehidupan. Tapi mana mungkin kami anak-anaknya menyerah begitu saja. Ibuku adalah sosok yang tegar dengan karakter yang kuat, dijalaninya berbagai peristiwa kehidupan yang tidak mudah tanpa rasa putus asa. Dia selalu kuat dan siap menjadi pendukung bagi kami keluarga dan teman-temannya.

Maka tentu aku tak ingin menyerah.

Kukatakan bahwa Ibu harus sembuh, bahwa aku sanggup merawatnya hingga masa pikun nanti, bahwa masih banyak peristiwa bahagia yang bisa dijalani. Maka kami terus mengupayakan pengobatan yang terbaik untuk Ibu. Namun setelah seminggu Ibu berada di ruang ICU dan kehilangan kesadaran, naluri memberiku sebuah pemahaman. Bahwa Ibu menunggu ikhlasku, karena akulah yang selalu dijaganya.

Sore itu kusandarkan diri pada pundak Ibu, memegang tangannya dan dengan sekuat hati kubisikkan : “Akurapopo, Mi. Akan ada keluarga, kerabat dan teman-teman yang menjagaku. Aku akan baik –baik saja.”

Mata Ibu terbuka sebentar, kesadarannya yang menghilang seminggu, seolah kembali, menatapku dengan rasa yang tak akan sanggup kuungkapkan dengan kalimat apa pun. Lalu mata itu kembali terpejam seolah tidur. Dan Ibu berangkat dalam sebuah tidur panjang.

Maka apa yang kami lalui beberapa bulan in imenjadi kenangan yang seru sekaligus mengharukan. Kami sekeluarga mengajaknya nonton film Kungfu Panda 3 di bioskop.

Nonton bioskop adalah hobby semasa mudanya dan setelah sekian puluh tahun Ibu kembali menikmatinya. Ibu sempat gamang saat akan mengenakan kacamata 3D, kawatir akan menemukan hal-hal yang mengejutkan. Rupanya film berteknologi mutakhir itu justru membuatnya “tuman”.

Dia berpesan untuk diajak lagi bila ada film 3 D yang lain.

Hahaha.

Maka kami kembali mengajaknya nonton film 3D Jungle Book. Kisah tentang tarsan cilik yang disukainya.

Aku bersyukur bahwa kami, adikku sekeluarga beserta adik-adik Ibuku serta segenap keluarganya menjadi tim yang kompak mendampingi ibu selama sehat dan sakitnya. Kekompakan yang membuat Ibu merasa tidak ditinggalkan dan tak terabaikan.
Hal berharga bagiku adalah mendapatkan ketulusan lahir batin selama mendampingi Ibu dalam banyak hal. Memijat kakinya, memandikan dan menjaganya sepanjang malam. Kami lakukan kebersamaan itu sembari berbagi cerita ini itu. Kutinggalkan buku dan gadget selama bersama Ibu. Bersyukur sanggup kulakukan itu sehingga Ibu tidak merasa terabaikan.Tak apa banyak buku tak terbaca. Sapaan dan panggilan di hp & medsos yang terabaikan.

Yang lucu, Ibu hanya mau satu kali kuajak keliling pagi menyusuri taman rumah sakit karena dianggapnya aku tak mahir mendorong kursi roda.

“Arahmu menggak-menggok,” katanya.

Hahaha. Baiklah.

Ibu suka matahari pagi. Biasanya dia berjemur di depan rumah setiap pagi, sembari menyapa tetangga. Saat libur Lebaran, kutemani Ibu berjemur sembari berjalan-jalan ziarah ke makam Bendut (anjing kami) di taman belakang rumah. Ibu masih lancar berjalan sendiri ketika itu, hanya perlu bantuan tongkat. Dulu setiap pagi Ibu rutin jalan-jalan pagi bersama Bendut, anjing kesayangan yang dipelihara sejak usia satu bulan dan telah menjadi belahan hatinya selama 16 tahun.

Menjadi anak Ibu dan hidup bersama selama lima puluh empat tahun, tentu banyak hal kami jalani bersama. 

Sejujurnya kami tidak selalu akur, banyak ketidakcocokan, debat juga kemarahan terjadi dalam kebersamaan kami. Sesuatu hal yang tidak kuingkari. Barangkali karena kami berbagi kasih dan perhatian yang sama dari nenekku yang adalah ibunya dan Ayahku, suaminya, yang justru adalah orang-orang paling kami kasihi sehingga seolah memposisikan kami untuk secara tidak sadar berebut kasih sayang itu.

Lebih dari itu, kami adalah manusia biasa, yang jauh dari sempurna, maka segala yang kami lalui, susah senangnya, damai dan perselisihan adalah dinamika yang menyempurnakan hidup. Bahwa relasi yang kami jalani adalah kehidupan sebenarnya, bukan sebuah hubungan yang tampak damai di permukaan namun basa-basi di dalamnya sebagai sebuah pencitraan.

Rumahku sunyi. Tidak ada lagi suaraIbu di dapur, yang dulu menjadi penanda pagi. Tidak ada lagi suara deru mesin jahit di ruang depan. Tapi kenangan Ibu berada di mana pun. Setiap pagi aku membuka jendela kamarnya.
“Salam pagi, Mami.”

Di depan garasi, seringkali kali kulihat seseorang duduk termenung. Berganti-ganti, kadang sopir tetangga, tukang sampah, pak satpam, simbok bakul sayur, pak RT atau ibu-ibu tetangga lainnya. Mereka adalah orang-orang yang mengenang Ibuku. Pada pagar batu di depan garasi itulah, Ibuku biasa duduk, menikmati udara segar pagi atau sore hari, sembari bersalam pada setiap orang yang lalu-lalang.

Mereka memanggilnya Bude. Ibuku telah menjadi Bude, Ibu bagi setiap orang yang mengenalnya.

“Mami, kau telah menjadi ibu bagi banyak orang. Kasihmu akan terus hidup dalam kenangan kami.”
***

*. Sudah diterbitkan dalam antologi 8 Bahasa Cinta.