Lelaki dan Kebunnya

Kaki kisut di tanah mengkerut
tanah yang lama tak dibasuh hujan.

Ia coba menggangsir-gangsir
guludan  yang tak lagi lurus.
Mata tuanya tak sanggup bedakan : legok dan gundukan
Tapi ia terus berharap
benih masih akan subur disemaikan

“Abah, nanti saja cangkul kebunnya. Tunggu hujan,” kataku.
“Ada bibit wortel dan bawang daun,” katanya
“Kalau ditabur sekarang. Pasti akan mati juga,” ujarku.
“Ada bibit wortel dan bawang daun,”ujarnya.
“Mari berteduh. Biarkan terik ini lewat,” ajakku.
“Ada bibit wortel dan bawang daun,” tegasnya.

Lelaki tua dan kebunnya
adalah sejenis cinta yang keras kepala.

Lama, ia pandangi potret tua :
berdua dengan istri di depan balai rumahnya
Matanya berkaca-kaca
air mengalir dari parit-parit di pipi rentanya
Diusap wajah istrinya, semesra ia cangkuli lahan sayuran
Dielus kening istrinya, selembut ia taburkan bibit di kebun
Diraba pipi istrinya, sehangat matahari yang hampir pergi.
“Istriku sudah mati,” bisiknya.

Kaki kisut dan luka yang tak pernah kering
melintas panjang cerita manusia.

Ia tiba di gigir hutan ini,
Setelah awan hitam menggulung negerinya.
Dan ia tanggungkan pedih prahara
dari satu penjara ke penjara.
Tanpa kejelasan : apa yang sedang dihadapinya.

Ketika hari kebebasan tiba,
ia diantar penjaga penjara ke tepi hutan ini.
Diberikan padanya hak membuka hutan jadi kebun sayur.
Lalu satu per satu anaknya lahir di sana
Lalu satu per satu cucunya lahir di sana
di tepi hutan itu.

Ia mencintai istri dan anak-cucunya
Seteguh cinta pada kebun sayur dan hutan di tepinya…

“Istriku sudah mati,” katanya lagi.
Tapi ia tak hendak beranjak pergi
dari kebun yang tak lagi lurus bedengannya.
Ia siapkan bibit wortel dan daun bawang
meski hujan belum pasti datangnya.

Lelaki tua dan kebunnya
menanda cinta yang tak mudah menyerah.

Sarongge, 2015