Media Massa dan Agama

seri jurnalistik
Liston P Siregar

Pertanyaanya, setelah pembunuhan di kantor majalah satire Charlie Hebdo yang menewaskan 12 orang, apakah media massa tidak boleh menyindir agama?

Jawabannya, tergantung.

Profesor Martha Steffens dari Sekolah Jurnalisme Unversitas Missouri, AS, dalam tulisannya di Columbia Review Journalism -sekitar sepekan setelah insiden Charlie Hebdo- menegaskan setiap surat kabar harus mempertimbangkan pembacanya.

“Setiap media tidak akan mengambil keputusan yang sama.”

Dalam sebuah siaran berita TV Channel 4 Inggris, juga terkait Charlie Hebdo, dihadirkan kartunis Belanda, Ruben L. Oppenheimer. Dia menjadi tamu dalam siaran berita itu karena karyanya tentang dua pensil yang akan ditabrak sebuah pesawat terbang, yang mengingatkan aksi teroris 11 September 2001 atas World Trade Centre, New York. Kartun itu, yang dimaknai sebagai serangan teroris atas kebebasan mengungkapkan pendapat- banyak beredar tak lama setelah pembunuhan Charlie Hebdo.

Pembawa acara bertanya,”Apakah ada batasan hal-hal yang tidak Anda gambar?” Ruben menjawab dia tidak akan membuat kartun tentang kesedihan pribadi seseorang, tapi isu-isu besar seperti agama, terorisme, dan semua hal aktual akan dijadikannya kartun.

“Tapi apakah Anda akan membuat kartun tentang holokos?” kejar pembawa acaranya. Buat orang Eropa, holokos adalah sebuah tragedi yang nyaris sakral, yang menjadi salah satu landasan hukum di beberapa negara Eropa. Belasan tahun tinggal di Inggris, seingat saya, belum pernah rasanya melihat lelucon tentang holokos -tapi kalau yang mengatakan itu cuma konspirasi yang sebenarnya tidak pernah terjadi, amat banyak.

“Tidak ada kebutuhan untuk membuatnya saat ini tapi kalau ada alasannya, kenapa tidak…” dan Ruben mengaku jika membuat kartun tentang holokos, maka akan ada masalah besar. Dia juga merujuk sebuah kasus di Belgia yang memperlihatkan hipokritsme di Eropa karena kartun holokos yang mendapat kecaman banyak warga.

Jadi ada dua hal. Yang pertama, relevansi dan aktualitas menjadi kunci utama. Sedang yang kedua, pertimbangkan konteksnya, pahami masyarakatnya.

Ada batasan

Tugas utama media massa adalah melaporkan peristiwa ‘hangat’ yang menyangkut kepentingan orang banyak. Jadi kekinian menjadi prinsip dasar media massa. Dan jika memang pada satu hari agama menjadi agenda masyarakat luas, maka sebuah koran –yang benar- akan menurunkan berita utama, tajuk rencana, maupun karikatur tentang agama yang jadi agenda tadi. Sementara TV dan radio menurunkan berita utama, ulasan, dan menampung komentar tentang agenda utama hari itu, entah agama, militer, suku, harga minyak, atau hak asasi manusia.

Apakah kita semua masih ingat berita tentang pembantaian sadis warga Ahmadiyah di Cikeusik, Jawa Barat, tahun 2011? Tiga orang dibunuh hanya karena memiliki keyakinan agama yang berbeda.

Seandainya ada kartunis yang membuat karikatur seorang pria berbaju koko dengan surban memancung seseorang yang sudah jatuh tak berdaya dengan pedang bertuliskan Nabi Muhammad SAW, bagaimana reaksi umat Islam? Bangga atau marah?

Tinggalkan soal kemungkinan tanggapannya karena perdebatannya bisa amat panjang.

Prinsipnya, semua hal bisa menjadi berita di media massa dan agama harus diperlakukan sama dengan soal-soal lain. Media massa –yang benar- seharusnya tidak bias dalam penentuan isu.

Tentu pula semua hal di dunia ini memiliki batas.

Saatnya kita ke konteksnya atau masyarakatnya.

Di Prancis -yang antara lain melarang murid sekolah negeri mengenakan lambang-lambang agama, entah itu kerudung, surban Islam atau Sikh, maupun kippah (topi Yahudi)- menyindir agama tidak jadi masalah. Tapi menyindir homoseksual atau menyindir holokos mungkin bisa jadi masalah besar. Suka tidak suka, begitulah masyarakat Prancis.

Sedangkan di Thailand, menyindir Raja Bhumibol Adulyadeja bisa mengantarkan orang ke penjara, walau cuma sekedar melaporkan kesehatan raja kritis tanpa menggunakan pernyataan resmi kerajaan. Tapi di Inggris, Ratu Elizabeth sering jadi bahan canda. Seorang kolumnis koran The Independent, bahkan menulis ‘kalau Pangeran Charles nanti buat masalah, kita tidak mau dia jadi raja’.

Di Indonesia?

Kalau ditelurusi dari zaman Orde Baru rasanya banyak, walau tak terlalu jelas rambu-rambunya. Dulu ada Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika, PPG, di Departemen Penerangan, yang kerap memberi peringatan, yang juga tidak terlalu jelas alasannya, kepada para pemimpin redaksi. Tapi ada larangan, misalnya, memberitakan Komunisme/Marxisme -mungkin masih sampai sekarang- juga SARA, yang seperti aturan karet sehingga bisa ditarik ke sana ke mari sesuka penguasa.

Majalah Tempo, Editor, dan Detik dibredel tahun 1994 karena liputan invstigasi tentang pembelian kapal perang bekas dari Jerman yang dipimpin Menristek BJ Habibie. Penafsirannya jangan kritik putra mahkota BJ Habibie, yang memang ditunjuk Presiden Soeharto menjadi penerusnya namun sekitar 1,5 tahun kemudian dilengserkan MPR.

Tahun 1974 –setelah unjuk rasa mahasiswa menentang modal asing saat kedatangan PM Jepang, Tanaka Kakuei yang dikenal dengan Malari- sejumah koran juga diberangus walau beberapa kemudian terbit lagi. Sedang pertengahan 1980-an, Sinar Harapan dan Prioritas yang kena bredel karena berita tentang kemungkinan devaluasi dan hutang luar negeri.

Sedang yang berurusan dengan agama rasanya cuma mingguan Monitor, yang membuat jajak pendapat tokoh paling popular di Indonesia dengan peringkat satu Suharto dengan Nabi Muhammad di peringkat 11. Unjuk rasa menentang Pemred Monitor, Arswendo Atmowiloto, meluas dan Menpen Harmoko mencabut SIUPP atau Surat Izin Usaha Penerbitan Pers tabloid mingguan itu.

Dan kalau dilihat UU Pers No.40/1999 dan UU Penyiaran No.32/2002, jelas tidak ada larangan untuk isu-isu tertentu. Jadi peliputan merupakan urusan kode etik dengan juri Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia. Sedangkan masalah di media sosial, sejauh ini diserahkan kepada hukum pidana.

Kebebasan pers yang ideal

Jika kembali ke pertanyaannya, maka jawabannya tidak ada isu yang tidak boleh disindir oleh media massa.

Cuma bersamaan dengan kebebasan, ada tanggung jawab masing-masing media massa kepada para khalayaknya. Menjadi salah satu tugas utama wartawan atau jurnalis untuk mengenal kepekaan masyarakat dengan menyeimbangkan dampak sosial dan kebebasan mengemukakan pendapat.

Dan sebuah media –yang benar- akan membangun sistem keredaksian yang memungkinkan semua aspek dipertimbangkan dalam melaporkan sebuah peristiwa. Yang paling sederhana adalah mekanisme rapat redaksi untuk meminimalkan pendapat-pendapat individu.

Media yang lebih maju menyusun panduan lengkap tertulis tentang hal-hal yang tidak boleh dilaporkan. Itu pun masih diikuti dengan pelatihan-pelatihan wartawan yang tidak pernah berhenti untuk menanggapi masalah-masalah baru yang muncul sejalan dengan perkembangan masyarakat. Beberapa media juga membayar penasehat hukum untuk piket harian sebagai rujukan dalam pemberitaan isu-isu yang memiliki dampak hukum.

Kebebasan mutlak tidak pernah ada, apalagi dalam kerumitan masyarakat abad ke-21.

Ketika perkembangan teknologi memungkinkan semakin intensnya hubungan antara masyarakat-masyarakat dunia, tetap saja belum semua masalah lokal otomatis menjadi masalah global. Memang ada risiko tanggapan global untuk masalah lokal, seperti yang terjadi pada majalah satire Charlie Hebdo, ketika globalisasi militansi Islam menanggapi lokalitas nilai masyarakat Prancis.

Namun militan Islam adalah soal lain.

Sedang untuk media massa: jurnalis –yang benar- menjunjung tinggi kebebasan mengungkapkan pendapat dan memahami masyarakat tempat hidupnya.
***