Teheran Dalam Setoples


Aminatul Faizah

8. Anak-anak Bodoh
Musim dingin tiba. Aku akan membawa sekeranjang kecil wortel dan juga sayuran lain yang sudah disiapkan ibu jika Khafsah datang. Dia selalu menjemputku untuk bermain dan menarik lonceng di gerbang hingga berdentang tiga kali. Maka aku pun mencium kening ibu dan Ghazali. “Hati-hati ya sayang. Berlari ke bawah, aku minta khala membuka gerbang dan kutarik Ali. Khala tidak pernah bertanya setiap aku membawa Ali ke luar rumah, dan Ali juga tidak pernah bertahan menolak untuk ditarik. Dia akan meringankan badannya dan aku tatap harus menyentak dulu, seperti membangunkan dia dari dunianya. Barulah dia memberi sedikit tenaga untuk ikut berlari kecil.”

Pintu gerbang terbuka dan aku melihat Khafsah memakai kaus kaki hitam panjang dan sandal yang dibelikan ibu. Ia mengenakan jaket abu-abu tebal yang terbuat dari benang rajutan. Ia juga memakai kerudung hitam dengan warna yang memudar di ujungnya. Aku tersenyum melihatnya, mengambil keranjang di meja dapur dan beberapa potong kue serta buku cerita yang baru.

Ketika sedang berjalan, aku melihatnya terseok-seok berjalan melintasi gudukan salju yang putih sambil membawa keranjang wortel. Dia bagai seorang pengemis ketika datang di rumahku. Namun ia temanku dan semua orang tahu itu. Sepanjang perjalanan kulihat banyak orang yang membuat jalan di antara salju yang menggunung. Menggalinya dengan sekop, seolah salju adalah hutan baru yang akan dijadikan lahan pertanian.

Aku berlari dengan menarik tangan Ali. Aku membawanya ke kebun rahasia kami. Kami tak bermain lagi di antara pohon delima yang tinggal rangkanya. Kami bersembunyi di puing tua dengan segudang andai-andai yang melambung. Saat itu kami membuat boneka salju. Aku memberinya hidung dari wortel. Matanya dari tomat dan tangannya dari ranting tanaman.

Kami bersenang-senang. Aku membacakan buku dongeng tentang Abu Nawas pada mereka dan Khafsah tertawa terpingkal-pingkal. Ali tetap membatu, mungkin dia tidak mengerti kenapa Khafsah tertawa.

Akhirnya kami semua pulang. Ketika melewati tanah lapang, kami melihat beberapa anak lelaki yang bermain salju. Salah satu lemparannya mengenai bahu Ali. Aku membersihkannya dan seketika itu aku sadar kalau kedamaian kami terusik. Tiga anak mendekati kami. Kafsah lari ketakutan meninggalkan kami. Aku berteriak memanggil namanya namun ia tak menoleh sekalipun. Aku tak tahu apa yang ia takuti dari ketiga anak itu, mungkin dia takut mereka akan mengambil worter dan sayuran di kerangan. Entahlah, namun aku kecewa dengan yang ia lakukan. Tiba-tiba aku benci Khafsah.

“Hai…anak kecil. Mau kau bawa kemana si bisu ini!” kata seorang anak laki-laki yang di tengah. Ia memiliki rambut keriwul hitam dan pipinya kemerah-merahan.

“Tentu kami mau pulang,” kataku sambil memegang erat tangan Ali.

“Tunggu dulu!” seorang lagi memegang bahuku. Dia meludahi wajahku dan aku sangat marah. Aku mengusap air liur yang berlendir yang menjijikan itu. Aku mengusapnya dengan kerudung biruku. Kutatap tajam mata yang cokelat muda. Aku yakin dia seorang yang penakut tapi memberanikan diri di depan teman-temannya.

“Apa yang kau mau?’ tanyaku sambil memegang tangan Ali dengan kencang. Aku meminta bantuannya. Tapi ia diam. Wajahnya lebih takut dari wajahku.

“Ibumu orang Afgan kan?”

“Tidak…ibuku orang Indonesia.”

“Lalu kenapa kau kemari?” tanya anak rambut keriwul sambil mendorong tubuhku.

Aku terdiam dan ia mendorongku lagi, “memang apa yang dilakukan ayahmu?”

“Memangnya apa urusanmu?” Ia meludahi aku lagi, sama dengan yang dilakukan temannya. Kuusap lagi dengan kerudung biruku. Aku tatap tajam mata si rambut keriwul dan aku menduga dia adalah pemimpin mereka bertiga. Ali tiba-tiba menangis. Aku tak tahu yang ditangisi Ali. Ia menanggis untukku ataukah karena menangis karena ia seorang pengecut seperti Khafsah.

Aku benci tangisan itu karena seumur hidupku aku tak pernah menangis seperti itu, hanya karena menghadapi tiga orang yang bodoh. Tangisan itu buatku lebih memalukan dari pada diludahi.

Aku menarik tangan Ali. Aku ingin ke luar dari rasa malu itu, ke luar dari kerumunan ketiga anak bodoh itu. Tapi anak keriwul itu menarik tanganku. Aku bertahan dan dia menarik lebih keras sampai akhirnya aku tersungkur di salju yang mulai mencair. Dia juga menendang tubuh Ali sampai tersungkur di genangan air salju yang sedikit menghitam bercampur dengan tanah. Ali tatap diam dan juga tak bermimik.

Tangisnya sudah hilang, juga pandangan ketakutannya berubah menjadi wajah pasrah. Aku juga benci wajah itu, tapi aku harus membela Ali. Aku yang menariknya ke luar rumah dan aku harus membawanya pulang.

“Apa yang kau lakukan padanya? Ia sedang sakit…” teriakku mendekati si keriwul sambil menatap tajam. Aku bisa merasakan dengus nafasnya, dan tiba-tiba aku sadara kalau si keriwul juga penakurt. Nafasnya menjadi tidak teratur, mungkin tidak menyangka kalau seorang anak perempuan melawannya. Kedua temannya diam saja menyaksikan.  

“Sakit katamu? Ia hanya seorang anak yang gila dan juga bisu,” suara keriwul sedikit bergetar dan aku semakin berani melawannya.

“Ali tak gila…ia juga tak bisu.” Aku menjambak rambuk si kriwul. rambutnya sekasar karpet Persia yang sudah lama tidak digunakan. Ia menjerit tapi aku terus menggenggam rambutnya. Kedua temannya mundur menjauh. Si keriwul marah marah dan membanting tubuhku di atas tumpukan salju.

Aku ditendangnya dan Ali kembali menangis, kali ini menjerit histeris. Ia rupanya amat ketakutan dan panik. Jeritannya mengusir rasa sakit tubuhku dan aku bangun kembali dan ketiga anak laki-laki itu lari. Mungkin mereka juga panik mendengar teriakan Ali, mungkin juga takut kujambak.  Pura-pura kukejar beberapa langkah tapi aku kembali ke tempat Ali jatuh dan mengangkat tubuhnya. Dia sudah tidak menjerit lagi tapi matanya kembali lagi penuh ketakutan.

Kuhusap kotoran hitam yang menyelimuti tubuhnya, juga menghapus air matanya. Ke luar dari tanah lapang itu aku sempat kehilangan arah. Salju putih berhamburan. Aku berhenti sebentar untuk mengembalikan naluri arahku. Ali diam tapi aku merasakan genggaman tangannya di jariku. Kulihat dia dan aku tersenyum kecil menenangkan dia. Aku tak tahu apa yang aku lakukan selain menenangkan temanku itu.

Rasa jiwa ingin melindunginya dan sekaligus kemampuanku untuk melindunginya membuat aku jadi sangat menyukainya. Dia adalah sesuatu yang harus aku lindungi. Aneh karena dia adalah beban, namun aku menikmatinya.

Ketika pintu gerbang dibuka, khala terhenyak dan memanggil ibu. Ibu ikut kaget dan berlari dengan bertelanjang kaki mendekati kami, menyelimuti tubuh kami dengan kerudungnya. Aku menumpahkan tangisan pada ibuku, sebagai ungkapan tentang pelecehan yang kami alami. Khala merangkul Ali. Wajahnya tidak sepanik ibu karena mungkin menganggap hal itu sudah biasa.

Tapi ibu tak setenang itu. Ia sangat panik, memandikan aku, merangkulku dan barulah aku melepas semua keluh kesahku. Bercerita tentang keriwul yang meludahiku, yang menendang aku dan Ali. Aku juga bercerita tentang rambutnya yang kujambak dan mereka berlari karena Ali menjerit histeris. Kulaporkan juga Khafsah yang lari meninggalkan kami berdua. Ibu diam saja, mengelus keningku lembut hingga aku tertidur damai dalam mimpiku.

Malam harinya, jendela kamarku mengembun dan juga tak ada bintang. Yang ada hanyalah butiran salju yang turun. Membebani rantin pohon-pohon di halaman. Desiran angin musim dingin yang sangat keras mengangu tidurku di hari yang menyakitkan. Aku tak bisa tidur lagi. Aku melihat lampu kamar Ali masih menyala. Aku berjalan ke arah kamar itu. Kulihat pintu masih terbuka dan kuintip khala Aisya sedang menangis di samping ranjang.

Ali berbaring telungkup, aku tidak tahu apakah dia sudah tidur atau belum. Tapi khala menangis meski aku tak mendengar isak tangisnya namun aku melihat air matanya menetes ke pipi putihnya. Aku merasakan kesedihan itu. Kesedihan yang mendalam atas segala keputusasan nasib dan takdir anaknya.

Hatinya lebih terluka dari pada hati Ali. Jiwanya lebih takut dari jiwa Ali yang selalu terkoyak. Dia berdiri mematikan lampu dan aku menjauh, bersembuni di dekat pintu ruang tamu. Khala Aisya berjalan masuk ke dapur  dan aku menyelinap ke kamar Ali naik ke ranjang dan merangkul tubuhnya. Aku takut kehilangan dia.

“Ali…tak kasihankah kau pada ibumu. Bicaralah Ali…andai aku tahu lukamu mungkin aku ingin berbagi luka itu. Aku ingin kau seperti anak lainnya. tapi kau lebih baik dari Khafsah. Kau tak lari meninggalkan aku.”

Tapi Ali diam saja, aku tak tahu apakah dia menutup mata atau membuka matanya, menatap seprei tempat tidurnya. Aku kembali ke kamarku.

Sambil berbaring aku keluarkan kembali rasa benciku kepada Khafsah. Teganya ia meninggalkan aku. Teganya ia melukai hatiku dan menghianati aku, padahal ayah dan ibuku sangat menyanyanginya. Kami sangat baik padanya tapi ia malah melakukan hal ini. Menjijikkan sekali nasibnya. Aku juga melampiaskan kemarahanku kepada tiga anak berandal itu.

Esok paginya temanku itu datang lagi. Lonceng di pagar berdentang tiga kali. Aku amat malas turun dan bertemu dengannya. Kusembunyikan tubuhku di balik selimut tebal, mengusir segala kekesalan hatiku. Ibumemanggilku berulang-ulang tapi aku tak memperdulikannya.

Tak kudengar lagi suara ibu dan aku mendekat ke jendela kamar. Aku melihat Khafsah meninggalkan pagar rumah. Ia melepas kain kumal yang menutupi lehernya. Apakah ia membiarkan lehernya kedinginan sebagai wujud sesalnya? Kenapa ia tak memakainya? Apakah tubuhnya tak dingin? Dia pasti kedinginan. Tapi aku ingin dia menyadari kesalahannya

Aku masih ingin bermalas-malasan di tempat tidurku. Ibu juga membiarkan aku tetap di kamar walau pintu sudah dibukanya sejak tadi untuk membiarkan angin masuk. Ibu sebenarnya tidak pernah membangunkan aku, tapi membuka pintu kamar dan membiarkan aku terbangun sendiri mendengar suara-suara ayah, ibu, Ghazali, dan khala memulai kegiatan paginya.

Aku menggeser tubuhnya dan kulihat Ali berdiri di pintu yang terbuka. Kugerakkan jariku memanggilmya dan ia mendekat. Aku tersenyum senang. Dia mengerti bahasa tubuhku dan menurutinya. Mungkin solidaritas bersama kami di hari yang menyakitkan telah mencairkan kebekuan hatinya, membongkar kekakuannya.

Ia tersenyum dan aku bergeser sehingga dia punya tempat untuk duduk di tepi ranjangku. Hari ini ia ingin melakukan sesuatu denganku. Aku bangki dan ikut duduk. Ia memberikan sebuah mainan dari kayu yang berbentuk kuda. Kayu oak tua yang diukir dan diubah menjadi kuda kecil. Kami memainkannya berulang-ulang, menggoyang-goyangkannya seperti sedang berjalan dari satu tempat ke tempat lain. Bergantian kami memegang kuda itu dan sesekali aku membuat gerakan kuda melompat atak menendang dengan kaki belakangnya. Ali tersenyum. Kami memainkan kuda-kudaan itu hingga aku bosan.

Tapi aku enggan ke luar rumah. Takut juga rasanya jika bertemu lagi dengan keriwul dan dua temannya. Atau mungkin aku masih lelah saja. Rasanya aku akan lebih siap jika bertemu mereka bertiga lagi. Aku akan menjambak rambutnya dengan tangan kananku sedang tangan kiriku akan menjewer telinganya sehingga dia tidak punya kekuatan untuk mendorongku lagi karena kesakitan yang luar biasa. Hari itu aku masih lelah untuk harus berkelahi lagi. 

“Kau masih marah pada mereka?”

Ali hanya diam. Ia tak melirikku. Ia masih sibuk mengoyangkan kudanya dengan pelan dan anggung seolah kuda itu tengah berjalan di padang rumput hijau.

“Ya..itu wajar, jika kau marah. Itu memang menyakitkan.”

Dia menatapku, mengatakan persetujuan lewat matanya dan aku mengangguk pelan.
***