Catatan Joshua Oppenheimer: The Act of Killing

Liston P Siregar

Kamis 14 Maret 2013 amat melelahkan buatku. Setelah kerja dan renang rutin, lanjut ke pemutaran perdana film dokumenter tentang Indonesia yang kontroversial, The Act of Killing, di Universitas of Westminster.

Film yang ternyata amat kuat memukul syaraf teror.

Menyaksikan The Act of Killing sepanjang 157 menit –yang beredar untuk umum hanya 115 menit- juga membuatku harus berlari kecil ke stasiun mengejar kereta terakhir karena ingin mendengar penjelasan sutradara Joshua Oppenheimer setelah tayangan film. Tiba di rumah sudah Jumat 15 Maret, pukul 00.05. Amat lelah tapi tidak bisa langsung tidur.

Teror The Act of Killing masih memukul berdentam-dentam.

Wajah-wajah yang tidak tampak di layar menjadi hidup. Mereka adalah korban pengganyangan pasca-30 September 1965. Aku –dan dari obrolan selepas tayangan, juga sebagian penonton lain- tersiksa menderita melihat rekonstruksi pengganyangan, begitu juga Anwar Congo yang lelah sendiri dan mengaku ‘hilang’ sebentar ketika berperan sebagai korban dalam rekonstruksi yang dibikinnya sendiri.

Penderitaan yang tidak ada apa-apanya dibanding korban yang lehernya dicekik Anwar dengan kawat, yang lehernya diinjak dengan kaki meja yang diduduki oleh beberapa orang, atau yang lehernya dipancung dengan celurit. Wajah-wajah yang tidak terlihat di layar namun hadir lewat empati penderitaan.
***

Rasanya hanya perlu sedikit saja unsur empati untuk bisa terkena dampak pukulan The Act of Killing. Jadi wajar aku terkejut mendengar reaksi seorang mahasiswa PhD di salah satu universitas terkenal Inggris asal universitas kelas satu Indonesia dan selama di London –ini yang bikin lebih parah- merangkap kontributor media terkemuka di Indonesia.

“Hebat sekali dia menipunya,” itulah reaksinya.

Kupandang matanya tajam, kusalam dan aku langsung pergi. Dia – tak usah disebut nama dan medianya- menuduh Joshua Oppenheimer menipu, tapi tak datang bertanya langsung dalam obrolan terbuka selepas tayangan perdana.

Dia adalah bukti dari produk manusia Orde Baru yang tidak akan pernah bisa bebas dari indoktrinasi Suharto. Pertama, tak punya empati terhadap korban penindasan, kedua menuduh dengan gampang, ketiga tidak berupaya membuktikan tuduhannya. Dan yang keempat: hidup tenang dalam ilusi kebenaran.

Orang-orang yang bertanggung jawab pada pembantaian massal pasca-30 September 1965.

Sama seperti Anwar Congo,  tokoh utama dalam The Act of Killing, walau pun Anwar satu saat bisa terbebaskan: dia lelah, bermimpi buruk, sedih, dan menangis.
***

The Act of Killing mengangkat pembunuhan massal dan brutal orang-orang yang dituduh sebagai anggota atau pendukung PKI. Fakta mereka dibantai seperti binatang sudah diterima hampir semua orang Indonesia. Jumlahnya masih menjadi perdebatan, antara 200.000 sampai 2 juta. Juga alasannya. Dan 48 tahun berlalu tetap saja masih belum tercatat sebagai sebuah dokumen sejarah resmi, belum ada permintaan maaf dari pemerintah, apalagi pengadilan atas para pelaku.

Joshua –anak Amerika Serikat lulusan Universitas Harvard yang kini bolak balik London dan Kopenhagen-  mencoba mengangkat pembunuhan massal itu untuk menjadi pemikiran banyak orang. “Untuk mengangkat kebisuan selama ini,” katanya saat mengantarkan pemutaran perdana filmnya di Inggris. Dan dia mengucapkan terimakasih kepada semua awak Indonesia yang tidak dia sebut namanya, yang semuanya tertulis ‘anonymous’ dalam kredit di ujung film.

Cerita berpusat pada sudut pandang pelaku pembunuhan –yang ‘bangga’ dengan tindakannya-  dan bukan para korban –yang masih menderita. Dia juga menggunakan teknik bercerita film di dalam film, ditambah dengan unsur teatrikal dan komikal. Orang hanya perlu punya sedikit rasa humor untuk bisa tertawa lepas tawa di antara terror-teror. Humor yang bukan untuk melucu tapi sebagai bagian dari komedi kehidupan manusia yang munafik dan penuh omong kosong.

Peran utama adalah Anwar Congo, seorang preman merangkap tukang catut di Medan Bioskop di pusat kota Medan yang suka film koboi. Kebijakan antifilm Amerika di jaman PKI memukul bisnisnya walau dia tidak menyebutkannya sebagai alasan ikut membantai orang-orang PKI.

Joshua memberikan kesempatan kepada Anwar Congo dan ajudannya, Henri Koto –yang berperan sebagai diri masing-masing- untuk merekonstruksi kembali pembunuhan atas korban-korbannya. “Kalau dipukuli banyak darahnya, jadi bergelimangan di sini,” kenang Anwar Congo di teras terbuka lantai paling atas rumah toko yang menjadi salah satu tempat pembantaian. Eksekusi diambil, antara lain, setelah diinterogasi bos Medan Pos, Ibrahim Sinik –seperti pengakuannya- ‘saya cukup berkedip saja dan mati.’

Anwar pun menjelaskan cara cepat tanpa banyak tumpahan darah. Diikatnya kawat di tiang dan satu ujungnya diikat pada potongan kayu. Leher korban dililit dengan kawat dan dia menarik kayu di ujung lain sambil. Mayatnya kemudian dilempar ke Sungai Deli –yang mengalir di tengah kota Medan. Urusan selesai.

Di pembantaian lain, Anwar mengambil karung –sebagai pengganti leher korban- dan menaruh kaki meja di atasnya. Anwar bersama Herman dan beberapa kawan-kawannya duduk di atas meja bergoyang-goyang sambil bernyanyi Halo-Halo Bandung. Habis nyanyi, mereka ambil karungnya ‘sudah mati’ dan mayatnya dibuang lagi ke Sungai Deli.

Pembantaian lain lagi di salah lahan perkebunan di Sumatera Utara. Anwar menyusun rekonstruksi lengkap dengan pembakaran rumah serta anak dan istri korban. Wakil Menteri Pemuda dan Olahraga yang juga petinggi Pemuda Pancasia dan juga salah seorang pelaku pembantaian, Sakhyan Asmara, dihadirkan. Light, camera, action dan anggota Pemuda Pancasila memekik Pancasila diiring teriak ‘bakar, bakar, bunuh, bunuh.

Usai pengambilan gambar, Sakhyan memberi wejangan pada Joshua –yang lancar berbahasa Indonesia. “Joshua, karakter kami sebenarnya tidak seperti itu. Cuma kami bisa menjadi seperti itu,” jelasnya. Hening.

“Tapi gambar itu tak perlu dihapus, supaya tahu saja,” tambahnya sebelum pergi. Bukan hanya Joshua dan awak film yang lega, juga para penonton.

Film -atau mungkin pencatatan- pun berlanjut.

Seorang anak Medan lain –yang sudah pindah ke Jakarta- yang dulu ikut membunuhi bersama Anwar didatangkan. Adi Zulkadry juga sempat gusar setelah berperan dalam beberapa rekonstruksi. “Ini kelihatan kita yang lebih kejam dari PKI,”  tuturnya. Tapi, syukurlah, kegusaran Adi itu –yang merasa akan jadi top kalau digugat Mahkamah Kejahatan Internasional- tak sempai membuatnya berhenti.

Maka pencatatan bisa dilanjutkan.

Beberapa rekonstruksi pembantaian dibuat teatrikal. Ada Anwar yang bergaya seperti koboi sambil naik kuda dengan tali lasso, atau Herman –yang suka berpakaian perempuan- memakai hiasan seronok seperti peserta karnaval Rio atau berkomestik tebal. Dalam satu pembantaian, semua pemain berpakaian jas ala mafia di film-film Hollywood, lengkap dengan cerutu ‘neokolonialis’ seperti kata Anwar saat rekonstruksi salah satu interogasi, atau tepatnya rekonstruksi pembantaian. 

Seperti penjelasan Joshua di awal, para pelaku sejarah diberi kebebasan untuk menentukan cara rekonstruksi. “Joshua, film itu harus humornya,” saran Anwar yang suka berdansa Cha Cha sambil mabuk alkohol dan ganja untuk menenangkan diri setelah membantai korban.

The Act of Killing juga diisi dengan kehidupan sehari-hari Anwar –antara lain ketika bersama dua cucunya memberi makan bebek atau ke dokter gigi maupun Herman –yang berkampanye untuk menjadi anggota DPRD. Joshua bahkan memasang kamera di kamar Anwar, entah ketika sedang tidur lelap dan  memilih baju yang akan dipakainya

Juga beberapa potongan acara rapat atau apel Pemuda Pancasila. Tampil pula Ketua Dewan Pembina Pemuda Pancasila, Yapto Suryo Sumarno, yang diwawancarai sambil main golf atau mengunjungi museum berburu seorang pengusaha. Termasuk ketika dalam sebuah rapat, ngobrol di meja bersama para pemimin PP lain membahas seorang perempuan yang melayani oral seks untuk enam pria. Masih di meja yang sama dalam acara yang sama, Yapto dan para pemimpin PP kemudian tampak khusuk ikut membaca doa.

Ditipu atau diperangkap, yang dilakukan Yapto dan kawan-kawannya adalah hal biasa di kalangan banyak orang Indonesia. Berbuat jahat dan berdoa cuma terpisah sehelai rambut.
***

The Act of Killing ditutup dengan adegan Anwar Congo kembali mengunjungi tempat pembantaian di awal film. Kali ini dalam suasana yang emosional, bukan seperti kunjungan pertama ketika menjelaskan cara pembunuhan yang efektif. Di tengah-tengah perenungannya, dia mual ingin muntah. Kembali bertutur dan kembali mual dan mengeluarkan dahak dalam sebelum turun tangga dan merenung sejenak di ujung tangga.

Anwar Congo, seperti dijelaskan Joshua, bukan seorang setan tapi dia melakukan perbuatan setan. “Sama seperti kita semua. Kita menggunakan sesuatu dan ada orang yang menderita untuk itu,” tuturnya. Seperti ketika membuka filmnya, Joshua mengatakan bahwa The Act of Killing bukan tentang orang jahat dan baik.

Pemisahan tegas jahat dan baik cuma ada di film-film Holywood, bukan di The Act of Killing.

Apalagi Anwar Congo cuma seorang aktor di The Act of Killing dan juga di masa pembunuhan 1965. Seperti kata Ibrahim Sinik, ‘Dia itu cuma satu dari puluhan orang, bukan cuma dia sendiri.” Mungkin maksud Ibrahim ingin menegaskan bukan cuma Anwar yang berjasa. Indoktrinasi Suharto memang berhasil merusak cara berpikir bahwa membantai orang atas nama politik adalah tindakan pahlawan.
***

Di Universitas Westminster, setelah tayangan perdana, aku dan banyak orang lainnya mengelililingi Joshua dan rebutan bertanya, antara lain seorang anak muda yang ingin tahu ‘apakah Anwar yang mual di penghujung film dibuat-buat atau natural.’

Seorang kenalan orang Inggris di sampingku –yang tidak tertarik pada pertanyaan itu dan jawabannya- berbisik ‘bagaimana pendapatmu?’

Kami mundur beberapa langkah menjauh dari kerumunan. Kuakui bahwa pada satu titik timbul perasaan ikut bersalah. Paling tidak bersalah ikut membisu. Tapi kemudian kucoba kujelaskan bahwa buat orang Indonesia, pembantaian itu pernah menjadi sebuah cerita pengantar tidur  (“jangan lupa berdoa supaya tidak seperti komunis”) materi pelajaran di sekolah (“PKI membunuhi orang beragama”)- atau  obrolan antar teman sehari-hari (“PKI kau!”)

Oleh Suharto dan mesin Orde baru-nya. sebuah budaya menghalalkan pembantaian G30S PKI berhasil disebarkan secara sistematis. “Jadi Anwar Congo dan Herman Koto sebenarnya merupakan korban juga,” tuturku sok meniru kearifan Joshua.

Tapi itu pun mungkin cuma sekedar upaya menenangkan diri, membenarkan yang salah supaya bisa hidup tenang untuk terbebas dari perasaan bersalah. Mekanisme pertahanan diri yang melekat secara harfiah di setiap orang.

Ketika menjadi sendiri keluar dari kerumunan orang-orang, aku pun kembali terteror. Rasionalisasi menjadi mandul: wajah-wajah yang tidak terlihat kembali menghantuiku. Pada saat yang sama empati menyadarkan terror yang kualami tidak ada apa-apanya dibanding yang diderita ratusan ribu atau jutaan korban pembantaian. Dan kesadaran itu menciptakan teror baru yang lebih kuat.

Seperti siklus teror yang terus berputar tanpa ujung dan tak ada yang bisa kulakukan selain menunggu perjalanan waktu memutusnya.
***