Ibu Presiden


Tirzah

 Dua hari kemudian sesuatu…atau tepatnya seseorang, yang akan mengubah hidup Lia selamanya, muncul. Siang itu Lia sedang berusaha keras menidurkan Mayka. Ini dia anak energizer, pikir Lia, energinya tidak pernah habis. Tidur saja tak mau. Main terus pantang mundur. Salah satu usahanya untuk membuat Mayka tidur siang adalah membacakan salah satu buku kesayangannya, Mister Seahorse karangan Eric Carle. Ibu dan anak itu sedang tertawa-tawa dan menirukan bibir ikan Tilapia ketika tiba-tiba bel berbunyi.

“Siapa itu mommy?” tanya Mayka.
“Itu adalah ikan Tilapia memencet bel. Halo, saya ikan Tilapia, saya datang untuk menggelitik Mayka. Apakah dia ada di rumah?” Lia menjawab dengan suara ikan Tilapia karangannya.

Mayka tertawa geli. 

Sekejap kemudian pintu kamar Mayka terbuka dan Diah menjulurkan kepalanya dari balik pintu.
“Ma’am,” katanya, “Ada tamu.”
“Siapa?” tanya Lia.
“Tak tau. Katanya dari Jakarta.”
“Jakarta…”, Lia langsung melompat dari tempat tidur dan berlari ke lantai bawah. Hal pertama yang terlintas dibenaknya sesuatu telah terjadi kepada Monang, adiknya yang bekerja di Jakarta. Beginilah nasib orang yang merantau. Kalau mendapat kunjungan atau telepon tidak terduga dari tanah air, prasangka buruk selalu muncul.

Di ruang tamu seorang wanita duduk menunggu. Lia tidak mengenalnya. Usianya, menurut Lia, tidak jauh berbeda dengan dia yang berumur 34 tahun. Dia memakai jas dan celana panjang hitam. Penampilannya formal, rapi dan tanpa cela. Ketika melihat Lia, dia berdiri dan memberikan tangannya kepada Lia.

“Ibu Amalia, maaf mengganggu. Nama saya Putri Wahyuni, Wakil Ketua Partai Pemuda Indonesia,” katanya dengan cepat.

Dari caranya berbicara dan membawa diri, Lia menyadari bahwa ini adalah wanita yang percaya diri, efisien, dan intelijen. Jenis orang yang kalau diberikan satu pekerjaan akan dikerjakan dengan sepenuh hati dan sekuat tenaga sampai selesai. Dan hasil pekerjaannya selalu hampir sempurna. Dia jarang merasakan kegagalan.

Dengan lega, karena hampir yakin wanita ini tidak ada hubungannya dengan Monang, Lia menyambut tangannya .

“Silakan duduk.”

Putri Wahyuni duduk di seberang Lia

“Saya harap ibu tidak keberatan kalau saya langsung ke pokok permasalahan.”

Segeralah, pikir Lia dalam hati, before my daughter recharges her battery.

“Kami dari Partai Pemuda Indonesia merasa bahwa Ibu adalah salah satu simbol yang tepat bagi perjuangan pemuda Indonesia. Untuk itu kami sangat mengharapkan kesediaan Ibu untuk bergabung dengan partai kami dan bersama-sama memperjuangkan nasib rakyat dan bangsa kita dalam pemilu yang akan datang.”

Untung saja Lia sudah duduk. Seandainya dia masih berdiri pasti dia sudah jatuh ke lantai karena kagetnya.

“Saya? Masuk partai politik? Kamu pasti bercanda,” Lia berkata, hampir berteriak. Dia menatap Putri, menanti jawaban yang diharapkan, dan Putri menatapnya balik, tidak bergeming.

Lia berkata perlahan-lahan…hampir berbisik; “Kamu…tidak…bercanda…ya?”

Putri menggelengkan kepalanya, mukanya masih serius.

But this is insane!” Lia lepas kontrol.

Putri berkata dengan tenang; “Do you prefer to speak English? We can do that. I spent 4 years studying in the US. Graduated from Harvard, PhD Economy

“Bahasa Indonesia saja. Maaf tadi saya terlepas kontrol”‘ Lia melanjutkan, “Tapi saya tidak mungkin ikut partai politik.”

“Kenapa?” Putri tetap kalem.

“Karena… karena…. Banyak sekali alasannya. Pertama, pengetahuan saya tentang politik hampir sama dengan nol.”

“Maaf memotong, tapi saya yakin anda tau banyak anggota parpol yang tidak memiliki pengetahuan politik. Terlihat jelas bahwa pengetahuan politik mereka minus karena kalau diadakan rapat DPR, mereka biasanya tertidur. Otak mereka tidak bisa memikirkan strategi politik, ekonomi, pemerintahan yang terbaik bagi kesejahteraan rakyat yang mereka wakili. Semua itu terlalu sulit untuk otak mereka, jadi lebih baik diistirahatkan saja agar nanti bisa digunakan untuk memikirkan alasan yang tepat untuk mendapatkan dana anggaran pemerintahan untuk menaikkan gajidan merenovasi rumah dinas mereka,” Putri berhenti sebentar, menatap tajam bola matanya.

“Saya malah yakin kalau dibandingkan dengan pengetahahuan politik sebagian anggota parpol dan DPR sekarang, Lia bisa dikategorikan pakar ilmu politik. Saya juga merasa yakin Lia termasuk orang yang mau belajar. The same thing cannot be said about our representatives at DPR. Mereka jelas-jelas tidak mau belajar dan tidak peduli.”

“Ok, bad reason. Alasan yang itu tidak tepat. Tapi masih ada alasan lain misalnya saya tinggal di Singapura, pasti menyulitkan kan? Kemudian suami saya. Suami saya sudah hampir dapat dipastikan tidak setuju. Dan… dan… masih banyak lagi alasan lain.” Lia berkata cepat sehingga dia hampir kehabisan nafas.

“Amalia…”
“Panggil saja saya Lia.”
“Lia, apakah kamu menyadari efek komentarmu di depan bapak menteri itu dan apa pendapat orang-orang di Tanah Air?”

Lia menggelengkan kepalanya. “Tidak banyak berita mengenai kejadian itu disini.”

Putri membuka tas yang diletakkannya di lantai dan mengeluarkan setumpuk koran-koran Indonesia lalu menyerahkannya kepada Lia.

“‘Semuanya di headline,” katanya.

Lia membaca sekilas headline-headline di semua koran itu. Satu koran menulis; Amalia Hasibuan, contoh generasi muda yang diharapkan di pemilu mendatang. Koran berikutnya menulis; Ibu-ibu Indonesia terdorong membentuk partai politik karena Amalia.
Selanjutnya; Masyarakat Batak bangga dengan Amalia Hasibuan.” Terlalu banyak koran dan Lia tak berniat membaca semuanya dan mengembalikan kepada Putri.

Putri berkata lagi; “Begitu juga di Internet kalau kamu google namamu.”

Keduanya terdiam selama beberapa detik, lalu Putri berkata dengan sangat perlahan; “You have captured our people’s heart.”

Tapi saya tidak berbuat apa-apa, cuma berkomentar saja karena saya marah.”

“Kamu berhasil membungkam seorang menteri,” Putri melanjutkan, “Sekarang semua parpol, kecuali partai bapak Menteri Kesejahteraan Rakyat yang berkuasa  tentunya, berebut untuk mengajakmu masuk partai mereka. Malah saya sangat kaget karena ternyata kami adalah partai pertama yang mendekatimu dan mengajukan proposal. Terus terang saja sumber daya kami tidak sebesar parpol-parpol lain. Saya rasa kami beruntung.”

Lia terdiam lagi selama sekejap kemudian berkata, “Saya cuma seorang ibu rumah tangga biasa…”

“Justru itulah salah satu daya tarikmu. Kamu adalah simbol dari pandangan baru bahwa wanita khususnya ibu rumah tangga sebenarnya tidak bisa dianggap remeh. Ibu rumah tangga juga berani menantang seorang menteri untuk berdebat mengenai buruknya kondisi Indonesia, dan… kalau boleh saya mengatakan… ibu rumah tangga juga bisa berhasil memenangkan perdebatan itu.”

Putri menambahak; “Tambahan lagi kamu tinggal di luar negeri.”

“Loh, itu bukannya malah menjadi disadvantage?

“Sebaliknya. Kamu menunjukkan bahwa meskipun kamu sudah merantau dan hidup sejahtera di negara lain, kamu tetap memikirkan nasib tanah airmu. Patriotisme.”
“Tentu saja saya memikirkan nasib Indonesia. Saya lahir di Indonesia dan semua keluarga saya masih tinggal disana.’, tantang Lia.
“Tapi tidak semua orang seperti itu,” lanjut Putri.
“‘Nah itu baru aneh. Semua teman-teman saya yang tinggal di luar Indonesia mempunyai sikap seperti saya,” jawab Lia.
“Ada satu faktor lagi yang kamu miliki.” kata Putri.
“Apa itu?”
“‘Takdir.”
“‘Hah!”

Putri menjelaskan; “Lia, biarpun agama kita berbeda tapi saya yakin kita sama-sama percaya dengan kehendak Tuhan. Mungkin bukan kamu saja ibu rumah tangga Indonesia di perantauan yang peduli dengan keadaan di Tanah Air, tapi cuma kamu yang ‘at the right place & at the right time.’ Pernahkah kamu berpikir bahwa adalah kehendak Tuhan kamu pergi ke KBRI hari itu, kemudian tertarik untuk mengikuti dialog lalu marah-marah kepada seorang menteri? Maybe.. .it was meant to be. Maybe God decided that you were meant to make a difference. Segala sesuatu di dunia ini ditentukan Tuhan, benar kan?”

Lia terdiam.
***
bersambung

TAGS :