Smaradina Muda Mangin

Syam Asinar Radjam

DUA
Dua kali, ini yang kedua, menurut pengakuan Mangin. Dia terkondisi mengingat perempuan selain Emak, Kelawai, dan keponakannya yang sedang lucu-lucunya. Memaksa sekali perasaan yang teramat sering muncul tanpa diundang. Dan setiap melihat sorot matanya Mangin merasa jantung berdegup.

Runtuhnya WTC di New York, atau patah satu sisi Pentagon pun mungkin tak mampu membuatnya seterpana setiap kali gadis itu menatap.

Sebelumnya lima tahun lalu. Seperti sebuah novel singkat Mangin, Kejora; Interlude –yang kutahu lewat pengakuan catatan hariannya dia pernah menulis novel. Itupun sebuah perasaan yang amat utopis untuk diwujudkan, karena tak dipahami tahapan untuk mewujudkan. Dan pula sudah berhasil dilupakan semuanya ; tentang hasrat menanti tatap gadis yang seolah tahu setiap sore di sebuah tempat yang disebutnya Simpang Seroja. Sekalipun pernah Mangin teringat dan terniat bertemu, ketika menyambangi kota tempat gadis itu sekarang berada.

Satu gagang telepon bergetar dalam belitan sumang.
Satu lagi dalam bingung.
Saat itu kutelepon ibumu, tahu?!!!
(Sumber; Buku Harian Mangin, halaman 107)

Atau,
Kucarilah kau ke sini
Kukhayal sebuah reuni

Teringatkan Simpang Tiga Seroja, dalam kilas satu lustrum
Wedang ronde menghangatkan rinduku.
(Sumber; Buku Harian Mangin, halaman 106)

Tentang perasaan terakhir ini ingin Mangin ceritakan dengan jujur bersama kawannya, Bu Jin Ai FM. Radio gelap yang dia bangun beberapa tahun lalu itu dia tingalkan karena berkeinginan membangun community radio di ladang-ladang pertanian, di talang-talang, di rompok-rompok , menemani kicau murai di radio yang digantung menghibur sang penyadap karet. Dang perumput di tengah huma. Atau pesta nugal, bahkan perayaan ngetam. Sebuah proyek masa depan Alfred Muda Mangin. Sesuatu saat mungkin akan tersampai.
* * *

On The Spot
Mangin terkenang bangkai Bu Jin Ai FM-nya. Entah dimana terkubur. Setelah harus berpindah-pindah studio. Sekalipun itu juga bukan masalah bagi Mangin dan Bontot, kawan yang merangkap teknisi. Radio mereka malah pernah berstudio di Volkswagen Combi, mobile radio. Sebuah pengalaman yang mengesankan bagi Mangin dan Bontot karena bisa langsung on air on the spot.

Masyarakat Kelekar menuntut Pertamina. Masyarakat dusun Prabumulih, bersama Solidaritas Peduli Lingkungan Prabumulih SPLP, meminta pencemaran Sungai Kelekar dihentikan. Tuntutan lain adalah agar Badan Usaha Milik negara ni melakukan normalisasi sungai. Hal ini terungkap dalam beberapa kali pertemuan antara masyarakat – perusahaan dan DPRD Muara Enim. Menurut masyarakat Pertamina harus bertanggung-jawab atas kerugian material dan immaterial karena masyarakat tak menikmati kontribusi dari sebuah kegiatan eksploitasi di tanah mereka, dan DPRD ataupun eksekutif harus memberi jaminan dalam bentuk perda sebagai bukti keberpihakan pada rakyat.

Pernah suatu kali mereka –Chandot & the Gank— pulang dan berkumpul ketika menjelang Ramadhan. Studio mereka adalah juga kedai jagung bakar. dan jingle Bu Jin Ai FM berubah ; “Dari kedai jagung bakar, Bu Jin Ai berkoar, Beli jagung dapat lagu, pesan lagu dapat jagung bakar,…” Begitulah Bontot biasanya membuka siaran sore menjelang berbuka puasa, dari kedai jagung bakar.

Radio yang tak berjam siar tetap. Dan tentu saja tak mampu mengakomodir kepentingan khalayak. Teori social responcibility tak dapat dipakai karena tak ada alat komunikasi langsung yang dapat dipakai pendengar Bu Jin Ai FM untuk menghubungi studio yang notabene bergerak terus, dan gelap. Tapi Bu Jin Ai memang dimaksudkan Mangin untuk mengkritik pekerjaan Alfred Rambang , kawannya, yang telah membangun radio gelap terlebih dahulu. Radio yang hanya berisi lagu dan karya sastra. Tanpa sentuhan jurnalistik radio.

Kadangkala Mangin malah justru menikmati studio berjalannya ini. Karena memungkinkan sekali untuk menyiarkan informasi yang digali on the spot dan memudahkan pencarian berita dengan radiowalk . Bukan hanya mengupas sastra pembebasan layaknya Anonymous FM-nya Alfred Rambang. Tapi juga menceritakan persoalan informasi, fakta, opini terkini mengenai pengelolaan sumber daya alam.

Mengenangkan Alfred dan radio gelapnya, mengenangkan pula kehilangan jejak seorang kawan yang amat pandai menyembunyikan rahasianya. Menghilang tanpa jejak. Apatah seorang lelaki harus menghilang setelah gagal menemukan dirinya sendiri?

Dan Bu Jin Ai FM pun sejak setahun lalu harus mati suri, karena berpencarnya Chandot & the Gank. Merintis arah sendiri-sendiri. Tetapi Mangin tetaplah sebuah alat penyuara lewat aktivitas kesehariannya. On the spot. Dari beberapa catatan transkrip pemberitaan Bu Jin Ai terbaca ;

Paska pertemuan segitiga antara SPLP (Solidaritas Peduli Lingkungan Prabumulih) bersama bersama masyarakat Prabumulih, Pertamina OEP Prabumulih, dan Komisi D DPRD Muara Enim tanggal 3 Juli 2000 terulang lagi kelalaian Pertamina OEP Prabumulih. Pertemuan 3 Juli tersebut telah mensepakati bahwa Pertamina tak lagi membuang limbah ke Sungai Kelekar sejak 1 November 2000, dan bukan berarti pada kurun waktu sebelumnya Pertamina boleh mencemari Kelekar.

Kelalaian tersebut mengakibatkan pecahnya pipa penyalur minyak mentah di daerah Pencucian Batu Kuning Simpang Empat, tanggal 15 Juli 2000. Saat diminta keterangan, pihak Humas Pertamina OEP Prabumulih tidak bisa menjelaskan berapa jumlah minyak yang tertumpah sebenarnya. Secara kuantitas memang tumpahan minyak ini tak sejauh kejadian sebelumnya (Oktober 1998) yang sampai mengalir setidaknya 8 kilo meter.

Tumpahan minyak mengaliri sepanjang 1,5 km di Sungai Kelekar. Menurut beberapa saksi, minyak mulai tumpah sekitar tengah hari. Lalu sekitar pukul 18.00 sore Pertamina melakukan penanggulangan dengan sangat konvensional, yakni cara bakar sehingga mengakibatkan kebakaran sekitar kompleks pemakaman leluhur (puyang) masyarakat dusun Prabumulih, dan tanah budal (ulayat) keturunan Puyang Tageri, yaitu tanah dusun lama yang diberi nama Tumbal Babat.

Di sisi ekologi, kebakaran tidak hanya melahap biota air Kelekar, juga menghancurkan keanekaragaman hayati dan fungsi alam bantaran sungai sekitar 400 m panjang di kalikan dengan 20 meter sisi kiri-kanan sungai. Bukan hanya sumber daya alam yang potensial sebagai sumber ekonomi rakyat yang dihancurkan, seperti ikan lele, belut, sepat, betok, udang, dan ketam (kepiting) bahkan hidupan air liar seperti biawak dan ular pun ditemukan mati.

Didarat, api membakar hutan bambu kapal –bambu khusus untuk lemang kecil dan keperluan lain pada acara adat ketika berziarah ke Puyang– setidaknya seluas 50 x 10 m atau 500 m2. Serta kayu-kayu besar yang potensial sebagai bahan bangunan dan penahan air di sungai (antara lain Seru dan Kemang). Setidaknya 600 pohon karet rakyat turut terbakar, ditambah tanaman pisang. Kualitas air Sungai menjadi asam sampai hari keempat setelah pembakaran –setelah sehari sebelumnya sungai tertimpa hujan, pH air sungai di lokasi pembakaran menunjukkan angka 5. Hal ini jelas menimbulkan kerugian baik secara ekonomis, politis, bahkan religius (adat) bagi rakyat.
(Sumber; Kelekar dibakar lagi, naskah berita Bu Jin Ai FM)

Dalam beberapa diskusi antara aku dengan Mangin, track record kerusakan Sungai Kelekar sudah nyaris setengah abad telah dicemari aktivitas penambangan minyak. Dari kejadian ini ada beberapa hal yang sangat disayangkan. Tindakan pengelolaan pencemaran ini masih memposisikan rakyat sebagai objek, bukan sebagai subjek yang perlu diakui haknya untuk dilibatkan secara setara.

Pertamina sangat sulit memberikan informasi seluas-luasnya bagi masyarakat. Bahkan penanggulangan tumpahan minyak dengan cara bakar tidak pernah meminta pertimbangan dari masyarakat, padahal lokasi tersebut adalah simbol pemersatu masyarakat dusun Prabumulih secara adat, lahan pertanian rakyat, bahkan pemandian warga sekitarnya. Dan Mangin sempat berterus pulang dia akan segera pulang ke Prabumulih, untuk pekerjaan-pekerjaan rumah yang tertinggal. Tapi entah?

Walah,…
Akhirnya tertata jua
Seperti hieroglyph dan hurup paku atau prasasti di kedukan bukit
Tintamu getah dan darah
Dari tangis anak putus sekolah
Demi lambung si busung

Betapa kesemenaan pemilik syah keserakahan memboroskan tinta,… tapi kutulis tetap
(Sumber; Hikayat Jakabaring V, Sajak AMM)
***bersambung