Dokter Zhivago

Boris Pasternak (alih bahasa Trisno Sumardjo), disalin dari terbitan Djambatan, Maret 1960.

Sekarang bulan sudah tinggi. Cahaya di pelataran setebal kapur, dengan permadani lebar hitam di depan portik gedung batu.

Rapat diadakan di seberang pelataran dan Yury dapat mendengar tiap kata, asal mau, tapi ia sangat terkena oleh pemandangan hingga duduklah ia di bangku di luar pos pemadam kebakaran dan melihat-lihat saja tanpa mendengar apa-apa.

Jalan-jalan buntu yang sempit bersumber pada pelataran berlumpur tebal seperti jalan dusun, digarisi oleh rumah-rumah kecil yang pencang-pencong. Pagar anyaman pohon willow merecup-recup dari lumpur seperti ujung pot kepiting. Nampak kilapan jendela terbukan seperti mata satu-satu. Pucuk pohon jagung yang merah basah dengan rambut berminyak di taman depan rumah menjenguk ke semua jendela dan bunga hollyhock yang kurus pucat dan terpencil-pecil, memandang jauh dari atas pagar, macam perempuan yang keluar waktu malam untuk cari hawa sekedar, sebab kegerahan di rumah.

Malam terang bulan ini mengagumkan seperti kurnia atau kepandaian bernubuat. Tiba-tiba dalam kesunyian gemilang yang bersuasana dongeng ini berdetaklah bunyi menggeratang yang berirama dari suara terkenal yang baru-baru ini didengarnya. Suara itu bagus dan berbunyi dengan meyakinkan, Yury menyimak, lantas ingat seketika. Itulah komisaris Gintz sedang berpidato.

Pemerintah kota rupa-rupanya meminta dia menyokong kampanye dengan gengsinya, dan iapun bicara sepenuh perasaan; ia menyalahkan penduduk Meyuzeyevo karena cara hidup mereka tak teratur, pun karena mau saja ditulari pengaruh disintegrasi kaum bolshewik yang menurut keyakinannya adalah sebenarnya biang keladi kekacauan di Zabushino. Dengan semangat seperti yang ditunjukkannya di kantor mayor kota, diperingatkannya mereka bahwa musuh kuat dan tak berberlas kasih dan bahwa tanah air sedang dalam ujian. Khalayak mulai mengecam.

Teguran-teguran supaya tak mencela pembicara silih berganti dengan seruan-seruan protes. Selain kian keras dan berganda. Seorang yang datangnya bersama Gintz dan kini menjabat ketua berteriak bahwa tak dibolehkan orang bicara dari bawah, lalu dimintanya khalayak supaya tertib. Beberapa orang bersikeras bahwa warga kota yang ingin bicara hendaknya diijinkan, sedangkan lain-lainnya minta supaya tenang.

Seorang perempuan berjalan di tengah khalayak ke peti kayu yang digunakan sebagai panggung. Ia tak mencoba naik ke pentas itu, tapi berdiri di sampingnya. Perempuan ini terkenal. Publik berdiam diri. Perhatiannya tertarik. Perempuan itu adalah Ustinya.

“Sekarang kamu bicara tentang Zabushino, kawan komisaris,” begitu ia mulai, “dan tentang kewaspadaan, kamu anjurkan kami supaya waspada dan jangan sampai tertipu, tapi sebenarnya kamu sendiri –saya dengar tadi– yang kamu maklumi hanyalah main-main dengan kata-kata seperti ‘bolsjewik-mensjewik’ cuma itulah yang kamu bicarakan, bolsjewik dan mensjewik. Dan segala ucapan tentang jangan bertempur lagi dan semua manusia sesaudara, saya namakan itu ilahiat, bukan soal mensjewik, pun supaya semua bengkel dan pabrik diperuntukkan orang miskin, itu bukan soal bolsjewik, melainkan menurut kemanusiaan dan kesayangan. Dan tentang si bisu tuli, kami sudah dengar cukup banyak tanpa kamu. Tiap orang terus menerus omong tentang si bisu tuli. Lagipula, apa keberatanmu terhadap dia? Hanya karena ia gagu selama itu, lalu sekonyopng-konyong mulai bicara tanpa minta ijinmu. Nah apa soalnya? Apa itu begitu mengherankan? Kita tahu, banyak lagi keajaiban telah terjadi. Ambillah keledai betina yang tersohor, misalnya; ‘Balam, balam,’ ujarnya, ‘dengarkan, saya katakan terus terang, jangan kesitu, kamu akan menyesal,’ Tapi ia tak mau dengar, ia jalan terus. Seperti kamu yang bilang’Si bisu tuli apa gunanya mendengarkan dia?’ pikirnya, Dia cuma keledai betina, binatang bisu. Tapi tengok betapa celakanya ia kemudian. Kamu sekalian tahu apa kesudahannya.”

“Apa,” tanya seorang yang ingin tahu.

“Cukup,” tukas Ustinya, “Kalauterlalu banyak bertanya kamu jadi tua sebelum waktunya.”

“Jangan begitu. Sebutlah,” desak pengecam itu.

“Baik, baik, bagaimana dan mengapa hai si judas bengal. Dia berobah jadi tiang garam.”

“Salah, sayang, itu Lot. Itu istri Lot, seru khalayak. Semua ketawa. Ketua menertibkan rapat. Yury pergi tidur.