Polisi dan Sopir

Dodi Mawardi

Mikrolet itu dipepet motor polisi. “Baru keluar pak!” kata sopir mikrolet. Polisi itu, Suryo, terlihat di papan nama yang menempel di dada, tidak menyahut.

Tampangnya seram dengan kumis tebal dan kaca mata hitam. Tangannya memberi tanda agar mikrolet menepi. Dia lalu menghentikan motornya dan menghampiri mikrolet. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulut Suryo. Mereka seperti sudah kenal lama. Begitu Suryo mendekat, sopir itu memberikan surat kendaraannya. Suryo pun ngeloyor begitu saja.

“Dia memang rakus,” kata Sofyan kepada penumpang yang duduk di sebelahnya, sambil menginjak gas meninggalkan Suryo dan motornya. “Emangnya sering Pir, polisi itu nilang?” tanya penumpang itu. “Waaaah, dia sih tiap hari pasti dapet korban. Padahal dia tuh, udah kaya lho. Punya taksi dua, dan apalagi tuh… pokoknya kaya lah,” sembur Sofyan mengeluarkan unek-uneknya.

Wajar Sofyan kesal dengan ulah si polisi itu. Hampir setiap dua hari sekali, dia kena tilang, oleh polisi yang sama. Tapi Sofyan masih bisa tertawa.

“Supri, elu kena sama preman jalan nggak?” tanya Sofyan kepada rekannya sesama sopir mikrolet yang sedang ngetem. Di kalangan supir mikrolet polisi penilang memang sama saja dengan preman jalan. “Nggak. Elu kenal?” Supri balik bertanya.

Sofyan hanya tersenyum. Lalu, mikroletnya dipacu tinggi. Sementara para penumpang sedang sibuk dengan pikiran masing-masing.
***

Suryo tersenyum-senyum sendiri. Sudah lima mikrolet berhasil ditilangnya. Tampangnya jauh berbeda dibanding ketika menilang sopir mikrolet tadi. Apalagi sisa hari ini masih panjang. Matahari belum lagi panas menyengat. ‘Gue pasti dapat banyak hari ini,’ gumamnya di dalam hati.

Suryo bertugas sebagai polisi sejak 18 tahun lalu. Kini pangkatnya sudah sersan mayor. Dia harus merangkak dari bawah untuk meraih pangkat itu. Suryo pernah bertugas di Timor Timur, Aceh dan Irian Jaya. Pengalaman tugasnya itu membuat watak Suryo semakin keras. Tak jarang dia memukuli tahanan yang ada di kantornya. Padahal dia polisi lalu lintas. Siapa perduli?

Sebuah mikrolet seenaknya saja berhenti menaikkan penumpang. Suryo cepat tanggap. Segera dipacu motornya mendekati mikrolet itu. “Heh, tahu nggak di sini dilarang berhenti?” gertaknya.

“Sori pak, tanggung nih, penumpangnya nyetop mendadak,” tukas sopir mikrolet. Dia tampaknya tak melihat polisi ada di sekitar tempat itu.

Suryo tidak bicara lagi. Tampangnya kembali seram dengan kaca mata hitam. Sopir mikrolet tahu isyarat itu. Tanpa berpanjang-panjang lagi, dikeluarkannya uang sepuluh ribuan. Tapi Suryo tak bergeming. Sopir mikrolet mengeluarkan kembali selembar sepuluh ribuan. Barulah Suryo kembali ke motornya dan membiarkan mikrolet itu pergi.
***

Sampai di rumah, Sofyan termenung. Terkadang diselingi senyuman. Jadi sopir angkutan umum memang butuh perjuangan lebih dan kesabaran. Bukan hanya bersaing dengan mikrolet lainnya, tapi juga harus berhadapan dengan polisi dan calo.

Sofyan sudah belasan tahun jadi sopir. Dia pernah jadi sopir pribadi. Kerjanya enak, apalagi bosnya orang asing. Setiap hari paling dua tiga kali mengantar bos. Sisanya istirahat sambil menunggu bos bekerja. Gajinya lumayan karena bosnya juga royal. Tetapi sial, dia harus berhenti, karena sering tidak tahan dengan disiplin bos. Bekerja dengan orang asing harus tepat waktu. Telat sedikit saja, pasti dimarahi. Padahal, Sofyan sama seperti kebanyakan orang Melayu, sering ngaret.

Sofyan juga pernah jadi sopir taksi. Malah lebih lama daripada jadi sopir pribadi. Boleh dikata Sofyan sukses sebagai sopir taksi. Dari hasil menarik taksi, ia bisa mencicil sebuah mikrolet. Mikrolet yang kini menghidupi istri dan empat anaknya.

“Pak, besok saya batas terakhir bayaran SPP,” kata Budi, anak tertua Sofyan yang kini duduk di kelas 3 SMU, membuyarkan lamunan bapaknya.
“Berapa?” tanya Sofyan.
Budi berkerut “Ya bapak, masa lupa lagi, kan udah biasa tiap bulan”.

Sofyan tersenyum, ‘Maaf anakku, bapak lelah dikerjain polisi,’katanya dalam hati.
“Iya kan ngasih tahu lagi nggak apa-apa kan?” kata Sofyan berkelit. Padahal, dia memang lupa. Penatnya jalanan dan kerasnya persaingan seringkali melupakan urusan lain.

“Dua puluh lima ribu perak,” sahut Budi. Sofyan mengeluarkan uang dari dompetnya.

Jumlah itu mungkin sama dengan uang untuk menebus surat kendaraannya di pengadilan. Sofyan sengaja tidak memberikan salam tempel kepada polisi yang menilangnya. Walaupun beberapa kali pernah juga. Paling tidak ia harus merogoh dua puluh ribu untuk
menyumpal mulut polisi itu. Walaupun di pengadilan juga sami mawon. Banyak calo dan pencari mangsa. Baru sampai di gerbang saja sudah didekati para calo yang sok baik tapi agresif.

Tapi paling tidak, Sofyan percaya uangnya masuk kantong negara walau diujungnya nanti akan dikorupsi para jenderal juga, tapi paling tidak Sofyan merasa berurusan dengan sebuah lembaga negara. Jadi tidak seperti memberi uang ke polisi di jalan.
***

Matahari sudah condong ke arah barat. Selesai mencari mangsa di jalan, Suryo kembali sejenak ke kantor. Setor muka sambil laporan penghasilan. Tentu tidak semuanya dilaporkan. Hanya yang resmi. Kepolisian resort tempat Suryo ditargetkan mendapat pemasukan dari jalanan sampai sekitar 500 juta perak sampai satu miliar untuk setiap tahun.

Penghasilan itu tergolong kecil dibanding, total nilai uang yang dipungut para anggota. Suryo hanyalah satu dari sejumlah besar polisi yang biasa-biasa saja, jadi bukan polisi aneh yang menyetor semua hasil tilang di jalan, atau yang lebih aneh lagi; yang menolak uang sogokan sopir.

Menjelang maghrib, Suryo sampai di rumah. Sebuah rumah yang tergolong wah untuk ukuran seorang sersan mayor. Halamannya luas, ditumbuhi pohon-pohon hijau kecil dilengkapi tanaman bunga. Memang bukan murni hasil keringat Suryo, karena tanah yang kini ditempatinya merupakan warisan dari ayahnya yang juga polisi. Bangunan rumah terdiri dari dua lantai. Lantainya marmer mengkilap, yang bisa dipakai bercermin. Harum ruangan semerbak seantero rumah.

“Ayah… sudah pulang?” sambut istri Suryo di pintu.
“Iya, ayah dapat banyak rezeki hari ini.” ujar Suryo sambil merengkuh bahu istrinya, lalu mengecup keningnya. Keluarga ini cukup harmonis.

Suryo punya tiga anak, dua laki-laki dan si bungsu perempuan. Anak pertamanya sudah masuk Akademi Kepolisian di Semarang. Dulu, Suryo berjuang keras untuk bisa masuk ke Akpol, tapi selalu gagal. Padahal, bapaknya sudah menempuh berbagai cara untuk meloloskannya. Kini Suryo seperti dendam. Anak pertamanya sukses masuk Akpol. Dia juga ingin anak keduanya bisa juga masuk sekolah calon perwira polisi itu.

“Anak kita sebentar lagi lulus SMU. Mau diterusin kemana ya?” tanya istri Suryo, sambil menyiapkan meja makan.
“Ayah sih maunya dia masuk Akademi Kepolisian di Semarang, mengikuti kakaknya,” kata Suryo tegas.

Belum selesai mereka bicara, Rully anak kedua Suryo muncul. “Saya juga mau ke Akpol, kata kakak enak di sana,” kata Rully. “Masa depannya juga cerah, saya mau jadi jenderal, ngalahin ayah.”
“Bagus.. bagus.. bagus, haha haha,” Suryo senang bukan kepalang. “Nanti ayah siapkan segalanya biar gampang masuk Akpol, seperti kakakmu.” Tak tampak sedikitpun kesangaran tampang Suryo seperti ketika menilang sopir-sopir mikrolet.

Suryo ingat bagaimana dia harus memaksa anak pertamanya masuk Akpol. Kini dia lebih tenang karena anak keduanya, mau sukarela menjadi polisi. Profesi turun temurun nenek moyang. Suryo lebih tenang lagi karena punya orang dalam, yang bisa memuluskan langkah anaknya masuk sekolah polisi. “Ha ha ha ha..,” Suryo kembali tertawa riang.

Dia membayangkan nanti anak-anaknya menjadi jenderal. Jenderal yang punya kuasa luar biasa. Jangankan jenderal, seorang kolonel saja sudah begitu leluasa berkuasa, punya anak buah segudang. Mau apa saja tinggal menyuruh anak buah. Dan sersan mayor seperti Suryo seringkali menjadi kacung para kolonel atau para perwira menengah lainnya. Suryo ingin membalaskan semua itu melalui anak-anaknya.
***

Hari itu cuaca mendung. Mendung seperti juga Sofyan yang sampai tengah hari, penumpang atau biasa disebut sewa sangat seret. “Pri, payah hari ini..,.” kata Sofyan.
“Iya nih, tumben ya. Biasanya walaupun mendung kayak gini, penumpang banyak,” timpal Supri.

Mereka akhirnya ngetem di dekat sebuah pertokoan. Di situ biasanya ramai. Tapi kedua sopir itu tak tahu kalau mereka sedang diperhatikan Suryo. Kali ini, Suryo tidak menunggu di dekat kios rokok, tempat ia biasa mencari korban. Ia nongkrong lebih jauh ke dekat wartel, sekitar 100 meter dari kios rokok. Makanya, dua calon korban langanannya, Sofyan dan Supri tak melihat Suryo. Tetapi untunglah –sebelum Suryo beraksi– keduanya segera ngeloyor menjalankan metromininya setelah beberapa penumpang terlihat kesal dan mengumpat.

Di hari lain, Sofyan dan Supri masih tetap menjadi langganan Suryo, polisi si preman jalanan. Begitu juga sopir lain dengan trayek sama. Sudah akrab sekaligus gedek dengan Suryo. Setiap ditilang, mereka selalu berkata dalam hati “Nih gue kasih uang haram, gue nggak rela… semoga bisa menghapus dosa gue”.

Dan Suryo tak tahu dan tak pernah mau tahu dengan perasaan serta doa para sopir itu.
***
Ciputat, Juli 2001.