Dokter Zhivago

Boris Pasternak (alih bahasa Trisno Sumardjo), disalin dari terbitan Djambatan, Maret 1960.

Beberapa waktu kemudian, Zhivago pun pulang. Malam sebelum ia berangkat, ada badai yang dahsyat. Kegaduhan taufan bercampur dengan keributan hujan lebat; hujan itu kadang memecah langsung di atap, kadang turun pesat ke jalan bersama belokan angin, seolah menyapu jalannya selangkah demi selangkah.

Gemuruh guntur bersambungan tanpa selingan, jumbuh jadi bunyi mengaum yang rata. Dalam denyaran kilat, lebuh lari jauh bersama pohon-pohon tunduk yang lari ke arah yang sama.

Mademoiselle Fleury terjaga malam itu oleh ketukan yang buru-buru di pintu depan. Ia duduk tegak dengan kaget dan menyimak. Ketukan berlangsung.

Taruhlah, keluarga Zhabrinsky adalah kaum ningrat, bekas pemilik rumah ini, tapi bukankah rumah sakit ini hak rakyat, kepunyaan rakyat sendiri? Siapa yang berwajib menjaganya? Misalnya, si juru rawat lelaki itu kemana larinya? Ia ingin tahu. Tiap mereka lari –tak ada lagi kurir, perawat dokter, tak ada orang yang berwenang. Padahal masih ada yang luka-luka di dalam rumah, dua orang buntung di kamar bedah, bekas kamar tamu; sedangkan di bawah di sebelah kamar cuci, gudang penuh dengan penderita disentri. Dan Ustinya pergi bertamu, setan! Dia tentu tahu betul ada taufan datang, tapi itu bukan halangan baginya. Sekarang ia dapat alasan baik untuk menginap di rumah orang lain.

Nah, sukurlah ketukan habis, orang tentu tahu takkan ada yang menjawab, jadi ogah dan pergi. Mengapa pula orang keluar pada malam begini… Atau mungkinkah itu Ustinya? Bukan, dia punya kunci. “Ya Allah, dimulai lagi, sangat menakutkan.”

Babi-babi, semuanya tak beda. Zhivago tak dapat diharapkan mendengar apa-apa; besok ia berangkat, pikirannya sudah di Moskow atau dalam perjalanan. Tapi Galiulin bagaimana? Ngorok saja di tengah kegaduan ini? Atau ia sudah bangun baring-baring saja dan mendengarkan, percaya bahwa ia akhirnya akan bangkit? Dia biarkan saja seorang perempuan lemah tak berdaya untuk turun dan membuka pintu entah untuk siapa pada malam dahsyat ini di negeri dahsyat ini.

Galiulin! –tiba-tiba ia ingat. Itu orang baik –Galiulin! Bagaimana pikirannya, tentu ia setengah ngantuk. Galiulin tak ada si situ, sekarang ia pasti sudah jauh. Ia sendirilah bersama Zhivago yang menyembunyikan dia, menyamarkan dia sebagai orang preman, lalu memberi keterangan padanya tentang tiap jalan, tiap dusun di daerah, supaya ia tahu caranya lari sehabis penmbunuhan kejam di stasiun Biryuchi itu, dimana mereka menewaskan Komisaris Gintz serta mengejar Galiulin sepanjang jalan dari Biryuchi serta mengejar Galiulin sepanjang jalan dari Biryuchi sampai Melyuzeyevo, menembaknya lalu memburunya di seluruh kota.

Andai kata tak ada mobil-mobil itu, satu batupun takkan tinggal enak di Melyuzeyevo. Kebetulan lewat satu regu berlapis baja, yang lantas mempertahankan kota dan mengalahkan orang-orang jahat itu.

Taufan sedang reda. Guruh tak begitu memandang lagi, kurang jelas dan lebih menjauh. Hujan sekali-sekali berhenti dan air masih kedengaran berkeresak pelan-pelan dari daun-daun dan turun ke selokan-selokan. Kilat tak berbunyi mengkilap-kilap dalam kamar mademoisellee dan berlangsung sejurus seakan mencari sesuatu.

Sekonyong-konyong ketuk di pintu depan yang telah lama berhenti, mulai lagi. Ada orang yang perlu segera ditolong dan mengetuk berulang-ulang dengan putus asa. Angin timbul pula dan hujan turun.

“Tunggu!!” teriak mademoiselle kepada entah siapa; bunyi suaranya sendiri menakutkannya. Tiba-tiba ia menduga siapa itu. Ia duduk, menyodok kaki dalam sandal, menjungkupkan gaun pada bahunya, lantas bergegas memanggil Zhivago; turun bersama dia akan mengurangi takutnya. Tapi diapun sudah mendengar ketukan tadi dan sedang turun dengan lilin menyala, Pikiran yang sama mendatangi mereka berdua.

“Zhivago, Zhivago, ada ketukan di pintu depan, aku takut turun sendiri,” serunya dalam Bahasa Perancis disusul dengan Bahasa Rusia: “Kau lihat nanti, itu Lara atau Letnan Galiul.”

Dibangunkan oleh ketakutan, Yurypun yakin bahwa itu seorang yang dikenalnya, mungkin Galilulin yang larinya terhalang dan balik untuk mencari perlindungan, ataupun jururawat Antipova yang tak dapat meneruskan perjalanannya dengan akibat bahwa ia pulang kepadanya.

Di portik, Yuri memberikan lilinnya kepada mademoiselle, menarik pasak-pasak dan memutar kunci. Tiupan angin mendorong pintu hingga terbuka, memadamkan api dan menghujani mereka dengan tetes-tetes dingin.

“Siapa? Siapa? Ada orang di situ?” Mademoiselle dan dokter itu bergiliran berseru ke hawa gelap, tapi tak ada jawaban. Tiba-tiba ketukan mulai ditempat lain di pintu belakang? Mereka berpikir kini, mungkin di jendela Perancis di taman.

“Rupa-rupanya angin,” kata dokter, “tapi supaya kita tahu, tengoklah di belakang. Aku tinggal di sini, barangkali sungguh ada yang datang.”

Mademoiselle lenyap dalam rumah, sedangkan dokter keluar dan berdiri berteduh di portik. Matanya menjadi biasa dengan hawa gelap, maka dapat ditangkapnya tanda-tanda pertama terbitanya fajar.

Di atas kota, mendung berlari kegila-gilaan seperti dikejar sangat rendah sampai ke mumut-mumutnya hampir menyentuh puncak pohon-pohon yang melentik ke arah yang sama, hingga nampak bagai sapu yang menyapu langit. Hujan melecut dinding kayu rumah, merobahnya dari abu-abu menjadi hitam.

Mademoiselle kembali. “Bagaimana?” tanya Yury.

“Kau benar. Tak ada orang.” Ia telah keliling di seluruh rumah, sebatang dahan yang memukul-mukul jencela kamar persediaan telah memecahkan sekeping genting; di lantai ada bencah-bencah besar, yang ada pula dalam bekas kamar Lara, di situ ada laut, betul-beul laut, ya samudra. Dan di sebelah sini tengok, ada magun dipukul yang tutupnya patah, kau lihat? Hanya itulah.”

Mereka omong-omong sebentar , lalu balik ke kamar masing-masing, kecewa bahwa semua keributan itu tak ada gunanya,

Tadinya mereka yakin bahwa sesudah pintu terbuka, Lara akan masuk, kedinginan benar dan kuyup sampai kulit dan mereka akan bertanya selusin pertanyaan selama ia menanggalkan topi dan mantel; dia akan pergi untuk ganti pakaian, lalu turun untuk berdiang di depan tungku dapur yang masih hangat sejak kemari malan, mengisahkan pengalamannya, sambil menyingkap rambutnya ke belakang dan ketawa.

Mereka yakin betul tentang itu, hingga ketika mereka meguncni pintu keyakinan itu seolah berbekas di lebuh, di balik pojok, seperti gandaan lembab dari wantia ini ataupun gambarannya yang terus mengusik mereka.
***bersambung