Tentang Yang Tidak Pernah Ada (1) – Victoria Tokareva (Penerjemah Dr. Victor A. Pogadaev)

Maka tiba hari bapak membawa anak lelakinya ke kebun binatang dan menunjukkan harimau kepadanya di situ. Harimau mempunyai mata yang hijau dengan anak mata seperti garis menegak, di sekitar hidung kulit yang hitam, juga ada lingkaran-lingkaran hitam dan telinga tegak di kepala seperti dua tiga segi yang sama.

“Bapak,” kata Dima ketika mereka meninggalkan sangkar, “Saya mau harimau.” 
Bapak berjalan dan memikirkan tentang hal-hal sendiri. 
“Ba-pak…” Dima merengut.  
“Apa, apa?” Bapak bertanya dengan nada jengkel.

Sekiranya Dima lebih dewasa maka dia mengerti bahwa pada saat-saat seperti ini tidak selayaknya bercakap. Akan tetapi Dima cuma berusia enam tahun dan dia berkata: “Saya mau supaya harimau tinggal di rumah kita.”
“Yang tinggal di rumah hanya kucing dan anjing,” jawab bapak, “Harimau tidak tinggal di rumah.”

Dua puluh tahun berlalu. Dima bekerja sebagai dokter di ambulans. Orang memanggilnya ke rumah mereka apabila merasa kurang sehat dan sangat gembira jika Dima yang datang. Akan tetapi ketika mereka merasa lebih baik dan Dima sudah pergi, mereka melupakannya sama sekali. Begitu sifat kepribadian manusia.

Pekerjaannya tidak kreatif dan membosankan. Dan orang yang ditemuinya juga membosankan. Apabila seseorang mengidap sesuatu penyakit, dia bercakap dengan dokter hanya tentang penyakit itu sehingga tidak menarik baginya. Pada hari yang dikisahkan di sini, Dima dipanggil seorang pasien perempuan yang merasa sakit di dalam badannya.

“Persis di mana?” tanya Dima. 
“Persis di dalam,” kata pasien.

Ketika Dima tidak menemui apa-apa di dalam, hati perempuan itu tersinggung dan mengungkap pendapatnya tentang kedokteran pada umumnya dan tentang Dima khususnya. Dima mestinya bisa membantah tapi dilarang bertengkar dengan para pasien. Dia bereskan tas kulit hitamnya dan keluar. Rasa dengki yang terpendam menekan tulang rusuknya, dan Dima menoleh ke pintu mengumpat:
“Kuda betina!”

Dima mempunyai kekasih bernama Lyalya.

Lyalya bekerja di salon dan dua minggu sekali mencat rambutnya dengan berbagai warna. Kadang-kadang rambutnya hitam, kadang-kadang jingga, kadang-kadang lagi biru muda.

Dima datang selepas kerja, berhenti di depan jendela salon rambut. Jendela itu mengisi seluruh dinding dan di situ, di belakang kaca, orang bergerak perlahan. Segalanya serupa penggambaran perlahan dan Lyalya dengan wajah anak manja yang su, a merengek seiras Bridget Bardot* seperti pinang dibelah dua. Hari itu, Lyalya seperti biasa ke luar ke jalan, dengan bosan melihat pada Dima dan berkata: “Mungkin ada baiknya kamu membeli topi yang baru…”

Itu adalah sikap tidak hormat.  

Maka pulanglah Dima ke rumah dan ditanyai.
“Sempatkah kau membeli wastafel Finland?” 
“Tidak,” kata Dima.
“Mengapa?” 
“Saya datang ke toko, mereka berkata ‘habis.” 
“Mengapa untuk Tuan Zamskov ‘tidak habis?”
“Saya tidak tahu, mengapa.” 
“Tetapi saya tahu,” kata ibu Dima. “Pada masa kanak-kanak kau tidak nakal seperti anak-anak lain, dan sekarang kau bahkan tidak bisa bercita-cita seperti semua orang malas. Kau tidak punya apa-apa dan tidak akan mempunyai apa-apa.”

Ibu menambahkan bahwa Dima mudah ditumpang iorang dan hal itu tidak bisa diperbaiki karena sifatnya itu diturunkan dari ayahnya.

Maka pergilah Dima ke warung pangsit dan minum sampai mabuk karena kata-kata ibu tadi. Kalau dia dalam semangat baik maka sesudah minum semangatnya menjadi lebih baik lagi. Sebaliknya kalau semangatnya buruk maka dia merasa lebih buruk lagi.
Kini dia merasa lebih buruk. Dima dengan muram memandang meja pualam dan mendengar dua kenalan baru yang berdiri di sekitar meja. Seorang berpakain topi leper, yang lain tanpa tanda-tanda khas.  

“Kau mau apa di atas segala-galanya?” orang yang tidak mempunyai tanda-tanda khas menanyakan pada orang yang bertopi leper.
“Apa cita-citamu?”
“Cita-cita aku adalah hidup lama dan tidak sakit.”
“Dan cita-cita aku menjadi terkenal seperti aktor Filippov.”*
“Untuk apa?”
“Supaya aku berkeliaran di jalan, dan orang lain berhenti sambil berkata: ‘Lihat, di situ Okhrimenko berjalan’. Aku menulis surat kepada Filippov dan menunggu jawaban.”
“Cita-cita yang banal,” Dima mencampuri.
“Dan kau, cita-cita apa?” dengan nada hormat Okhrimento bertanya sampil menyapu ujung mulut dengan tangan.  

Dima berpikir dan berkata: “Aku mau seekor harimau tinggal di rumahku.” 
“Yang tinggal di rumah hanya kucing dan anjing,” orang yang bertopi leper menyela dengan penuh keyakinan.
“Aku paham,” Dima setuju pasrah dan mengeluh. “Aku lahir bukan pada masa yang baik. Aku adalah orang yang tidak dibutuhkan. Individu tragis. Engels* pernah berkata: ‘Apa itu tragedi?’ Pertentangan keinginan dengan ketidakmungkinan dilaksanakannya…”

Okhrimenko yang mau menjadi terkenal itu mengasihani Dima dan berkata: “Ada baiknya kamu pergi ke kebun binatang. Mungkin di situ ada harimau berlebihan…”

Maka pergilah Dima ke kebung binatang.

Kali terakhir dia ke sana dua puluh tahun lalu bersama bapaknya. Dan sekarang ketika berjalan melalui sangkar-sangkar, dia berpikir anak yang menjadi dewasa tidak patut datang ke kebun binatang. Dulu, dua puluh tahun lalu, Dima hanya melihat elang. Sekarang dia melihat elang dalam sangkar. Sangkar dibuka di atas dan di atas elang ada langit tetapi elang tidak bisa terbang karena sayapnya dipotong di bagian bawah. Elang duduk di tunggul lebar dengan menurunkan sayapnya yang dipotong hingga tampak serupa dengan patung kayu yang dijual di kedai barang-barang rumah tangga. Harimau tidur dalam sangkarnya dengan berbaring di sisi dan mengulurkan kaki. Perutnya turun-naik, mungkin bermimpikan padang pasir.

Dima membayangkan satwa liar seperti itu berbaring melintang di kamarnya dengan menyimpan rahasia padang pasir dan hatinya dipenuhi dengan rasa nekad. Semua tantangan hidup yang lain kelihatan tidak serius.

Kantor direktur kebun binatang terletak dalam gedung bersama bagian burung berkicau. Agaknya di kebun binatang juga ada masalah perumahan. Direktur duduk di meja dan membaca beberapa kertas yang kiranya sangat membosankan karena baru saja Dima masuk dia gembira ria dan tersenyum lebar dengan menunjukkan semua giginya sekaligus, yang kebiru-biruan muda dan sempurna sebagaimana halnya gigi palsu. 

“-Salam,” Dima bersapa sopan.
“Bagaimana aku bisa membantu anda?” direktur bertanya dengan ramah tamah.
“Katakanlah, mungkin kebetulan,” Dima menekankan kata ‘kebetulan’, “Aa seekor harimau berlebihan?”
“Apa?” 
“Harimau.” 
“Anda dari kantor yang mana?”
“Aku bukan dari kantor. Aku secara pribadi.” 
“Untuk apa anda mau harimau?” 
“Begitu saja.” 
“Begitu saja… bahkan burung gagak yang tidak berbunyi,” direktur tidak percaya, “kiranya dibutuhkan untuk tujuan tertentu…”
“Aku mau supaya harimau tinggal di rumahku.”  
“Kau tidak takut ia akan melahap anda?” 
“Aku akan menjinaknya.” 
“Untuk apa? Tujuan akhirnya apa?”

Direktur menganggap Dima sebagai wakil kaum muda modern dan berpikir bahwa mungkin kaum muda tahu sesuatu yang tidak diketahui oleh generasi lama. Akan tetapi Dima tidak mengetahui sesuatu itu.

“Akhirnya sama bagi semua orang,” kata Dima. Dia tahu sebagai dokter, tidak perlu berpikir tentang itu.

Direktur menutup gigi dan berhenti tersenyum, “Kami tidak ada harimau berlebihan. Dan mustahil kami ada. Ia begitu berharga.”
“Aku akan membeli,” Dima berjanji.  
“Itu tidak mungkin,” direktur kebun binatang menjelaskan.  

Dima menoleh ke pintu dan membisikkan sesuatu ke telinga direktur. Dia memperhitungkan pengalamannya terkait wastafel Finland.

“Sumpah, kami tidak ada harimau,” kata direktur dengan tulus ikhlas. “Pergilah ke sirkus minta seorang penjinak, mungkin mereka punya.”

Penjinak membuka pintu untuk Dima dan setelah mendengar soalnya, tidak membiarkannya masuk. Penjinak menduga dia didatangi orang maniak. Dia pernah kenal seseorang seperti itu, yang sangat suka bergaul yang jika berhenti untuk bercakap maka akan memasukkan sejambak kunci ke lubang kancing kawan bercakapnya. Pada saat minta diri berpisah, dia keluarkan kembali sejambak kunci itu. Orang itu maniak membuka kunci orang dan kemudian mengunci kembali.

Penjinak melihat Dima dengan rasa ingin tahu. Dima tidak punya sejambak kunci di tangannya dan berdiri di depan penjinak tanpa memegang apa-apa, mengerdip dengan bulu mata yang lurus dan putih seperti sayap Kupu-kupu kubis.

“Anda memperolok-olokkan aku?” penjinak bertanya dengan hati-hati.

Kadang-kadang orang memang datang kepadanya dengan tujuan memperoloknya. Mereka adalah orang-orang yang berpendapat bahwa seorang penjinak berurusan dengan harimau-harimau yang di kebiri, yang hanya berbeda ukuran dengan kucing biasa.

“Aku tidak memperolok-olokkan anda,” Dima berkata serius.  
“Anda mau menjinaknya?”
“Tidak, aku tidak mau apa-apa.”
“Kalau begitu, untuk apa anda butuh harimau?”
“Cita-cita…” 
“Cita-cita yang aneh,” penjinak terperanjat.
“Setiap orang punya cita-citanya sendiri.” 
“Anda bekerja di mana?”
“Aku dokter.” 
“Ahli bedah?”
“Bukan, dokter umum.” 
“Oh… mengapa setiap pagi ada lingkaran gelap di bawah mataku?” penjinak itu menjadi aktif.
“Karena berbagai sebab,” kata Dima, “mungkin jantung atau ginjal.”
“Ya,” penjinak mulai menaruh kepercayaan kepada Dima dan merenung.  

Dia berpikir bahwa orang itu merawat orang dan bercita-cita memilik harimau.  Padahal dia sendiri penjinak, tapi tidak pernah punya cita-cita seperti itu.  Sepanjang seluruh kehidupannya dia bercita-cita pindah flat supaya tidak duduk bersama ibu mertua dan tidak melihatnya setiap saat.

“Aku tidak ada harimau bagi anda,” katanya selepas tersadar kembali dari termenung. “Aku sendiri kekurangan harimau.”
“Mohonlah, hanya seekor!” Dima memohon sungguh-sungguh.
“Aku mengerti cuma seekor, bukan 10. Tetapi aku lebih membutuhkannya dibanding anda. Bagi anda, ia cita-cita saja, bagiku ia adalah alat kerjaku.”
“Jadi, apa yang bisa aku lakukan?”
“Aku tidak tahu,” penjinak menggaruk kepala. “Pergilah ke Teater Binatang Durov*, mungkin di situ ada…”

Di Teater Binatang tidak ada seorang pun pengurus maupun atasan. Di kamar kerja direktur duduk sekretaris perempuan yang dengan senyap bercakap melalui telepon. Saat Dima masuk, dia berhenti bercakap dan dengan lembut serta penuh perhatian memandang melalui Dima. Matanya dicelak dan sangat cantik.

“Salam,” Dima menyapa.
“Salam,” kata perempuan itu sambil terus tersenyum tetapi bukan untuk Dima melainkan untuk orang di telepon.
“Kamu ada harimau?” tanya Dima. Dia menduga perempuan itu akan tercengang dan bertanya, dari kantor mana dia datang dan untuk apa dia butuh harimau.

Akan tetapi gadis itu tidak terperanjat dan tidak menanyakan apa-apa. Dia letakkan gagang telepon pada lututnya dan dengan sopan menjawab: “Kami ada kelinci, burung merpati, rakun. Juga ada akuarium, tetapi harimau tidak ada.”

Perempuan itu mengangkat gagang telepon dari lututnya dan dengan menundukkan mata mengucapkan sesuatu senyap-senyap.
“Sampai ketemu lagi,” kata Dima. 

Perempuan itu mengangkat matanya, menangguk dan ketawa tetapi bukan untuk Dima, melainkan untuk teman bercakapnya. Dima berkeliaran di jalan, melihat ke arah orang yang ditemuinya dan sesuai dengan kebiasaan profesinya, melakukan diagnosis. Sepanjang perjalanan dia berpapasan dengan dua pengidap tekanan darah tinggi dan seorang bayi berumur kurang satu tahun dengan tanda-tanda riket (kekurangan vitamin D).


Di rumah, karena soal remeh temeh dia bertengkar melalui telepon dengan Lyalya dan tanpa sebarang sebab, juga dengan ibu. Ayah duduk di sofa dan membaca koran. Dia prihatin terhadap nasib dunia. Bosan di rumah, dia pergi ke tetangga perempuan, Regina, yang tinggal satu lantai lebih bawah dan hidup sendirian. Dulu dia pernah menikah dua kali dan keduanya gagal: Regina memberikan kepada kedua suaminya itu seluruh hati, masa muda, dan duit akan tetapi kedua suaminya ber terima kasih sedikit pun dan memilih perempuan-perempuan lain yang lebih jelek dibanding Regina dan perempuan-perempuan yang tidak memberi apapun kepada mereka. Regina membuka pintu, memandang suram ke arahnya dari bawah ampai ke atas sambil memegang sapu tangan di hidungnya.

“Ah, kau,” katanya dengan kecewa. “Masuk, tetapi jangan bercakap. Aku sedang bekerja.”

Dima duduk di sofa dan mulai memperhatikan Regina. Regina membolak-balik manuskrip –dia bekerja sebagai korektor– dan di bawah jubah flanel bergeraklah tulang-tulang belikatnya. Di rumahnya yang rapi dan nyaman, Regina mempunyai wajah yang jelas dan cantik akan tetapi segalanya itu –kerapian dan kecantikannya- tertinggal.

“Aku bersemangat buruk,” Dima berkata.  
Regina diam dan membalikkan halaman.

“Ada baiknya kalau dalam otak manusia ada tombol tekan dan lupa segalanya yang mau dilupakan,” Dima mau melupakan harimau.
“Dengarlah,” Regina berpaling dan mukanya menjadi terilham. “Pinggangku sakit, seakan-akan hampir pecah. Mengapa itu?”
“Tidak tahu,” Dima menjawab dengan sepi. Dia sudah bosan mendengar tentang penyakit sejak pagi. Semua menunggu bantuan dari dia tetapi tak seorang pun mau membantu dia.
“Tidak tahu,” diulangnya, “sama ada ginjal atau sakit punggung.”
“Kenapa tidak tahu?” Regina heran. “Kan kau dokter…”
“Air kencing harus diperiksa,” kata Dima dan pulang ke rumah.
***
bersambung

*Bridget Bardot: aktris film Prancis yang terkenal tahun 1950-1960-an.
*Sergei Filippov:- aktor filem Rusia yang terkenal tahun 1930-1980-an.
*Friedrich Engels:– seorang filosof Jerman abad ke-19.
*Teater Binatang Durov: teater untuk kanak-kanak di Moskow, diberi nama dari seorang penjinak terkenal Vladimir Durov.