Adil dan Cina

Farah Riziani Rahmat

Aku tidak menyadari bahwa sepasang mata telah mengikutiku sedari aku masuk ruang studio.

Seorang kawan, Airin, berbisik: “Ila, hei sini…di sudut sana sana ada seorang yang akan kuperkenalkan. Ia sudah melihatmu sejak kau masuk…eh…jangan terlampau kelihatan kau melihatnya… Mari!”

Belum sempat aku melihat, Airin menggandeng tanganku, atau lebih tepatnya menyeretku mendekati lelaki itu duduk. Aku terpana sejenak melihat lelaki itu dari jauh. Lelaki itu, wajahnya imut. Putih, rambut lurus dengan potongan rapi, berjaket merah.

“Dil, ini Ila. Ila ini Adil,” Airin memperkenalkan kami. Aku sambut tangannya yang terulur, senyumnya lebar.
“Eh ini Ila yang menulis tentang Cina Palembang?”
“Ya, ini dia orangnya, aku tinggal kalian berdua, ya? Aku ada tamu lagi. Ila, Adil sudah jinak, ayo sana ngobrol yang enak,” seloroh Airin dan ia berlalu dengan cepat.
“Tulisanmu baik sekali tentang Cina Palembang itu. Apakah kau melakukan riset sendiri?”
“Tidak juga, ada beberapa kawan baik yang tinggal di sana. Sebenarnya juga bukan ide yang orisinil dari saya. Ada seorang kawan baik yang pernah mencari leluhurnya di Palembang, hanya tanpa hasil.”

Adil mengangguk-angguk. Aku melihat ia seperti seorang yang sudah lama kukenal, hanya aku tak jelas lagi. Seperti déjà vu.

Kami cukup lama bicara dan aku meminta maaf padanya untuk membicarakan hal ini lebih panjang pada kesempatan lain. Aku senang pembicaraan ini mengalir begitu saja. Rasanya perasaanku mengatakan ia seorang yang memang pernah hadir dalam hidupku. Entah kapan.
***

Lain hari aku merasa kehadiran Adil bukan hanya teman riset yang asyik, tetapi tepatnya teman ngobrol yang enak. Airin nampaknya tahu benar seleraku, well.. setidaknya untuk saat ini. Kami sudah berlama-lama di suatu pedesaan dan aku merasa aman di dekat dia. Entah mengapa. Tetapi aku menyimpan satu hati dalam relung hatiku.

Aku masih teringat saat itu… Saat itu…di suatu tempat yang lumayan nyaman di sekitar selatan Jakarta, sembari mendengar alunan biola dan piano, tiba-tiba Bonni, sang pujaanku saat itu…berbisik di telingaku,”Ila, kita kawin, yuk?” Aku terbelalak.

“Hmm, Bon, kamu lagi sadar atau mabuk nih?” aku tertawa perlahan, menutupi kejengahanku.
“Sadar. Aku sadar. Nggak mabuk. Aku serius, Ila. Kau mau ‘kan?”

Aku terdiam. Rasanya alunan musik klasik itu menjadi jauh dari harmoni di telingaku. Kepalaku berdenyut.

“Ila, kita sudah kenal lama. Sejak SMP, bayangkan! Orang tua kita juga sama-sama kenal. Usia kita sama-sama tidak muda. Kita sudah lebih dari 30 tahun, Ila. Kita sama-sama punya kebutuhan…yang…yang…kau tahulah,” ia mengela nafas. Seolah beban dalam hatinya sudah terungkap semua.

Aku diam. Tetap diam. Kupaksa akal sehatku berpikir, bernalar, melogiskan apa yag terjadi. Oh, Boni…aku melirik padanya. Ia termenung. Musik berhenti mengalun. Aku seperti terselamatkan.

“Pulang yuk, Bon.” Ia mengangguk.
“Ila, pertimbangkanlah,” ucapnya sebelum aku menutup pintu mobilnya, setiba kami di depan rumahku. Aku mengangguk dan menjauh.

Kubuka pintu kamar, kuhempaskan tubuhku di atas kasur nan lembab. Oh, Boni… kenapa kau harus cetuskan ide gila itu? Aku jatuh tertidur.
***

Boni bukanlah Adil. Aku hanya merasa Adil seperti Boni. Mungkin ini yang menyebabkan aku merasa betah di dekat Adil. Bersamanya, aku seperti mempunyai harapan baru. Entah harapan apa, tetapi yang jelas membuat aku semangat.

Hujan baru turun tengah malam ini. Adil muncul di depan pintu kamarku. Petir menyambar-nyambar, udara dingin dari luar seperti berebut masuk membelai kulitku.

“Ila, Ila, kita harus segera pergi.”
“Pergi?” aku menyahut sambil bersiap-siap dengan baju seadanya. “Kamu gila, Dil? Hujan petir begini?”
“Ayolah, aku tidak mau kehilangan kesempatan ketemu dengan pewaris keluarga Kapiten Cina itu,” nadanya mendesak sekali.
“Tapi, Dil…hujan deras sekali, aku tidak yakin sampan itu akan menggapai daratan dengan cuaca seperti ini.”
“Errrgggghhh, aku benci bawa perempuan model begini!” Ia bergegas pergi.

Aku melongo. Aku tidak paham sikapnya. Kembali aku tekuni data yang aku pelototi sedari dua jam tadi. Tetapi aku gelisah. Sebentar-sebentar kutinggal data itu. Aku ke pintu, melongok keluar apakah ada tanda-tanda Adil ada di serambi depan kamarku. Tidak. Ah! Adiiiilll!!! Kamu keras kepala!
***

Jakarta. Masih dengan hujan deras. Kali ini, aku merasa hujan itu bagai hujan es, berdentam-dentam dalam kepalaku. Aku cemas menunggu hasil pembicaraan Airin, Adil dan Pak Sancaka. Mereka tidak menyadari aku datang sebenarnya, aku pikir juga tidak enak aku masuk karena aku sudah sangat sangat terlambat.

Akhirnya, mereka keluar. Adil dengan suara baritonnya yang khas kudengar, Aku berdiri. Aku yakin Adil sudah melihatku berdiri dari kejauhan. Airin menghampiriku, “Mari, Ila. Ke kantorku dulu, ya?”

Aku memandangi Adil pergi dengan rasa sesal begitu dalam. Airin menjelaskan semua pembicaraan di ruang rapat tadi. Dan aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Semuanya serasa seperti dengung lebah saja dalam telingaku.

“Ila!”seru Airin sambil menyentuh lembut tanganku. “Kau kemana?” Aku gelagapan. Wajah Airin tersenyum terpaksa .

“Well, Ila, aku sungguh kecewa sebenarnya. Tapi, Adil benar-benar tidak bisa dicegah lagi mengatakan ketidakinginanmu ikut serta dengan dia malam hujan-hujan itu. Begini, biarlah kau diam dulu di rumah. Bagaimana?”

Aku memandang Airin kosong. Aku beranjak pergi. Tak kudengar lagi kata-kata Airin. Tujuanku hanya satu. Pulang.
***

Lama sejak kejadian itu. Aku sudah melanglang-buana kemana-mana, meneliti lain hal lagi. Pada satu desa, aku tertarik untuk mengikuti pertemuan warga desa itu.

“Ais, kau nak ke balai desa kah? Aku ikut,ye?” Ais, pendampingku selama dua hari ini mengangguk.
“Kak, tapi jangan lupa bawa kerudung, ye Kak.”

Aku mengangguk. Ketika aku masuk ke balai desa itu,warga sudah penuh sesak di sana. Aku hanya kebagian di depan pintu yang memang sudah sesak itu, Ais telah lenyap dari pandanganku. Di depanku ada seorang lelaki tinggi besar. Aku minta ia bergeser sedikit. Ia menoleh dan aku terpana, Adil? Inilah kali pertama aku jumpa lagi dengannya. Dan aku masih melihat sinar mata yang teduh.

“Ila?” Aku mengganguk. “Sedang apa kau di sini? Sebaiknya kau kembali ke tempat menginapmu,”bisiknya.
“Kok bolehnya kamu atur-atur aku? Aku ada keperluan di sini.” Aku berusaha menyeruak ke dalam sesaknya orang-orang agar aku bisa mendengar percakapan di dalam ruang balai desa itu.

Kucari Ais. Tidak ada. Aku tidak banyak mengerti bahasa yang mereka gunakan. Aiiiisss, kemana dikau?
Tiba-tiba ada tangan menarikku mundur, aku hampir jatuh terhuyung. “Adil, kamu gila apa?”
“Ila, kapan kau berhenti menyebutku gila?”

Aku diam. “Ila, aku minta maaf atas kelakuanku di desa Ulu dulu. Aku memang gila. Lagipula, aku terlampau terbius dengan cerita Kapiten Cina yang tak tertembus itu! Paling tidak, saat itu aku bertemu dengan pewarisnya. Di sampan. Kau pikir aku pergi dari tepi sungai?”

Aku menepis tangannya yang masih memegang lengan kananku. Aku beranjak pergi. Adil mengikuti langkahku dari belakang dan menarik tanganku dan aku kini berhadapan dengannya.

“Ila, aku tidak ingin kau celaka kali ini. Sungguh. Kau kembalilah ke penginapanmu. Aku akan menjemputmu setengah jam lagi,” ia berbalik pergi.

Aku hanya bisa melongo sesaat dan kembali ke penginapanku. Memang tiada guna aku berkeras ke balai desa.

Adil menepati janjinya dan kami kini ada dalam pesawat membawa kami kembali ke Jakarta. Menurut Adil, inilah yang terbaik saat itu. Desa yang kami kunjungi itu sudah sangat tidak aman bagi pendatang. Aku sebenarnya tidak merasa yakin. Selama perjalanan, aku hanya menikmati tidurku.
***

Ceritaku tak berhenti di sana, namun satu yang ingin kubagi…Adil adalah Adil. Aku tidak pernah ingin menginginkan lebih dari itu.

Aku mengenalnya seperti mengenal seorang yang kukenal lama, Boni. Aku harus akui, lama kelamaan ada rasa kasih padanya. Entah apa dihatinya.

Buatku, aku ingin punya masa bersama seorang yang punya mimpi yang sama. Ah, izinkanlah aku bermimpi sekali lagi…
***
Pejompongan, 22 Mei 2004