Gado-gadoku

Nabiha Shahab

Gado-gado terenak di dunia cuma satu: di Jalan Menteng Kecil, Jakarta Pusat. Sejauh ingetan, ya yang namanya gado-gado enak cuma di situ jualnya. Bumbunya medok, manisnya pas, asinnya sedeng. Cuma porsinya banyak banget. Ukuran perut gue sih, satu porsi buat berdua tuh. Belum lagi pake telor rebus satu, pake emping condet yang pake udang, garing dan manis, segede piring besarnya. Aduh sedapnya…

Dan yang terpenting: gado-gado Menteng Kecil nggak kena pengaruh zaman ganti bayam dengan kangkung, dan pake ditambah jagung segala, apalagi wortel brrr… Ini gado-gado Betawi asli, walaupun yang jual orang Sunda. Kalau sekedar dibanding sama gado-gado Boplo, ya putus, ya ngga level. Genre-nya saja beda. Gado-gado Boplo itu gado-gado siram, kalau ini bener-bener genuine gado-gado ulek.

Sejak pindah dari Jalan Kemiri tahun 1993 lalu, aku agak jarang mampir ke Menteng Kecil untuk makan gado-gado. Kadang-kadang kangen juga, karena sampai saat ini belum ketemu gado-gado lain yang seenak itu. Tapi di suatu hari akhir Desember, gue mau ke Panti Trisula di daerah Menteng Raya. Berhubung waktu banyak, aku jalan kaki aja sambil cari makan siang.

Di sepanjang jalan banyak gerobak gado-gado. Ah males, kebayang gado-gado Menteng Kecil. Jum’at siang, jam satu. jamaah Masjid Cut Meutia baru turun. Jalanan penuh. Chaos. Hectic. Pasar kaget rapat banget. “Yak, dipilih dipilih dipilih…,” tukang kaos kaki teriak-teriak manggil pembeli. Tukang beker lagi kipas-kipas kepanasan di sebelahnya. Mobil merambat daripada digebuk pejalan kaki.

Hati jadi deg-degan; “aduh alamat bejubel neh, alamat kagak kebagian gado-gado neh…” Belok ke Jalan Menteng Kecil, degup jantung makin kenceng. Deretan warteg, masakan padang; penuh! Waduh!

Jalan terus, kios paling ujung. Papan nama dari kaca cermin di atas pintu ‘”Gado-gado Betawi.’ Ah, masih ada! Masih jualan. Masuk ke dalam, sepi.

“Gado-gado?” tanya penjualnya.
“Iye, sayuran aje ye.”
“Pedes?”
“Iye.”
“Minumnye ape?”
“Jeruk ade?”
“Ade.”
“Jeruk panas dah.”

Bingung, kok sepi ya? Ini kan gado-gado terenak di dunia?

Jam makan siang gini, mana di luar rame gitu. Tetangga masakan padang juga ngantri. Gue ambil posisi di ujung, sambil liat-liat sekeliling. Dekornya nggak banyak berubah. Gak lama air jeruknya datang. Srupuuut. Enak. Nggak terlalu manis, ngga berasa gula obat. Pulp-nya juga ngambang, artinya meres sendiri, bukan sirup.

Ngga lama gado-gadonya datang. Piringnya masih kayak dulu, rapih putih kayak piring ketering pesta kawinan. Porsinya lebih kecil, pas. Telur rebusnya cuma separuh, diiris tiga potong. Empingnya ukuran normal, sekitar lima senti diameternya, tapi rasanya sama, masih garing-manis.

Gado-gadonya juga masih pas asem-manis-asinnya. Masih pake bayem, masih medok bumbunya. What’s wrong with this picture? Kok sepi? Ini kan gado-gado terenak di dunia?! Sedih rasanya. Gimana kalau mereka terpaksa tutup karena kurang peminat? Ini kan GADO-GADO TERENAK DI DUNIA.

Jadi paraniod neh… Baru mau beranjak bayar dan pulang, sebelum tiga orang masuk. Sambil batuk-batuk.

“Tiga Bu.”
“Masih batuk?” Oh ternyata langganan.
“Obatin pake jeruk tuh.”
“Ah… udah pake segala macem gak sembuh-sembuh Bu.”

Mmm, langganan lama ternyata, akrab juga. Mungkin cuma langganan yang bisa mempertahankan tempat ini. Kata almarhum Oom gue, soal selera tidak untuk diperdebatkan, tapi ini… enak banget

“Berapa Bu?”
“Tadi makannya apa?”
“Gado-gado satu, jeruk satu.”
“Empat belas ribu.”

Nggak terlalu mahal. Untuk gado-gado terenak di dunia gue rela bayar lima puluh ribu, disuruh cuci piring sekalian juga mau. Gak bisa nahan senyum pas keluar dari sana. Thank God for small favour; warung gado-gado kesayangan gue belum tutup.