Feminis Ngetop dari Jakarta

Limantina Sihaloho

Apakah kau kenal perempuan itu?

Ia seorang feminis sepertimu. Pertama kali saya bertemu dengannya tanggal 12 April 2006 yang lalu, di rumah orang tua Jamil. Ia datang; adek bungsu Jamil mengalami kecelakaan sehari sebelumnya. Jamil dan adek laki-lakinya yang biasa nyetir mobil, pergi ke bandara. Perempuan itu minta dijemput.

Mereka baru tiba di rumah menjelang pukul 5:00 sore padahal Jamil dan adeknya pergi ke bandara pukul 11:00. Garuda yang ditumpangi perempuan itu, dari Polonia menuju Blang Bintang tertunda sampai 4 jam; harusnya mendarat menjelang pukul 12:00. Jamil dan adeknya menunggu dalam ketidakpastian. Perempuan itu hanya terus-menerus mengatakan, lewat telpon dan sms, tak lama lagi pesawatnya dari Medan akan berangkat.

Ibu, semua adek, dan ponakan Jamil serta saya ada di rumah sore itu, duduk di kamar di mana adek bungsu Jamil yang sakit terbaring. Jamil muncul dengan adeknya yang pergi dengannya ke bandara.

Di mana perempuan yang mereka jemput?

Sejenak kemudian, perempuan itu baru muncul dengan langkah-langkah kemayu. Badannya dibungkuk-bungkukkan. Wajahnya  tersipu. Senyumnya agak dipaksakan. Ia mengenakan pakaian hitam-hitam, blazer dipadu dengan celana panjang. Selendang sutra warna hitam diselempangkan begitu saja dilehernya. Lengan kirinya mengepit tas tangan warna hitam merk Christian Dior. Tangan kanannya menenteng dua kantong kertas berukuran besar berwarna emas dan perak. Di bagian luar masing-masing kantong itu tertulis  La Gormet dan Pan Dor. Aromanya merayapi hidung, bercampur dengan wangi lembut menggairahkan dari parfumnya; Victoria’s Secret edisi Pure Seduction.

Tingginnya 150-an cm. Montok. Wajahnya putih dan kenyal. Bibirnya dipolesi lipstik warna merah menyala. Hitam legam gemulai rambutnya; menjumbai ke punggung, sebagian ke dada. Bentuk dan panjang rambut simetris; ujung-ujung di bagian depan menyentuh kedua payudaranya.

Ia langsung menuju sudut ruangan.  Duduk sungkem di sana membelakangi kami, lalu berbicara lembut kepada adek Jamil yang terbaring sakit.

Lalu ia berbalik, menebar senyum simpatik-dukanya kepada kami. Tatapannya  seolah-olah mengatakan, ia sudah tahu segalanya.

Lalu ia berhenti di wajah saya. “Akhirnya kita ketemu juga ya Kris!” sapanya. 

Ia ulurkan tangan kanannya. Saya sambut. Tiba-tiba, ia menarik kembali tangannya ketika dilihatnya telapak tangan saya. Kami tak jadi bersalaman.
***
Awal Desember tahun lalu, Jamil di Jakarta selama empat hari. Kami baru saja selesai makan malam pada hari Jamil kembali dari Jakarta. Saya lihat Jamil sibuk baca dan kirim sms; bolak-balik menjawab telpon yang beruntun masuk. Saya menyibukkan diri membereskan piring-piring. Tinggal gelas-gelas yang belum saya angkat ketika Jamil memberikan hand phonenya pada saya.

“Halo?”  Paling salah satu kawan kami.
“Hallooo Mbaak Kristiiiiin…!” sambut suara kemayu seorang perempuan yang asing di telinga saya.
“Ini siapa ya?” Siapa pula ini? Menyapa saya dengan sapaan mbak? Saya kan Orang Batak. Apa ia pikir saya orang Jawa?
“Ini  Du ny a Mbaak…!”
“Du… ny… a…? Du ny a… Dunya siapa ya? Nama lengkapmu siapa? Kita pernah jumpa di mana?”

Saya berusaha mengingat-ingat: Siapa gerangan perempuan yang saya kenal bernama Dunya? Teman kelas saya dan Jamil, dulu, bernama  Deo Nya, lengkapnya Deo Nya Sagala Raja, dari Tuktuk, Pulau Samosir.  Deo Nya biasa kami panggil Denia.

“Aaaa…eee…aaa…eeee…”, Ini bukan Denia, koq gelagapan?
“Be…be… belum… Mbak! Kita belum pernah ketemu. Aaa, aaaakuu… kemarin ikut Bang Jaaamil ke tempat Mbak Neelly. Aku Jawioralestari Pramodhardunyawi Mbak. Aku biasa dipanggil Dunya.”
“Ooohhh…! Begitu…! Bagus benar namamu Du ny a!”

Perempuan ini siapanya Jamil koq ia bisa ikut ke tempat Nelly adek saya? Apakah ia masih ada hubungan keluarga dengan Jamil?

“Addduuuhh Mbak Kristiiin…! Mbak Nelly ramah ya orangnya…”
“Oh ya?”
“Kapan ke Jakarta Mbak? Kalau ke Jakarta, maukan nginap di rumah aku?”
“Rumahmu di mana   Du ny a ?”
“Cibubuk. Cibubuk Mbak.”
“Cibubuk itu jauh nggak dari Jl. Warung Buncit Raya no. 207?  Hanya itu alamat yang saya tahu. Saya belum pernah ke Jakarta. Katanya di situ enak ya?”
“Iyaa Mbak. Nanti kalau ke Jakarta, kontak aku ya. Supirku bisa jemput koq. Nanti Mbak Kristin bisa kami antar jalan-jalan. Di sini banyak tempat hiburan dan mall yang bagus-bagus looo Mbak!”
“Oh ya? Asyiik doong!”
“Iyaaaa Mbak. Kapan mau ke sini?”
“Lima tahun lagilah. Terimakasih tawarannya ya Du ny a!  Mau bicara lagi dengan Jamil?”
“Iyaaa Mbak.”

Dua bulan kemudian, Jamil ke Jakarta lagi.  Sekembalinya dari Jakarta, saat kami baru saja selesai makan malam, perempuan bernama si Dunya itu menelpon lagi. Saya mengangkat piring-piring kotor ke belakang dengan segera, menghindar jangan sampai perempuan itu mau bicara lagi dengan saya. Saya masuk kamar. Belum lama saya di kamar, Jamil memanggil-manggil. Saya pura-pura tuli.

Jamil datang ke kamar.

“Kris…! Untukmu!”
“Siapaa?” 
“Dunya!”

Untung Tochin, adek perempuan saya yang paling kecil ada. Saya mencarinya ke belakang. Dia sedang menghalau-halau sebagian anak bebek yang belum masuk kandang. Saya serahkan hand phone Jamil  padanya tanpa mengatakan apapun.

“Bilang sama si D u n y a itu kalau yang tadi bicara dengannya adalah Tochin! Apa sih maksud si Dunya itu?” sembur saya pada Jamil setelah melemparkan hand phonenya.

Si Dunya itu menelpon dari tengah-tengah kebisingan entah di sudut mana di Jakarta. Tochin tidak bisa mendengarkan dengan jelas apa yang diomongkannya karena kebisingan itu. Belum lagi ia berbicara sambil tertawa-tawa. Padahal, kata Tochin, tidak ada yang lucu sama sekali. Cukup waraskah si Dunya itu?

Saya bertanya pada Jamil, apa pekerjaan perempuan itu. Jamil bilang, perempuan itu bekerja di sebuah lembaga penelitian besar dan terkenal di Jakarta, di Jalan Gatot Subadra. Ia mengepalai pusat penelitian dan pengembangan di sana. Ia sangat aktif di berbagai organisasi di dalam dan luar negeri. Ia seorang feminis yang sangat ngetop.

Kau tahu kan, pengetahuan saya tentang feminisme sangat sedikit. Maklumlah, saya hanya guru TK. Yang saya tahu, kalau seorang perempuan disebut feminis, itu berarti orang tersebut adalah orang yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Bukan malah menggoda atau merebut suami/calon suami atau kekasih atau malah menindas sesamanya perempuan. Benar nggak gitu? Kalau salah, perbaiki ya. 

Saya belum baca kedua buku yang kau kirimkan tahun lalu: Filsafat Berperspektif Feminis dan Feminis Laki-Laki. Mudah-mudahan kau tidak marah. Pernah saya coba baca tetapi kepala saya langsung nyut-nyutan. 

Tiga tahun saya di kampung sebelum mengajar di TK Rohana & Rohani.  Selama di kampung, di Hyang Urung Panay, saya jarang baca. Waktu saya tersita di ladang. Menanam dan mengurus tomat, cabe, terong, brokoli, wortel, kacang panjang, kacang merah, buncis, sawi, bayam, kangkung, kopi, ubi jalar, ketela pohon, semangka, melon, pepaya dan pisang. Pulang dari ladang, saya harus masak dan membersihkan rumah. Malam, saya benar-benar sudah lelah.

Andaipun saya ada kemauan untuk membaca, tak ada buku kecuali kedua buku yang kau kirimkan. Memang ada Alkitab tetapi saya tidak begitu mengerti isinya.  Tak ada pendeta di kampung kami. Pendeta hanya ada di ibukota kecamatan. Rumahnya jauh. Hanya datang ke kampung kami sekali dalam dua bulan. Biasanya pada hari Minggu dan beliau hampir selalu  segera pulang usai kebaktian.

Walaupun tidak begitu mengerti Alkitab, kadang-kadang saya baca juga, terutama di Minggu sore. Kami tak bekerja pada hari Minggu sebab Tuhan meminta agar hari itu dikuduskan untukNya.

Saya tahu kau tak suka Alkitab sebab kau bilang Alkitab itu ditulis laki-laki. Kaupun tak suka pada Tuhan. Kau bilang, Tuhan itu juga laki-laki.

Saya suka Kidung Agung. Pernahkah kau baca kitab itu?

…Kiranya dia mencium aku dengan kecupan!
Karena cintanya lebih nikmat daripada buah rambutan….
Mari kekasihku kita pergi ke padang,
bermalam di antara bunga-bunga bakung…
Taruhlah aku seperti materai dalam hatimu,
seperti materai pada lenganmu,
karena cinta kuat seperti maut,
kegairahan gigih seperti dunia orang mati,
nyalanya adalah nyala api,
seperti nyala api Tuhan…!
Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta,
sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya.
Sekalipun orang memberi segala harta benda rumahnya
untuk cinta, namun ia pasti akan dihina...

***
Sebelum adek Jamil kecelakaan tanggal 11 April yang lalu, seperti biasa, Jamil dan saya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Saya berangkat kerja pukul 7:30. Jamil menelpon saat saya sedang mempersiapkan kelas. Tidak saya angkat. Kadang dia memang suka telpon walau tak ada hal yang perlu. Saya mematikan bunyi dering hand phone, seperti biasanya kalau saya mengajar. Dari rumah, saya agak sewot pada Jamil, soalnya, malam sebelumnya, dia beli sepatu yang harganya mahal buat saya tetapi kekecilan. Dia kira, kaki saya sekecil yang dia bayangkan. Memangnya saya putri Cina?

Di sekolah, tiba-tiba listrik padam. Semakin sering saja listrik padam. Kipas angin di ruangan tidak bisa berfungsi. Saya bawa anak-anak di kelas saya ke taman karena di kelas agak panas.  Untung di  taman, ada kursi-kursi panjang sehingga mereka masih bisa mewarnai di atas kursi-kursi itu sebelum tiba acara bermain.

Si Leong! Ya ampuuun! Anak yang satu ini memang!  Dia mau meminjam crayon merah Samuel tetapi Samuel masih sedang memakai crayon miliknya mewarnai buah tomat dalam kertas gambarnya. Saya membujuk si Leong agar dia bersabar sampai Samuel selesai.

Si Leong ngotot. Dia bilang, dia juga mau mewarnai pepaya dalam kertas gambarnya. Saya bujuk dia dengan mengatakan bahwa pepayanya itu bisa diwarnai dengan crayon warna oranyenya tapi dia ngotot bahwa dia mau pepayanya berwarna merah.

Di kursi yang lain, salah seorang murid perempuana, Namora, bertanya apakah terong di kertas gambarnya diwarnai ungu atau hijau sebab waktu dia ikut ibunya ke pasar, dia lihat ibunya membeli terong warna ungu dan hijau. Karena gambar terong dalam kertasnya hanya satu, dia agak bingung, apakah sebaiknya diberi warna hijau atau ungu atau dua-duanya.

Saat saya mendengarkan Namora itulah, si Leong merampas crayon merah milik Samuel lalu melemparkan crayon itu ke dalam kolam ikan. Samuel menangis. Saya membujuk Samuel agar berhenti menangis lalu menyuruh si Leong minta maaf padanya. Juga saya perlu memberi hukuman khusus pada si Leong. Dia harus membeli dua lusin crayon dan dua buah crayon warna merah dari dua lusin tersebut akan menjadi milik Samuel sedangkan sisanya akan menjadi milik kelas. Si Leong tidak boleh jajan selama satu Minggu sebab uang jajannya harus dipakai untuk membeli dua lusin crayon tersebut.

Kelas saya bubar pukul 12:30 siang. Saya memeriksa hand-phone, ada tujuh missed calls dari Jamil. Saya kirim pesan singkat, bertanya ada apa. Dia telpon. Rupanya, adeknya di kampung baru mengalami kecelakaan. Parah.

Malam itu juga, saya dan Jamil berangkat ke kampungnya di Dainong, Imaroha. Kami tiba di rumah keesokan harinya sekitar pukul 10:00 pagi.  Ada banyak tetangga yang sedang membesuk adek Jamil yang baru saja dibawa pulang dari rumah sakit. Tangan kanannya digibs karena tulangnya patah. Wajahnya memar. Dokter mengatakan, dia sudah bisa dibawa pulang ke rumah.

Satu jam kemudian, Jamil pamit pada Ibunya yang sedang duduk di tengah kerumuman para pembesuk. Wajah Jamil keriting. Saya heran. Padahal, satu jam sebelumnya, saat menunggu adeknya menjemput kami di terminal, dia masih ceria bercerita tentang God Must Be Crazy. Kami masih tertawa terbahak-bahak.

“Ke mana?” tanya saya pada Ibu Jamil yang duduk di samping saya.
“Bandara.”
“Ngapain?” 
“Si Dunnya! Biasa! Xxxxx!” kata Ibu Jamil berbisik.

Saya kaget. Si Dunya datang ke sini dari Jakarta?

Tiga bulan yang lalu, saya baru tahu dari Ibu Jamil bahwa si Dunya itu janda,  usianya 12 tahun lebih tua dari Jamil. Anak si Dunya yang paling besar seusia dengan adek Jamil yang paling kecil. Saya tidak tanya kenapa ia menjanda. Bayangan saya, suaminya sudah di surga.

Saya heran dengan tingkah laku si Dunya itu. Untuk apa ia ikut-ikut Jamil ke tempat Nelly adek saya? Ngapain juga ia perlu datang ke Dainong dari Jakarta? Naik Garuda kelas VIP bolak-balik. Apa tidak mahal ya? adek Jamil kan belum mati. Selama hampir satu jam di tempat Nelly, di Jakarta, ia hanya plonga-plongo saat Jamil dan Nelly memilih-milih beberapa buku bacaan anak-anak yang perlu dibawa Jamil ke Medan. Di rumah orang tua Jamil, ia juga tidak ngapa-ngapain. Malah bikin repot Jamil dan adeknya karena harus nunggu dengan tidak pasti selama berjam-jam di bandara.

Di Jakarta, kedua kali ke tempat Nelly, si Dunya ngotot agar Nelly tak usah ikut mengantarkan mereka sampai ke mobil miliknya tetapi adek saya kurang enak hati, soalnya,  barang-barang bawaan Jamil lumayan berat. Pertama kali si Dunya ikut Jamil ke sana, Nelly sedang flu berat. Jadi Nelly setuju dengan si Dunya, tak usah ikut mengantar sampai ke mobilnya.

Nelly kaget begitu mereka sudah sampai di dekat mobil si Dunya. Seorang anak kecil menghambur keluar dari dalam mobil. Nelly mengira, anak itu anak supir si Dunya, soalnya tidak begitu mirip dengan si Dunya. Anak itu kurang terurus jika dibandingkan dengan si Dunya yang montok dan parlente, begitu kata Nelly. Rupanya, anak itu anaknya si Dunya, soalnya, setelah anak itu menghambur, Nelly dengar anak itu berteriak pada si Dunya, “Maaa…!”

Di rumah Jamil, si Dunya banyak bercerita pada saya tentang feminisme, Marxisme, sosialisme, poskolonialisme, kapitalisme, militerisme, materialisme,… juga tentang anak-anaknya.

“Waktu itu anaknya yang laki koq ditinggal dalam mobil mbak? Koq nggak dibawa masuk ke tempat Nelly? Pertama kali ke sana, Nelly nggak bilang ya, kalau dia guru TK yang senang sama anak-anak?” tanya saya.
Si Dunya tertawa. “Anakku semua perempuan Kris. Ya…! Waktu itu anakku protes looo.  Bilangnya gini: ‘Mam….! Kenapa tadi Wedi nggak boleh ikut ke tempat Tante Nelly, Mam?’ ”
“Oooh…perempuan toh! Saya kira laki. Pasti orangnya cantik seperti ibunya! Berapa umurnya?”

Senyumnya mengembang. “Makasih. 10 tahun.”

Apakah supirnya yang berusia 40-an itu malaikat? Ia tinggalkan si Wedi, anak perempuannya itu di dalam mobil dengan supir itu sementara ia dengan laki-laki yang bukan suaminya, bukan saudaranya nongkrong di tempat Nelly. Tadinya saya kira anaknya itu laki-laki, berusia lima tahunan. Nelly hanya bilang, anaknya yang ditinggal dalam mobil itu masih kecil. Dalam pikiran saya, anak itu laki-laki karena saya yakin, supirnya si Dunya itu juga laki-laki.

“Suamimu sudah lama meninggal ya?” tanya saya setelah ia bercerita tentang prestasi-prestasi anak-anaknya di sekolah dan bagaimana sibuknya ia mengurus mereka yang sedang beranjak remaja, di samping pekerjaannya yang segudang.
“Nnng…nggaaak! Kami baru bercerai.”

Saya kaget. Sebelumnya saya pikir, ia menjanda karena suaminya telah di surga.

“Mantanku akan segera menikah lagi. Sudah ada calonnya.”

Saya tanya apakah dulu mereka dijodohkan. Ia bilang, tidak. Mantan suaminya itu dulu pilihannya sendiri dan sebaliknya.

“Kalau pilihan sendiri, koq bisa bercerai?”
“Komunikasi. Komunikasi adalah kata kunci dalam pernikahan Kris.  Komunikasi kami sudah lama mati. Masalah-masalah menumpuk dan tidak terpecahkan lagi.”

Saya manggut-manggut.

“Beda dengan si Abang ini.” Maksudnya Jamil yang saat itu sedang tengkurap di samping kami, diurut Ibu, tetangga sebelah rumah. “Komunikasiku dengan si Abang ini sangat bagus.  Kami dua sangat terbuka. Tak ada yang kami tutup-tutupi. Kalau ada masalah, walaupun sangat sepele, langsung  kami bicarakan dengan tuntas. Si Abang ini 180 derajat beda dengan mantan suamiku. Aku dan Abang ini benar-benar sangat cocok deh Kris.”

Saya manggut-manggut.

Sudah enam tahun lebih saya kenal Jamil, masih juga kadang nggak nyambung. Perempuan ini baru kenal Jamil sekitar enam bulan, mengaku komunikasi antara ia dan Jamil sangat bagus. Jamil di Aceh, perempuan ini di Jakarta. Ilmu dan alat komunikasi macam apa yang ia pakai ya? Tiga bulan yang lalu, Ibu Jamil bilang, “Ke WC pun Jamil ditelepon sama si Dunnya itu…  Jamil xxxxxxx-xxxxx wanita itu!” Ya, masalah kan tidak ada matanya, bisa nongol kapan saja dia mau. Masuk akal kalau si Jamil ditelepon si Dunya saat Jamil di WC. Kan si Dunya bilang barusan, kalau ada masalah walaupun sepele, saat itu juga langsung mereka bicarakan dengan tuntas.  

“Kedua anakku juga sudah sangat akrab dengan si Abang ini”, lanjutnya menghentikan lamunan saya, “Dua hari yang lalu, aku marahan sama anakku yang paling besar, Kendis. Waddduuh Kris…! Langsung deh anakku ambil hand phonenya ngadu sama si Abang ini!”

Kalau saya jadi anaknya, mau nggak ya ngadu sama pacar baru ibu saya kalau bapak saya masih hidup? Walaupun bapak saya Gendoruwo, apakah tidak lebih baik saya ngadu sama Gendoruwo itu?

“Siapa tadi nama anaknya? Kedengarannya mirip nama tokoh hebat dalam pewayangan ya? Berapa umurnya?”
“Kendis. 12 tahun.” Ia tersenyum lagi.

Lalu saya bertanya kapan ia akan menikah dengan Jamil. Saya lihat ia sudah memposisikan dirinya sebagai calon tunggal pemilik Jamil.

“Tergantung si Abbaang ini…” ia melirik manja pada Jamil. “Kalau bisa sih secepatnya! Ya kan Sayyaang ya…!”

Nampaknya ia sudah kebelet betul untuk segera kawin-mawin. Apakah ia sudah tak tahan lagi dan takut disambar menopaus? Usianya jalan 43.

Ia mengundang saya ke pesta pernikahannya. “Nanti dattang loo ya Kris!” ia menoleh manja ke arah Jamil dan dengan suara kemayunya, “Ya Sayyaang ya…! Kristin nanti boleh datang kan…?”

Jamil tidak menoleh. Menyahut batu; menyahutlah Jamil.

Saya harus bagaimana coba? Perempuan itu dari keluarga kaya raya. Bapak, mertua, om dan semua saudara laki-lakinya adalah tentara dan pejabat-pejabat penting di jajaran militer.

Ia bilang, di samping sebagai feminis, ia juga pengamat militer. Ia pakar tentang Aceh dan sering bolak-balik ke provinsi ini sebelum dan sesudah Tsunami. Ia telah menulis ratusan buku, ribuan artikel untuk harian-harian penting di dalam dan luar negeri.

Fasih berbicara dan menulis dalam setidaknya sepuluh bahasa yang banyak dipakai dalam pertemuan-pertemuan internasional: Inggris, Francis, Jerman, Spanyol, Portugal, Belanda, Rusia, Jepang, Cina, dan Arab. Sementara saya, kau tahu kan, hanya tahu Bahasa Batak dan Bahasa Indonesia, itupun masih berpasir-pasir.

Minimal sekali dalam sebulan, ia harus ke luar negeri – yang paling sering ke Amerika, Eropah Barat, dan Jepang. Berceramah tentang kondisi dan perkembangan ekonomi, sosial, politik, budaya, gerakan feminis, dan militerisme di Indonesia.

Tentang profesinya sebagai pengamat militer, ia bilang, kolega-koleganya, termasuk juga para wartawan cetak, radio dan televisi papan atas sering memujinya dengan mengatakan, “Luar biasa! Kita punya seorang pengamat militer yang hebat. Wanita satu-satunya!  Dari keluarga militer lagi!”

Ia bilang, ia juga suka digoda, “Apa tidak marah bapak, mertua, om dan semua saudara laki-laki Anda kalau mereka diamat-amati?”

Waktu ia bercerita tentang militerisme, hand phonenya berdering.

“Oh…! Brazdilovegun Brinkmenn. Kolega Bapakku di Pentagon.” Ia berdiri setelah mengambil hand phone dari dalam tasnya. “Sebentar ya Kris. Nampaknya Bapakku sangat sibuk.”

Ia lalu berbicara dalam bahasa yang sama sekali tidak saya mengerti.

Saya pergi ke kamar mandi, sudah agak lama saya tahan-tahan.

Begitu saya keluar dari kamar mandi, Jamil ada di depan pintu. Dia tidak masuk ke kamar mandi seperti yang saya duga tapi menarik tangan saya ke dalam kamar adeknya. Wajah saya langsung keriting.  Dia menarik saya seperti menarik kambing. Ditutupnya pintu dengan pelan lalu berbisik di telinga saya: “Saya baru tahu kalau ia datang ke sini pas ia dah nyampe di Medan. Ia tidak bilang kalau ia mau datang.” Cengkraman tangannya semakin kuat. “Bisa lepaskan tangan saya?” dongak saya ke wajah bersalahnya.  “Kris maafkan saya ya…”
***

Hari itu juga, si Dunya kembali ke Jakarta. Tiga jam ia di rumah Jamil.

“Addduuuh Mammm…! Sayang sekali…! Dunnya nggak bisa nginap. Dunnya harus balik ke Jakarta. Dunnya sangat sibuk. Dunnya nggak bisa tinggalkan pekerjaan Dunnya Mammi…!” kata perempuan itu pada Ibu Jamil.

Mam..Mami? Luar biasa feminis dan pengamat militer yang satu ini. Ibu Jamil hanya 7 tahun lebih tua darinya.

“Oooh…,” sahut Ibu Jamil pada perempuan yang memangilnya Mammi itu.

Kesibukannya pastilah luar biasa. Soalnya, piring berisi nasi dan laukpun dibawanya ke dalam mobil.

“Aku makan di mobil aja ya Abbaang…” pelasnya kemayu pada Jamil setelah Jamil mengatakan dengan nada datar; “Makan dulu aja sebelum berangkat!”

“Sayyaang…! Aku makan di mobil aja Yaang…! Takut telat.  Yaang…! Pesawatku itu kan pesawat terakhir. Malam ini aku harus sampai di Jakarta loo.” Suara dan tatapan kemayunya pada Jamil tambah memelas.
“Masih ada cukup waktu!” imbuh Jamil datar.
“Sayyaang…! Bandara jauh. Kalo telat gimana? Yaang…! Aku nggak mau ambil resiko. Tahu kan…! Besok,  8:00 pagi aku ketemu Menteri Kehakiman; 10:00 dengan Menteri Tenaga Kerja; 4:00 sore dengan Menteri Pertahanan; 7:00 malam  presentasi di Senayan. Malam, aku harus bantu  Kendis  dan Wedi kerjakan PR. Terus, baca dongeng buat anak-anak. Yang…? Kapan sih izin pindah kerjamu ke Jakarta keluar? Wedi udah nggak sabaran looo. Sering nanya ke aku: ‘Mammi…! Kappan Om Jamil jadi Pappiku Mam?’ ” suara kemayunya yang manja semakin memelas, mulutnya nyerocos tanpa henti, tatapannya mesra penuh makna; nyaris tak peduli pada kami semua, seolah-olah yang ada hanya mereka berdua.

Dengan piring berisi nasi dan lauk di tangan kanan, tas di tangan kiri, perempuan itu masuk ke dalam kamar adek Jamil, di samping ruang makan, di mana saya duduk sendirian. Pura-pura membaca buku Jamil yang sebenarnya tidak saya mengerti karena ditulis dalam bahasa Inggris, The Poems of Hamzah Fansuri. Buku itu kebetulan tergeletak di atas meja. Pintu kamar saat itu terbuka.

“Kristiiin…! Addduuuh…! Senang sekali looo ketemu denganmu. Aku balik dulu ke Jakarta ya Kriiis! Jadi datang lo ya ke pesta nikah kami nanti…” ia mendekati wajah saya setelah saya berdiri, lalu menyodorkan pipi kanannya.
“Oh…! Sekarang? Ayo-ayo…! Saya antar ke depan ya!” buru-buru saya menarik mundur wajah saya darinya dan segera keluar dari kamar.

Saya tak mau disentuh. Wajah putihnya yang bersinar membuat mata saya silau. Bibirnya yang merah menyala membuat saya kepanasan. 

Ibu Jamil menyuruh saya ikut ke bandara. Sebelumnya, Ibu itu juga menyuruh saya ikut menjemput. Saya tak mau ikut menjemput, apalagi mengantar. Bisa-bisa saya buta karena wajahnya, terbakar karena bibirnya.

Saya juga tidak menyalaminya. Saya segera masuk ke dalam rumah saat ia hampir selesai mengenakan sepatunya yang mengkilat. Jenggel warna hitam. Sempurna untuk tubuh Jakartanya yang aduhai. Ia nampak seperti Tamara Helsinki.

Tiga jam sebelumnya, setelah perempuan itu baru saja tiba di rumah, saya sedang makan. Ia mengulurkan tangannya. Tangan saya yang berisi remah-remah nasi dan lauk saya ulurkan juga padanya. Ia tak mau. Ya sudah. Saya kan bukan orang Metropolitan yang biasa makan pakai sendok dan garpu. ***
(Medan, Mei 2006).