Asing, Atas Nama Pendidikan

Ronny P. Sasmita

Betapa ia sangat menyadari usianya tidak lagi bisa memaksa putra tunggalnya untuk ikut –meskipun terpaksa– anjuran, atau perintahnya sekalipun. Raut wajahnya tinggal sisa guratan simbolik, berupa tulisan-tulisan pengalaman hidup yang mempribadi, yang pantas dijadikan bahan pertimbangan berharga dan narasi nostalgis bagi Mario agar tidak menyia-nyiakan ayahnya pada usia renta. Ia menerawang jauh entah ke masa kapan dan dimana.

Rambut Sumardi sudah seperti kebun yang ditinggal penggarapnya. Nyaris tidak ada lagi garis-garis hitam di kepala, juga matanya tak bisa lagi diandalkan dan mesti dipapah jika berjalan lantaran sering menabrak meja tamu atau daun pintu takala keluar rumah.

Tangan yang dulu cukup perkasa untuk mengayunkan ikat pinggang ke betis Mario –jika si anak dicandra nakal, jahil, tidak patuh, dan seterusnya– kini terkulai seperti kusen lapuk dimakan rayap yang tak sanggup lagi menyangga atap pondok di kebun belakang rumah, yang juga menandakan  kekuatan badaniah yang sudah susut nyaris seratus persen.

“Ya ampun”, Sumardi berkicau pelan, “apakah ini yang menjadi mangsa empuk perombak  bernama kematian?”
“Tidak sekarang, belum” gumamnya lirih, nyaris tak tersapa angin, tak terdengar orang lain.

Dada dan hatinya terus berkecamuk; aku masih ingin hidup, masih ingin memperdengarkan narasi-narasi historisku pada Marioku, masih banyak yang ingin kuceritakan padanya. Hatinya terus saja bergumam seperti itu, seolah menempuh perjuangan panjang untuk meyakinkan dirinya bahwa dua mata yang menempel dibawah jidad akan selalu mampu menemui matahari esok pagi, esok paginya lagi, dan esok paginya lagi.

Anak tunggalku belum cukup berbekal hidup hanya dengan kurikulum nasional di bangku reot sekolah dan ruang masam perguruan tinggi. Belum cukup, itu bukan senjata ampuh untuk hidup sebagai khalifah; “sangat tidak cukup!” Tapi kapan kau bisa menyisakan waktu untuk menjadikan bapakmu ini sebagai sumber ilmu hidup, “sekali saja sebelum tubuh renta ini berkalang tanah?”

Sumardi melempar pertanyaan pada anaknya, tapi mulut dan pandangan tertuju pada angin yang tak terlihat. Rautnya mulai tampak menyalahkan, entah menyalahkan diri sendiri, anaknya, atau lingkungan pendidikan yang nyaris telah menculik total putranya dari ruang-ruang rumah yang sudah kosong melompong atas presensi keceriaan seorang anak. Dia pun tak tahu pasti.

Tapi jelas kerinduan dan hasrat ingin mewariskan sesuatu yang berharga pada Mario telah menggerogoti masa tuanya. Hasrat yang tinggal sebagai khayalan kelas tinggi semenjak anaknya mulai jarang di rumah akibat sibuk dengan kelas formal dan ekstrakurikuler, sampai penculikan fisik total ketika Mario mesti terbang jauh ke Pulau Jawa, nimbrung perguruan tinggi negeri prestisius di Bogor.
***

Istri Sumardi, Mimin, yang sedari tadi mulai tidak konsentrasi lagi menjalani takdirnya di dapur, lantaran melihat sang suami mulai tampak berbeda pagi itu, akhirnya  ingin juga memecah suasana. Takut kalau-kalau suaminya terlalu melibatkan diri dalam soal berat-berat, padahal usianya tidak akan mengizinkan. Apalagi, sudah dua kali Mimin menyapa suaminya dari dapur –agar menyeriput kopi segera sebelum rutinitas pagi itu dingin– namun tak berjawab. Wanita, yang nyaris setengah abad menemani Sumardi membuat jejak-jejak hidupnya, jadi khawatir.

            “Pak, kopinya kenapa belum diminum juga?”
            “Nanti kopinya keburu dingin lho, ibu lagi yang kena salah”, Mimin menggelontorkan pertanyaan dan canda kepada Sumardi.
            “Iya bu, Nanti juga bapak minum”, Sumardi bersuara setelah menghimpun tenaga ekstra untuk menyembunyikan kekagetannya pada wanita yang benar-benar telah menyatu secara utuh dengan dirinya.
            “Cuma soal kopi dingin, mana mungkin bapak menyalahkan ibu,” Sumardi mencegah istrinya agar tidak menelusup ke dalam kepala dan jantungnya, lalu mengetahui apa yang sedang bergejolak dalam raga yang renta itu.

Upaya Sumardi untuk sembunyi dari pembacaan istrinya lebih sering gagal. Sumardi sudah mahfum betul, betapa setiap kali gonjang ganjing psikologis yang dialaminya bisa dengan gampang ditangkap istrinya, persis seperti membaca tarif produk-produk kebutuhan hidup yang dipajang-pertontonkan dalam mini-market. Kemengertian Mimin itu tak pernah pula dia transfer ke dalam tindakan yang memberikan istrinya –sebagai belahan yang paling tahu apa yang dipikirkan dan dirasakan suaminya– hak untuk menceramahi, seperti mengajarkan cara makan benar pada si anak tunggal sekian tahun lalu.

Mimin tidak pernah berbuat seperti itu pada suaminya. Kepahamannya pada ruang-ruang terdalam sosok suami cuma sekedar melahirkan tindakan dan sapaan-sapaan kasih sayang, yang membuat sang suami semakin tidak terbebani oleh soal yang sedang dipikirkan. Mimin selalu membuat Sumardi merasa tetap berhak untuk mendapatkan jatah hidup berpuluh-puluh tahun lagi.

Seperti biasa, setelah Mimin bertanya dan dijawab dengan berkelit plus bohong oleh Sumardi –yang selalu dilecehkannya sebagai cara bersembunyi yang konyol– dia pun pun kembali ke area kekuasaannya untuk bergelimang kembali dengan menu-menu semi tradisional, setelah mengusap-usap bahu Sumardi, ditambah sedikit ciuman di rambut bagian samping kiri, dan berakhir dengan membantu mengantarkan kopi  yang sudah tergeletak di pelataran meja ruang depan sedari tadi ke mulut Sumardi.

Sumardi menyeriput dan merasa terbebas setelah istrinya parkir kembali ke dapur.

“Sungguh, tak ada niat ku untuk bersembunyi dari incaranmu, istriku”, ucap Sumardi pelan.

Ya, dia memang bukan sedang berusaha menyembunyikan perasaan pada Mimin, tapi terus menerus berusaha untuk tidak memelintir makna kesuksesan Mario yang telah terlanjur bermakna tok kesuksesan oleh istrinya. Dia tak mau sedikit pun melihat wajah istrinya yang jujur dan polos itu dipersunting oleh kemurungan, diperkosa oleh aliran panas air mata, dan dibejati oleh kondisi tubuh yang lemas, jika seandainya Sumardi bercerita tentang perspektif lain –yang mungkin aneh– dalam membaca fakta kesuksesan Mario. Perspektif ini pula  yang selama ini nyaris membuatnya terbingungkan, serba salah, bahkan hampir menyesaki semua rongga-rongga jiwanya.

“Maafkan aku istriku”, pikir Sumardi sedih.
***

Bunyi desisan minyak goreng yang melahap rongga-rongga daging ikan laut mulai terdengar dari pelataran dapur. pertanda istrinya mulai kembali ke dunianya. Kesepian dan kesendirian kembali menyambangi Sumardi, seolah tak peduli dengan percikan ikan-ikan yang digoreng atau desingan knalpot motor  tukang ojek yang lalu lalang di depan rumah.

Pikirannya mulai menerobos sekat-sekat waktu  yang terlanjur dipatok-patok oleh angka dalam kalender; tapi tak masalah karena pikiran, perasaan, dan memori Sumardi tak pernah merasa dibatasi hal-hal semacam itu. Ingatannya terus bergerilya mencari titik-titik sejarah anaknya yang berharga di masa lalu. Dalam sekejap saja, senyum mulai terlihat di wajah tua itu. Tak sampai sumbringah, tapi senyum yang agak pedih, yang tampak mirip senyum terakhir para pengabar kitab yang sebelum dicabut hak hidupnya oleh malaikat maut terlebih dahulu mendapat wangsit bahwa dia akan masuk surga; sebatas wangsit entah dari tuhan atau mungkin dari setan.

Sumardi mulai menemukan kembali sebuah kekaguman dalam dirinya terhadap sang anak tunggal di masa lalu. Dia teringat kecerdasan Mario, di bangku sekolah atau di lingkungan pergaulan sehari-hari. Mario suka main perang-perangan, dan membuat berbagai jenis senjata dari bahan pelepah pisang adalah salah satu kegemaran kreatifnya. Anak-anak tetangga hanya bisa mengikuti perintah Mario, Mario memerintahkan kawan-kawannya untuk jadi penjahat sedang Mario pahlawannya, dan semua menurut seolah mendengar instruksi sang fuhrer.

“Mario Mario”, Mulut Sumardi bergemericik, memanggil putra kesayangannya yang baru saja bertemu dalam dimensi waktu berbeda. Ia tersenyum, membuka sedikit gigi-gigi depan. Mungkin terlalu indah kenangan saat Mario belum terjamah sekolah. Anaknya polos tapi tampan, yang membahagiakan semua orang.

Senyum Sumardi hilang sedikit, penampakan mukanya marah bercampur sedih dan setetes bahagia terselip diantaranya, tapi nyaris mengap-mengap. Ingatannya membentang masa-masa anaknya masuk sekolah, terutama saat-saat Mario mulai  absen dari rumah dan lingkungan bermain. Kecerdasan Mario yang mulai diakui oleh para guru SD, membuar Sumardi sangat bangga, sangat bahagia, sama seperti guru-guru yang ikut bangga dan juga ikut bahagia.

Walau sejak saat itu Mario mulai bukan lagi menjadi milik Sumardi dan Mimin, Sumardi dengan sekejap melupakan kesedihan rasa kehilangan Mario dan bekerja keras mengumpulkan uang demi kelanjutan pendidikan anaknya. Itu tekadnya.

Waktu itu, Sumardi ikut pandangan umum bahwa jika anaknya ingin sukses maka mesti terus bersekolah, sampai nimbrung di bangku kuliah, lalu mandapatkan pekerjaan dalam kondisi otak yang sudah tersarjanakan. Ia tak ingin putranya menjadi kuli atau guru-guru di daerah pedalaman, lantaran tidak ada lagi lapangan pekerjaan lainnya yang menampung.

Sebagai guru SD, Sumardi tak bisa menjanjikan pendapatan memadai untuk terus memupuk harapan. Maka sawah warisan orang tua –yang hak garapnya diberikan pada orang lain, kembali diraih Sumardi. Dan ia pun beralih jadi petani sepulang mengajar. Dan semakin tinggi pendidikan, semakin tinggi pula biaya. “Pendidikan itu memang mahal”, ucap Sumardi.

Dia pun memutar otak, mencoba memelihara sapi lewat kerja sama dengan KUD. Sapi usia 6 bulan dirawat sampai dua tahun, dan dijual. Penggemukan sapi ini tidak mengganggu dua aktifitas sebelumnya. Sepulang sekolah Sumardi pergi ke sawah sambil membawa sapi peliharaan, dan sepulang dari sawah, perut sapinya sudah kenyang. Tak begitu memberatkan memang, pikir Sumardi membayangkan cita-citanya.

Nyatanya semakin tinggi pendidikan, semakin tinggi biayanya dan semakin banyak yang tidak dimengertinya. Sepulang dari sawah dan mengandangkan sapi, ia mulai memanfaatkan motor  Astrea delapan ratusnya; Sumardi jadi tukang ojek jika malam menyapa kampungnya.

Kepercayaan yang mendalam pada lembaga pendidikan telah membuat Sumardi habis-habisan tanpa pamrih, dan sekaligus pula sebagai penghargaan atas Mario sebagai pribadi otonom yang mengerti kehendak sendiri, tanpa intervensi siapa pun. Sumardi bukanlah diilhami Paulo Freire, filosof pendidikan tenar dari Brazil, tapi karena cinta yang tak kan terbeli oleh kesuksesan bergepok uang, atau oleh meriahnya jabatan anaknya kelak. Tak akan terbeli begitu saja, yakinnya.
***

Empat tahun setengah sudah Mario meninggalkan orang tuanya, dalam rentang waktu itu dia cuma menyisakan seminggu dua minggu dalam setahun untuk melihat kampungnya,. untuk bertemu Sumardi dan Mimin, juga untuk berceramah tentang kehidupan kampus kepada teman-teman sepermainan dulu. Sumardi pun mendengar ocehan-ocehan ala mahasiswa yang terlontar dari anaknya, dengan istilah-istilah yang banyak tidak dimengerti Sumardi. Tapi demi si anak yang harus terus berkicau bangga, Sumardi sesekali tersenyum dan berkomentar “iya,” “betul,” “Oo..begitu ya.”

Dan tiga hari setelah sukuran, Mario sudah minta pulang ke Bogor. “Tidak ada kerjaan yang pantas buat sarjana macam aku”, dalih Mario. Lagi-lagi Sumardi menghargai pandangan itu, selain karena Mario bukan anak kecil lagi, rasa cinta Sumardi terhadap putra tunggalnya membuat dia bisa lebih menghargai eksistensi Mario.

“Ya, kalau itu pandangan mu, pergilah, kamu kan lebih tahu ketimbang bapak”, Sumardi menjawab dengan legawa, walau pada saat bersamaan dia merasakan juga coretan-coretan perih mengulang lagi kehilangan putranya untuk waktu yang entah sampai kapan. Mimin pun ikut saja, walau dengan air mata yang mengalir deras menjalari pipi sampai dagunya.

“Mau apa lagi, bukankah kita memang terbiasa ditinggal begini kan pak”, ucap Mimin lirih.

Empat hari setelah jawaban memberi izin itu melesat dari  mulut Sumardi dan Mimin, Mario pun sudah kembali ke kota almamaternya. Tak susah memang bagi Mario yang tercandra dengan kacamata akademis sebagai anak cerdas itu untuk mendapat pekerjaan. Mario pun terhitung sebagai karyawan di salah salu perusahaan raksasa. Sumardi dan Mimin bahagia, dan para tetangga ikut bangga, walau hanya Sumardi sendiri yang merasakan kerperihan.

Sumardi tersenyum tipis. Sejak saat itu, Sumardi dan Mimin tak pernah lagi bertemu putranya, tergantikan kiriman uang dan surat yang berisi perintah Mario untuk merenovasi rumah, melengkapi perabotan, dan membeli barang-barang elektronik yang belum dimiliki orang-orang di kampungnya. Rumah Sumardi pun tampil lain dari rumah-rumah masyarakat sekampung, nyaris asing bentuk maupun isi nya.

Sumardi diam, bingung bangga atau malu. Anaknya ternyata lupa jalan pulang, walau kiriman uang terus-menerus. Sumargi yakin kampungnya lebih membutuhkan Mario daripada perusahaan raksasa di ibukota. Tapi Mario mungkin hanya mengikuti takdirnya –yang disiapkan dan diperjuangan oleh Sumardi sendiri– untuk berubah seratus persen, membuat dia tercerabut dari kampungnya. Seperti kata pepatah, seperti batu jatuh kelubuk, tidak kembali lagi ke daratan.
***

Tapi cuma Sumardi yang bertanya, sedang kekaguman orang kampungnya mengalir, bahkan membanjir mengenangi seluruh kampung. Saat-saat Sumardi temenung di pelataran depan rumah, menjadi masa-masa sapaan hormat dari orang yang lewat, yang terkagum-kagum melihat rumah merka yang tersulap menjadi istana. Amat sesekali teleponnya berdering dan suara Mario terdengar dekat namun amat cepat, berkelebat seperti kilat dan hilang.

Ingin dia mendengar suara itu terus sampai ke tidurnya, ingin dia mendengar suara putranya menjadi senandung pengantar tidurnya, ingin juga dia mendengar suara Mario membangunkan paginya. Sumardi tersenyum menikmati sayup-sayup suara Maria yang bergema semakin menjauh dan suara menghilang cepat tanpa sempat menidurkannya, apalagi membangunkannya.

“Aduh si bapak, dari tadi disuruh minum kopi malah belum juga,” Mimin menyapa keheningan Mario.
“Sumur jengkolnya malah sudah pula matang, kopinya masih kayak tadi”, Suara Mimin menyergap lamunan dan petualangan memori Sumardi.
Sumardi kaget sekejap, terhuyung sedikit dari duduknya, dan terhenti.

“Pak, bapak”
“Pak, bangun pak”
“Bapak”
“Pak”
***

Saat Mario pulang, orang cuma diam; menelan pujian yang pernah terlontar. Mario cuma berbicara pada batu nisan. Ibunya tak sanggup lagi mendengarkan, memilih diam, karena mungkin memang ditakdirkan untuk diam. Mario sedih dan menangis, walau cuma sebentar. Dan Mario juga cuma sebentar di kampung, baru 5 hari ponselnya berdering, harus kembali ke Jakarta.

Ibunya diam; tak sepatah kata pun terucap saat kepergian Mario, yang sudah melupakan duka dan sudah berada tak tampak sedih lagi. Dia melangkah ke mobil yang menjemputnya ke bandara

Sebeum ke luar rumah. dia letakkan amplop coklat tebal di meja dekat ibunya duduk. Ibunya, duduk tak bergeming, tapi tersenyum, seperti senyum Sumardi menjelang terbang ke langit.