Empat Menara di Langit Subuh – Melly Wati

Nay terpaku menatap langit. Hawa dingin kota Bukittinggi di waktu subuh begitu menyengat persendian. Di tatapnya menara masjid yang tak jauh dari Jam Gadang. Sorot mata yang tajam tak berkedip sedikit pun mengawasi empat menara masjid itu. Muadzin mulai mengumandangkan suara azan. Napasnya berat tertarik panjang.

 “Uni, kenapa diam di sini?” suara itu mengejutkannya. Seorang lelaki muda menyapa dalam remang bias lampu.

Nay hanya menggeleng perlahan. Dan dengan ekor mata ia dapat menangkap sosok yang menyapa ramah. Lalu segera gadis itu menghindar dengan berjalan cepat memasuki pasar atas dan hilang di antara kerumunan orang-orang. Ammar terheran melihat Nay yang sesekali menengok ke belakang dengan pandangan ke arahnya. Gadis aneh! pikirnya.

Ammar terduduk di anak tangga mesjid. Pikirannya kembali pada gadis aneh yang ia jumpai di bawah pohon beringin dekat penjual kue serabi. Ini kali kedua ia melihat gadis itu sedang menatap menara masjid tanpa kedip. Sepertinya wajah gadis itu asing baginya

 “Mak Etek lihat gadis yang tadi berdiri dekat pohon beringin itu?” tanya Ammar pada Ibu penjual kue serabi seraya menunjuk ke arah pohon beringin yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ibu tua itu menatap Ammar sebentar, lalu ia kembali sibuk membalik kue serabi yang baru ia tuang di dalam wajan.

 “Ambo ndak kenal sia gadis itu. Tapi sudah beberapa hari ini ia terlihat selalu berdiri di sana. Entah apo yang di pandangnyo,” sahut Ibu penjual kue itu.
 “Apo ia bukan warga sini?” tanya Ammar lagi penasaran. Ibu itu menggeleng cepat.
“Ado apo memangnyo?” 
“Ah.ndak apo-apo, Mak. Cuma penasaran saja karena gadis itu memandang ke arah masjid dan ia
menatap menara itu dengan tatapan kosong.”

Ammar menghela napas sambil tatapannya mengarah pada menara masjid yang menjulang tinggi. Ada apa dengan gadis itu? tanya batinnya. Fajar mulai menyingsing. Orang-orang pun sudah banyak yang lalu lalang. Kabut mulai menipis tersapu mentari pagi. Ammar melipat tangan. Hawa dingin kota Bukittinggi yang baru kembali dirasakan membuat ia merasa harus merapatkan syal yang melingkar di leher.
*** 

“Kamu pikir bisa sembunyi dari kami, hah?!” suara bariton itu berteriak lantang di telpon, “Dasar pelacur, ya tetap saja pelacur!!” teriaknya lagi di telinga Nay. Gadis itu segera menutup telpon yang belum usai di dengar. Napasnya memburu dengan ekor mata yang penuh curiga, seolah ada seseorang yang mengintainya.

Ia mendekati pohon beringin besar dekat Jam Gadang. Tubuh yang kurus di sandarkannya di batang pohon besar itu. Lalu ia beringsut mendekati penjual kue serabi yang tak jauh dari sana. Nay berjongkok sembari memperhatikan si penjual serabi. Tuhan, ke mana aku harus sembunyi? rintih batinnya.

“Mau beli serabinyo?” tanya penjual serabi. Nay sejenak terpaku dengan tatapan kosong. Bunyi perutnya tak dapat lagi disembunyikan. Ia lalu mengangguk lemas.

Dua potong serabi bercampur tape ketan hitam sudah memenuhi mangkok di tangan. Dengar gemetar ia menyuap serabi ke dalam mulut. Mak Etek penjual serabi memperhatikan penuh selidik. Gadis inikah yang di tanya pemuda itu kemarin?

“Tampaknyo, kau bukan urang sini?” tanya Mak Etek dengan menatap Nay yang seketika itu pula menghentikan kunyahannya.
“Iyo, Mak,” jawabnya singkat.
“Ambo perhatikan kau selalu nampak menatap ke masjid itu. Siapo yang kau cari, Nak?” Nay menghela napas panjang. Kepalanya terlihat menggeleng dengan tatapan jatuh pada mangkok yang tinggal tersisa sedikit kue serabi.
“Bara kue ini, Mak?” tanya Nay mengalihkan apa yang di tanya penjual kue.
“Tak perlu kau bayar. Amak kasih untukmu,” jawabnya dengan senyum mengulum di sudut bibir keriput. Nay menatap penuh tanya, “Amak ikhlas!” lanjutnya lagi.
“Makasih, Mak. Ambo pamit.” Nay menjawab singkat. Lalu berdiri dan kembali menatap menara masjid dengan penuh kepiluan sebelum kaki jenjangnya melangkah lunglai.
“Kamu ini sudah di takdirkan menjadi pelacur. Ibumu pun dulunya pelacur! Jadi terima saja nasibmu!”
“Aku nggak mau lagi kerja seperti ini. Aku capek! Aku ingin hidup normal, aku ingin berumahtangga dan punya anak!”
“Mana ada lelaki yang mau punya istri perempuan kotor seperti kamu!”
“Diam!”                

Plaak!!

Tangan besar lelaki itu mendarat di pipinya yang halus. Dan gadis itu terjerembab akibat dorongan kasar. Itulah perlakuan yang sering di terima Nay selama bekerja dengan cukong itu. Mulanya di perlakukan dengan manis dan menerima dengan pasrah pada nasib yang membawa pada jurang dosa dan kenistaan. Hingga pada akhirnya berperang pada batin. Nay memegang wajah lalu ia menutup telinga seolah tak ingin lagi mendengar kalimat itu.
***

Ammar terkejut melihat kejadian yang tak jauh dari masjid tempatnya biasa salat. Dari anak tangga masjid jelas terlihat dua orang lelaki tengah memaksa seorang gadis untuk ikut bersama mereka. Langkah Ammar begitu cepat menghampiri mereka.

“Lepaskan aku! Aku nggak mau lagi kerja dengan kalian. Aku capek!” teriak Nay.
“Enak banget lo, selama ini ditampung dengan hidup mewah lalu sekarang mau begitu aja berhenti kerja?”
“Tolong lepaskan aku! Bebaskan aku!”
“Nggak bisa! Ayo ikut kami pulang ke Jakarta!” bentaknya sambil menarik tangan Nay dengan kasar.
“Hey! Ada apo ini? Kenapa kalian kasar sama perempuan?” tanya Ammar yang berteriak tak jauh dari mereka.
“Siapa lo, ikut campur urusan orang?!”
“Ya, tapi ndak usah ….”
“Emang lo kenal dia?” tanyanya sambil menunjuk pada Nay.
“Lo tahu siapa perempuan ini?” tanya lelaki yang satunya dengan bahasa yang kasar, “Dia ini pelacur kelas kakap di Jakarta. Dia kabur dan mau berhenti kerja di tempat kami. Enak aja lo, udah hidup mewah sekarang mau coba kabur!” bentaknya sembari satu tangan menepis kepala Nay. Gadis itu meringis kesakitan.
“Hey, jangan kasar begitu! Siapa pun dia, tak akan kubiarkan lelaki berbuat kasar pada perempuan. Kalian mau lepaskan dia atau kalian akan berhadapan dengan orang-orang sekitar sini?”

Kedua lelaki itu saling pandang. Resiko bagi mereka jika ribut di kampung orang, begitu pikirnya. Lalu dengan bahasa isyarat mereka melepaskan genggaman pada tangan Nay. Gadis itu mengusap pergelangan tangan yang sakit. Ada ketakutan yang jelas terpancar di wajahnya.

“Oke, kita lepasin dia. Lo sanggup nebus dia berapa dari kami?” tanyanya dengan nada angkuh, “Kalo nggak bisa nebus, lo yang berurusan dengan kami. Suatu saat kami akan mencari lo. Lihat aja, lo akan menyesal udah menolong pelacur ini!”

Pyuuh!!

Satu dari lelaki itu membuang ludah di hadapan Ammar sebelum mereka pergi. Ada beberapa pasang mata melihat kejadian itu. Ammar tak peduli. Di dekatinya Nay yang masih dalam ketakutan.

“Siapa namamu?” tanya Ammar dengan suara yang di pelankan.
“Aku, Nay,” jawabnya gemetar, “Makasih Uda sudah menolongku. Entah apa jadinya kalau ndak ada Uda tadi. Makasih,” sambungnya dengan melangkah meninggalkan Ammar.
“Tunggu!” Ammar menghampiri Nay. Di perhatikannya gadis itu dari kepala hingga kaki, “Kamu tinggal di mana?”
“Aku tinggal di losmen dekat sini. Sudah empat hari ini aku bersembunyi dari mereka. Entah kenapa mereka bisa menemukanku di sini.”
“Tempatmu sudah ndak aman kalau begitu. Kamu mau untuk sementara tinggal di tempat sepupuku? Dia hampir sebaya denganmu.” Ammar menatap Nay dengan menunggu jawaban dari gadis itu. Tapi Nay membalas tatapannya penuh curiga. “Jangan kuatir, aku ndak akan berbuat jahat padamu,” sahutnya seolah menjawab kecurigaan Nay.

Nay tersenyum getir. Pengalaman buruk sudah membuatnya selalu curiga pada kebaikan orang lain tapi menolak tawaran Ammar amatlah sayang jika di lewatkan karena di kota ini ia tak punya lagi sanak saudara. Kini ia memperhatikan Ammar, pasti dia bukan orang sembarangan, pikir Nay dalam hati. Kemudian Nay menganggukan kepala dan mengikuti langkah Ammar. Senja itu di antara Jam Gadang dan empat menara masjid, Nay merasakan ada sebuah jalan terbuka lebar baginya menuju suatu kebaikan.
*** 

Dua hari Nay tinggal dalam perlindungan Ammar. Di dapatinya semua perhatian lelaki itu seperti ia mendapat perhatian seorang saudara. Diam-diam hatinya mulai tak nyaman dengan perasaan sendiri. Rasa simpatik pada Ammar menjalari tiap sudut hati. Tak boleh! Aku tak boleh membiarkan rasa ini hadir. Ammar orang baik sedang aku perempuan hina dan kotor. Baiknya aku harus segera pergi dari sini sebelum rasa ini bertambah parah.

Nay mengendap dalam gelap Subuh. Sepupu Ammar yang masih terlelap tak mengetahui kepergian Nay. Di selipkannya selembar surat di antara piring yang bersusun di meja makan. Maafkan aku Din. Maafkan aku Ammar … aku harus pergi tanpa ijin kalian ….

Ia menyeret koper kecil miliknya. Dalam remang lampu jalan Nay melangkah di antara jajaran pedagang sekitar Jam Gadang. Ia berhenti kembali di bawah pohon beringin itu. Selalu ada kepiluan setiap kali ia menatap empat menara masjid. Ingin rasanya ia melangkah masuk ke dalamnya. Namun dosa yang berlumuran di tubuhnya selalu menghentikan niat untuk menjejaki langkah ke sana.

Apa Tuhan masih mau menerima sedang diriku bersimbah dosa dan kesalahan? Dosa yang sengaja dan berulang kali kuperbuat. Tapi ke mana harus mengadu  segala resah ini? Nay menarik napas panjang. Ada beribu sesak yang ia coba untuk mengenyahkan. Diliriknya penjual serabi yang dengan setia setiap hari mengais rejeki di sana.

“Mak!” panggil Nay seraya menghampiri penjual serabi itu, “Aku beli serabi satu saja,” lanjutnya sambil duduk di batu kecil dekat sana.

“Kau mau ke mana, Nak?” tanya Ibu itu melihat Nay dengan menatap koper kecil miliknya. Gadis ini hanya diam seolah tak mendengar apa yang di tanya si Mak penjual serabi itu.

Azan Subuh jelas terdengar di telinga Nay. Dadanya berdegup kencang dan bergemuruh hebat. Perang batin mulai berkecamuk lagi di hati. Ribuan tangis penyesalan berteriak di kalbu saat mendengar azan. Berulang kali Nay menelan ludah, menahan kegetiran yang selalu menguasai hidupnya.

Sesekali matanya menyapu sekitar tempat duduk. Perasaan Nay mulai tak nyaman. Di telannya serabi empuk itu dengan sudah payah seperti ia menelan benda keras. Si Mak penjual serabi terus memperhatikan. Ia tahu Nay sedang gelisah. Matanya pun ikut menyapu sekeliling mengikuti arah pandang Nay.

Satu-satu jamaah mulai meninggalkan masjid. Nay beringsut ke balik pohon beringin. Ia melihat sosok Ammar melewati gerbang masjid itu. Aku harus sembunyi. Ammar tak boleh melihat aku ada di sini, bisiknya. Ya Tuhan! Nay menjerit dalam hati. Di tutupnya mulut agar tak bersuara. Gadis itu melihat anak buah cukong dari Jakarta itu tengah berkeliaran di sekitar Jam Gadang yang tak jauh dari masjid.

“Mak, Ambo harus pergi, nanti Ambo bayar!” jawabnya gugup.
“Ado apo, Nak. Kau seperti ketakutan begitu?” tanya Mak tua itu.
“Mak jangan bilang pada mereka kalau lihat Ambo, ya?” pinta Nay sembari matanya memandang pada orang-orang yang tengah mencari dirinya. Mak tua itu mengikuti arah pandang Nay. Dua kerutan sudah terukir di kening. Lalu ia mengangguk dan membiarkan Nay pergi.

Nay menyelinap masuk ke dalam menara masjid saat tatapan beradu dengan anak buah cukong itu. Ia berdiri di balik pintu menara dengan menahan getar di seluruh tubuh.

“Bro, dia masuk ke masjid itu!” teriak si gendut.
“Beneran lo liat cewe itu masuk ke sana?”
“Iya, gue liat dia masuk ke arah masjid itu. Ayo kita cari ke sana!”

Dua orang bertubuh bongsor itu melangkah cepat menuju masjid. Matanya nanar dengan napas yang membara geram. Namun langkah mereka terhenti saat melihat Pak Haji Umay berdiri di anak tangga dekat menara masjid.

“Apo yang kalian cari di sini?” tanya pak Haji pada mereka yang terlihat menyelidik sekitar masjid. Dua orang asing itu menatap sinis Pak Haji.
“Kami mencari perempuan yang tadi masuk ke masjid ini, Pak Haji!” jawab si gendut sambil matanya terus memperhatikan sekitar. Pak Haji Umay melirik ke arah Nay. Gadis itu menggelengkan kepala untuk memberi isyarat agar Pak Haji tak memberitahukan keberadaannya.

“Tak ado perempuan masuk sini. Ambo sedari tadi berdiri di sini!”
“Tapi kita melihatnya Pak Haji!”
“Ambo bilang tak ado yang masuk sini!” teriak Pak Haji.
“Ado apo ini?” tanya Ammar yang berdiri di belakang lelaki itu.
“Nah, ini dia orangnya! Lo umpetin di mana cewe itu, hah?!” tanya mereka dengan amat tak sopan. Ammar berusaha tenang di dalam kegeraman.

Mereka mendekati Ammar dan mengapit pemuda itu seolah ingin mendesak. Dan mereka menggiring lelaki itu menjauh dari gerbang masjid.

“Apo yang kalian mau dari gadis itu? Dan apo yang kalian minta supaya gadis itu di bebaskan?”
“Hah, udah jangan banyak bacot, lo! Kasih tau aja di mana cewe itu dan lo nggak bakal berurusan dengan kami lagi!”
“Justru Ambo ingin kalian melepaskan gadis itu, tanpa syarat apa pun! Bilang pada bos kalian, dia mau membebaskan gadis itu atau kalian semua akan berhadapan dengan seluruh jajaran polisi di negeri ini?”
“Lo kira siapa diri lo, hah? Lo nggak tau lagi berhadapan dengan anak buahnya siapa?” Suara si Tambur sungguh sombong. Ammar senyum dan bersikap tenang.
“Ambo ndak peduli siapa pun bos kalian. Sekali bersuara, pantang menarik kembali!” seru Ammar. Kedua lelaki itu saling pandang kemudian memandang Ammar dengan rasa penuh curiga. “Jangan kalian anggap ucapanku hanya gertakan atau omong kosong. Sekarang cepat telpon bos kalian dan bilang sama dia kalau gadis itu tak pernah kalian jumpai lagi di mana pun. Kalian mau pulang dengan selamat, kan? Sekarang cepat pergi dari sini dan jangan pernah kembali atau kalian tak akan pernah bernyawa lagi!”

Kedua lelaki bertubuh tambur itu jelas cemas dengan ucapan Ammar yang terkesan amat serius. Satu di antara mereka melirik pistol yang bertengger di samping kanan pinggang Ammar. Dengan memberi isyarat pada temannya lalu kedua orang itu berlalu dari sana. Sambil berjalan mereka menelpon seseorang yang sepertinya bos mereka.

“Pak Kapten, kenal dengan mereka?” tanya Pak Haji dengan raut kebingungan. Ammar hanya tersenyum tanpa menjawab.
“Nay, keluarlah. Sekarang sudah aman!” teriak Ammar meminta Nay untuk keluar dari tempatnya sembunyi.

Nay beringsut keluar dari balik pintu menara masjid. Wajahnya terlihat pucat menahan ketakutan yang ia coba sembunyikan.

“Terima kasih, Uda selalu menolongku. Maaf aku harus cepat pergi dari sini,” jawab Nay cepat.
“Mau ke mana kamu, Nay? Tak perlu bersembunyi lagi. Tak perlu takut lagi karena sekarang kamu sudah jadi manusia bebas. Hidupmu adalah hakmu sepenuhnya. Tak akan ada lagi yang akan menindasmu.”

Nay terpaku menatap Ammar. Ia masih tak percaya apa yang diucapkan lelaki itu. Lalu Nay menggelengkan kepala dengan menahan tangisnya. Kilatan sudah membayang di mata beningnya.

“Tak mungkin. Aku tak akan mungkin bisa bebas dari mereka bahkan sudah tak punya hak lagi atas hidupku sendiri.”
“Kamu masih tak percaya? Aku yang akan jadi jaminanmu.” Ammar tersenyum menjawab tanya Nay. “Setidaknya sekarang kamu bisa jadi teman baikku,” ucapnya sembari mendekati tempat Nay berdiri, “dan kamu tak perlu bersembunyi lagi. Kamu juga tahu kan ke mana harus kembali pulang?” lanjut Ammar sembari mengurai senyumnya.

Lelaki itu berjalan meninggalkan Nay yang masih berdiri terpaku di gerbang masjid. Sesaat kemudian Nay memandang Pak Haji seolah meminta penjelasan tentang siapa Ammar sebenarnya.

“Si..siapa dia sebenarnya, Pak Haji?” tanya Nay, terbata.
“Dia adalah kapten Ammar. Seorang perwira polisi yang baru selesai bertugas dari luar negeri. Beruntung kamu kenal dengannya karena kamu akan aman jika tetap bersamanya. Terlebih lagi ia masih bujang!” papar Pak Haji diiringi senyumnya dengan melangkah pergi meninggalkan Nay.

Kapten polisi? Benarkah Ammar seorang perwira polisi? Benarkah sekarang aku bebas? Aku bebas menentukan jalan hidupku sendiri? Ya Tuhan, sungguh suatu impian yang menjadi nyata. Aku bebas! Aku bebas!

“Aku bebas!” teriak Nay. Di tengah keramaian pejalan kaki yang hilir mudik di sekitar masjid dan Jam Gadang. Ups! Mata Nay menyapu sekitarnya. Semua mata tertuju pada tingkahnya yang terlihat aneh. Nay berlari kecil ke arah pohon beringin. Aku bebas! Aku bebas! Aku bebas! teriaknya dalam hati. Terima kasih Tuhan …
***

Melly Wati, seorang penulis cerpen dan novel. Karyanya berupa antologi sudah mencapai 145 buku. Novel solo 4 dan novel ke 5 masih dalam proses terbit. Juga punya 4 novel kolaborasi. Founder komunitas P2I yang juga aktif dalam komunitas menulis baik offline maupun online. Jika ingin mengenalnya bisa dilihat akun Facebook: Melly Waty, IG: @melooy54, Email: mellywaty.mw@gmail.com

TAGS :