G3 WA 8 (Gara-gara Grup WhatsApp) Tamat

Gugatanku didasarkan pada ‘pemutusan hubungan kerja secara tidak adil’. Dalam gugatan disebutkan bahwa penggugat ingin direhabilitasi alias dipekerjakan kembali biarpun aku sudah tidak mau balik kerja lagi di kantor itu. Tapi –menurut tim pengara dari LBH dan Serikat Buruh Merdeka- kalimat gugatan itu lebih sebagai landasan bagi perundingan untuk pensiun dini, yang menjadi tujuan utama.

Selain rehabilitasi, memang ada gugatan ganti rugi dengan pertimbangan perusahaan telah menghina profesionalismeku, yang selama 18 tahun tidak pernah ada masalah karena memang tidak pernah ada keluhan resmi atas kinerjaku.

Maka seandainya aku menang, di atas kertas aku bisa dapat pensiun dini –yang jelas tidak sedikit untuk orang yang sudah bekerja selama 18 tahun- plus ganti rugi –yang nilainya akan dibicarakan belakangan jika sudah ada keputusan.

Tapi sebenarnya yang lebih hebat adalah Serikat Buruh Merdeka berhasil memperjuangkan lewat keputusan sela bahwa selama persidangan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap maka perusahaan harus tetap membayar gaji pokok, minus tunjangan transport atau shift malam. Intinya adalah bahwa aku tetap merupakan karyawan karena keputusan PHK masih diperdebatkan biarpun cuma berstatus karyawan nonaktif.

Itulah yang membuatku senang-senang saja setiap datang ke pengadilan menyaksikan para penasehat hukum berdebat panjang lebar dan kadang terdengar kosong melompong. Mau sidang setahun, dua tahun atau tiga tahun, gaji pokok cukuplah untuk kebutuhan kami sekeluarga. Kalaupun kelak kalah di Mahkamah Industri pertama, masih bisa banding sekali lagi ke Mahkamah Tinggi Industri.

Singkatnya, hidupku masih bisa diperpanjanglah kalaupun memang kelak di ujungnya akan kalah.

Cuma aku jadi punya tambahan tiga WA grup lagi, semua terkait gugatan hukum. Yang pertama terdiri orang-orang LBH dan Serikat Buruh Merdeka, yang kedua grup kawan-kawan di kantor yang belum juga naik pangkat dan naik gaji dan menganggap kasusku bisa jadi model untuk mereka jika kelak terjadi hal serupa, dan satu lagi WA grup para wartawan yang meliput di Mahkamah Industri.

Dua grup akhirnya kubungkam juga, karena pelan-pelan hanya beda tipis dengan dengan WA grup lainnya. Tapi WA grup para wartawan kubiarkan nyala karena persis sama dengan Viva Teamwork! yang heboh tidak karuan seperti kebanyakan WA grup lain tapi aku punya kepentingan praktis. Grup WA wartawan kuperlukan demi peliputan bisa jalan terus yang sekaligus jadi tekanan buat perusahaan.

Akan halnya Viva Teamwork! aku dikeluarkan pada hari mendapat surat PHK dan kulihat yang mengeluarkan adalah Bos Personalia langsung. Tapi setelah keputusan sela aku minta pengacaraku supaya dimasukkan lagi karena statusku tetap karyawan walau non-aktif. Soalnya bukan sekedar terkait pesan-pesan tapi juga kenikmatan membayangkan para bos-bos merasa tak nyaman membayangkan pembicaraan mereka dipantau oleh ‘musuh’ bersama mereka.

Beberapa hari setelah surat resmi pengaktifan aku ke grup WA dikirim ke Bos Personalia, akupun bergabung lagi.

Kali ini Aryati yang memasukkan nomorku.

Begitu masuk aku tulis pesan: ”Terimakasih Aryati” dan dijawabnya lagi, “Sama-sama Pak Simatupang.”

Aku senang mendapat pesan dari orang baik yang tidak mau dihancurkan oleh sistem apa pun.

Dan setiap akhir pekan, ketika ditinggal istri untuk arisan dan kedua anakku yang lontang lantung, aku punya hiburan lagi: Viva Teamwork!

Tiba-tiba pula Badu menjadi favoritku. Pesan terbarunya dikirim Jumat jam 00.46:

“Obrolan PRT.
Inem: Eh Presiden Jokowi itu rupanya pernah pacaran sama Megawati.
Parti: Masak sih, kamu sok tau Nem.
Inem : La TV-TV bilang Megawati itu mantan presiden.
Selamat tidur Bro/Sis. Peace”

***
Tamat