Teheran Dalam Stoples

-. Dia
“Kau baik-baik saja kan?” tanya ibu beberapa minggu kemudian.
“Ya. Aku baik-baik saja.”
“Kau yakin?”
“Ibu… pernahkah ibu merasa kalau kita asing di tempat kita?”
“Iya. Itu rindu sayang. Apa yang kau rindukan?”
“Masa laluku.”

Aku mulai merapikan rambutku dan beranjak menuju sekolah. Aku menata setiap jengkal penampilanku karena aku mau penampilan yang sempurna. Aku mendengar Khasan mengeluarkan sepedanya. Aku menunda untuk bergegas. Aku tak mau melihatnya lagi. Aku mau semuanya berakhir. Aku kembali menuju ruang tamu sambil melihat ibu yang merapikan foto untuk bukunya yang baru.

“Kok kembali sayang. Adikmu sudah berangkat sekolah lima belas menit yang lalu.”
“Ia kan pakai sepeda Bu, bukan motor.”
“Ibu tidak bodoh Nak. Siapa tahu di jalan ada macet.”
“Emang Jakarta.”

Setelah aku mendengar suara itu tak ada lagi. Aku berbalik dan mengambil motorku. Aku pasang helmku dan aku mengucapkan salam ke ibuku. Aku menulusuri jalan yang biasa aku lintasi.

Di ujung persimpangan menuju gapura dan yang juga merupakan jalan sebelum ke sekolah Khasan, kulihat Khasan berhenti. Ia sengaja memalangkan sepedanya di tengah jalan dan berdiri di dekat sadelnya. Aku mengerem motorku dan berhenti.

“Maaf bisakah kau pinggirkan sepedamu?”
“Tidak,” katanya.
“Kenapa?” tanyaku sambil turun dari sepeda motor.
“Kamu yang kenapa?’’ Aku menundukan kepala dan aku mulai tediam seribu bahasa.
“Kenapa kamu menghindari aku?”
“Aku banyak tugas dan juga kerjaan. Kau juga harus menyiapkan Ebtanas kan?”
“Ya. Tapi aku masih punya waktu untuk mengobrol.”
“Tapi aku tak punya.” Aku melihat jam tangan, tapi itu hanya akting, “Aku harus sekolah.”

Dia menyingkirkan sepeda ontelnya dan aku nakik kembali naik sepeda motorku. Aku mengangkat bahuku dan ku tarik nafas panjang.
“Assalamualaikum.”

Aku melambaikan tanganku dan ia menjawabnya sambil melambaikan tangannya.

Memangnya ia anggap aku apa. Setelah cintaku ditolak mentah-mentah ia masih ingin menyakiti aku lagi. Kenapa ia ingin aku tetap berada di sisinya dan aku juga menginginkannya. Tapi aku terlalu munafik menyakiti diriku sendiri. Tapi aku juga tak bisa hidup tanpanya. Sepanjang jalan perkebunan itu aku selalu bertanya banyak hal yang tak logis.

Seperti kebanyakan gadis lainnya, kepercayaan diriku untuk mengatakan cinta dan menghadapi kedewasaan, tidak ada. Aku mulai bertanya tentang jati diriku. Tentang siapa aku dan apa yang bisa aku lakukan. Aku meragukan siapa jati diriku dan jga kemampuanku. Aku selalu menganggap bahwa ada yang kurang dan juga ada yang salah dengan diriku. Aku hanya punya sedikit keyakinan dan kerap bertanya akan nilaiku sebagai gadis remaja.

Bel, berbunyi kami lekas masuk ke kelas. Pak Brudin menerangkan gejolak ibu kota. Banyak tindakan anarkis yang mengatas namakan refomasi. Dengan mengebuh-ngebu ia bercerita bahwa kami lepas dari tiran Soeharto. Kemuakkan itu aku anggap sebagai hal yang sangat menjijikkan.

Sa harusnya menjadi seorang figure guru yang pemaaf: memberikan contoh kelapang-dadaan atas yang terjadi. Banyak hal yang tak dimengerti dan banyak hal juga yang harus kami cerna.

Perubahan yang dirindukan banyak kaum intelek namun tak dirindukan oleh kami para buruh. Malahan para petani desa kadang bertanya tentang arti reformasi. Sebuah tulisan merah yang dengan bangga menoreh pintu gerbang setiap pabrik dan juga gudang padi: pro reformasi. Tulisan yang sama memenuhi pabrik pengilingan tebu.

Adikku bertanya padaku apa artinya pro reformasi dan aku hanya tersenyum. Menerangkan kalau kata pro adalah setuju dan reformasi adalah perubahan. Adikku tak ambil pusing, begitu juga ibu yang hampir tak peduli dengan gejolak Indonesia. Ia hanya miris saat melihat para korban yang tidak tahu kesalahannya, yang menjadi korban dari kepuasan pihak tertentu, yang menjadi manusia yang terjebak dan teraniaya.

Ibu yang sedang menikmati secangkir kopi sambil menghitung berapa laba padi yang ibu peroleh dalam sekali panen. Aku sesekali melihat anak lelaki yang sedang mengendong adiknya. Ia tampak berlarian di antara hamparan tanaman kacang panjang yang tumbuh dan di antara cahaya surya senja.

“Ibu, apakah orang yang menjadi korban itu…” kalimatku terhenti melihat respon ibu yang melepas kaca matanya.
“Masalah itu tak akan tuntas. Kau tahu kenapa? Karena masalah ini adalah masalah yang kompleks. Terlalu banyak kesalahan dan juga terlalu banyak yang bersalah. Hukum tak akan mampu menjamah mereka.”
“Lalu untuk apa kita bereformasi?”
“Untuk perubahan dan menghitung detik kehancuran pondasi kebaikan yang ada,” kata ibu sambil menghitung kembali jumlah keping rupiah yang ada.
“Kau mengerjakan tugas bahasa Indonesia mu kan?” tanya ibu lagi.

Aku hanya terdiam, mengingat tugas mengarang yang terbengkalai. Bu Ningsih tak akan segan-segan untuk menghukumku. Walau ia tergolong guru yang semok. Ia bisa berubah menjadi mahluk yang ganas dan juga garang. Aku mengerjakan tugasku, lalu menutup kembali buku dan aku masukkan ke tas. Aku terdiam.

Aku mendengar ucapan, ada bapak Sodikin dan juga istrinya. Ia berbicara tentang Khasan dan masa depannya. Mereka bertukar pikiran dengan ibuku. Khasan ingin kuliah di Universitas Negeri, namun biaya kurang mumpuni. Ibu Salamah, mau menyekolahkannya ke Gontor agar Khasan menjadi guru mengaji.

Ku dengar, ibu memberikan saran, “Apa yang anak mau, berikanlah. Anak mungkin berpikir dengan jernih sebelum melakukannya. Kadang apa yang ia ingini itu baik untuknya dan tak sejalan dengan pikiran kita. Yang akan menjalani masa depan adalah sang anak. Bukan kita, jadi biarkan ia memilih.”

‘Kau tahu, aku adalah seorang anak miskin. Bapak dan juga ibuku hanya memiliki satu warung. Aku berusaha dan yakin, akhirnya aku bisa melakukannya. Aku bisa menjadi diriku yang sekarang. Ketahuilah satu hal. Sejatuh-jatuhnya manusia yang terjatuh adalah manusia yang cita-citanya terhempas sebelum ingin memulai.”

Tanggal 25 Juli, Khasan resmi berangkat menuju Gontor.

Ia tak lulus ujian saringan masuk universitas. Aku ingat saat itu ia sempat menoleh padaku sebelum bapaknya mengajaknya naik ojek. Aku berbalik dan menyembunyikan wajahku, seperti yang dilakukan Ali padaku.

Aku mengecewakannya sama seperti saat dia mengecewakanku. Aku menutup candela kamarku yang menghadap ke rumahnya. Ia punya jalan cerita tersendiri dan aku tak peduli akan hal itu. Siapa yang akan tahu masa depan kami, kecuali Tuhan.

***
bersambung