Teheran Dalam Stoples

Ramadan
Tiga anggota keluarga Khan mengajakku ke rumah mereka. Tentu saja aku membawa boneka besarku.

Ketiganya memanjat pohon ara yang tinggi yang sudah tua namun batangnya masih cukup kuat menjadi pijakan tiga temanku itu. Mereka memohon agar aku dan Ali juga ikut memanjat. Aku tak mau karena takut namun saat melihat Ali memanjat pohon, barulah aku sadar kalau memanjat bukanlah hal yang menakutkan.

Biji buah ara yang kuning kemerahan dan beraroma harum membuat aku tergiur. Aku hanya bisa menelan ludah saat melihat ketiga Khan memakannya. Di ujung tangkai ranting yang kuhinggapi ada burung mungil dengan bulu kecoklatan dan kekuningan. Dengan lahap burung itu menyantapnya.

Melubangi sedikit demi sedikit buah ara, burung itu tidak takut melihat kami. Aku sangat iri dengan burung dan orang yang bebas memakan buah ara. Aku hendak mengambil satu buah namun melihat Ali yang diam dan juga melihat langit biru, aku sadar kalau yang aku lakukan adalah dosa.

“Leila… kau tahu?” tanya faris.
“Apa?” tanyaku sambil meliriknya yang juga melihat langit biru yang bertaburan awan kumulus yang membentuk aneka bentuk abstrak.

Bentuk-bentuk itu mengandung banyak makna dan setiap manusia berhak menebak apa itu. Kebebasan menerka dan juga imajenasi konyol diperbolehkan. Awan tak akan marah jika tebakan kita meleset. Ia adalah seniman sejati yang tak harus sakit hati jika mahluk yang tak mengerti tentang seni salah menebaknya.

“Lihatlah itu pesawat terbang kan?” ia menunjuk ke arah barat dan aku lihat sebuah kumpulan awan yang mememiliki dua sayap dengan moncong yang berada di tengahnya. Ya, itu bentuk pesawat. Aku tersenyum melihatnya, seolah suatu hari nanti aku akan di dalamnya dan terbang entah ke mana.

“Iya, kau benar… Ali lihatlah…!” aku menunjukan yang kupandangi kepada Ali. Entah ia melihatnya atau tidak.
“Aku akan menaikinya suatu saat nanti.” Kataku lagi.
“Kau akan menaiki pesawat, memangnya kau mau kemana?” tanya Ma’arif.
“Pergi,” kataku tanpa sebab.
“Pergi meninggalkan Teheran?”
“Pergi dan datang ke Teheran.”

Aku tersenyum, seolah itu adalah doa yang aku panjatkan untukku. Doa yang suatu hari nanti aku harap menjadi suatu kenyataan. Teman-temanku orang Syiah sedang aku orang Sunni. Mereka orang Iran dan aku orang asing.

Suatu saat aku yakin keluargaku akan pindah lagi. Bukan tidak mungkin, namun suatu kemungkinan yang pasti akan terjadi walau entah kapan.

“Jika kau pergi kami akan merindukanmu,” kata Jalalluddin sambil memutar bolanya selepas memanjat pohon ara.

Ia adalah anak bola yang selalu membawa bola dan selain kesukaan lainnya: syair. Ia menghafal empar syair dan selalu melantunkannya di saat senggang.

Ia bilang kelak saat dewasa ia ingin menjadi pemain bola yang terkenal seperti Maradona. Ia juga hafal dengan benar berapa luas lapangan bola dan juga berapa nomor-nomor yang mujur.

Pikirannya selalu tertuju dengan bola hingga ia tak berminat untuk naik kelas. Ia sudah dua tahun tak naik kelas. Dan ia tak memiliki beban untuk itu.

Bebannya hanya satu yakni saat salju lebat turun dan ia tak bisa bermain bola di lapangan munggil, juga ketika ia tak memiliki suara untuk melantunkan syair.

“Kami pasti akan menunggumu,” kata Faris. “Kau tahu temanku, kau anak yang baik. Kami akan menantimu. Menanti kedatanganmu.”

Aku tersenyum dan aku hanya diam berpiri, “ketka saatku pergi, ke mana aku akan pergi?”

“Tentu saja kau akan pulang, bukankah orang yang pergi suatu saat akan berpulang seperti orang hidup yang akan berpulang kepada Allah saat mati. Itu yang mullah Fairus ajarkan,” kata Faris seperti menebak pikiranku.

“Ya pulang, ke Indonesia karena di sana rumah kami,” kataku dengan sedikit mendesah.
Malam Ramadan ke- 19, 21, dan ke 23 barulah masjid mulai ramai. Masjid-masjid sangat ramai selama semalam suntuk. Ada yang tadarus, beriktikaf dan ada yang hanya dam sambil mendengarkan ceramah agama.

Menurut orang Iran ada hadis Rasulullah yang menyebutkan bahwa malam lailatur qodar kemungkinan datang di ketiga malam tersebut. Sepanjang malam ayah akan meninggalkan rumah dan berada di masjid.

Ia akan mendengarkan ceramah agama, sembayang sunnah, dan ikut tadarus. Terakhir mereka akan bersama-sama membaca doa Jansyan Kabir yang sangat panjang. Butuh waktu yang sangat lama untuk membacanya.

Ketiga anak Khan mengikuti program iktikaf di masjid jami’. Program ini diadakan oleh pemerintah. Semua kebutuhan peserta ditanggung. Ini adalah program berdiam diri di masjid dan melakukan berbagai amalan. Aku menghabiskan hari-hari itu hanya dengan Ali. Tanpa Khafsah dan juga tanpa Khan.

Ayah selalu tak bekerja di Jumat teakhir di bulan Ramadan. Katanya itu adalah hari Al Quds. Banyak sekali radio dan juga televisi yang menayangkan rute-rute yang akan dilalui demo. Aku agak heran dan hanya bisa berdiam diri di anak tangga sambil memegang bunga pinus pemberian Ali. Ibu melarangku bermain pada Jjum’at itu. ia takut dan juga memiliki banyak kecemasan tersendiri.

“Ibu kenapa aku tak boleh main di luar rumah?” tanyaku sambil mendekati ibu yang menulis sesuatu di mesin ketiknya.
“Karena ini hari Al quds nak,” Ibu kembali lagi mengetik sambil melirikku. Sinar matahari pagi yang datang dari arah candela menerpanya. Ia duduk dengan apiknya di dekat perapian yang padam dan beralaskan permadani Iran.
“Kau kenapa?” tanya ibu lagi.
“Aku bingung bu, kenapa aku tak boleh main dan apa itu hari Al Quds. Lalu kenapa kita tak ikut demo bu?”
“Karena kita bukan bagian dari mereka. Kita adalah orang asing yang berbeda dengan mereka.”

Aku menoleh ketika ayah memutar TV hitam putih, ku lihat banyak orang yang tumpah ruah di jalanan.

Mereka menyerukan kehancuran rezim Zionisme dan kemerdekaan Palestina. Hari Al Quds adalah canangan dari imam Khomeini untuk menumbuhkan sikap keberanian dan juga patrionisme.

Aku menaikan kaki ke sofa dan kuputar tubuhku. Aku bersandar di permadani yang hampir ada di setiap rumah Iran, baik yang kaya maupun yang miskin.
***