Detik Yang Memudarkan Cinta

Kepergiannya bersama perempuan lain ke Mekkah untuk ibadah umroh menjawab semua teka-teki, ketidakpastian, dan kebisuannya selama hampir tiga tahun.

Bukanlah suatu kebanggaan untuk menceritakan percintaan yang berantakan, tapi kegalauan besar, setelah tidak pernah terlintas sama sekali kalau sebuah kisah cinta yang sudah terbina selama tujuh tahun ternyata bisa kandas begitu saja. Dan kandas hanya dalam hitungan detik.

Sampai sekarang masih banyak teman yang terus tertanya-tanya mengapa kami berpisah. Mereka sama sekali tidak percaya bahwa pikiran seseorang bisa berubah. Hanya dalam hitungan detik.

Bulan November 2013, dia meledakkan bom lewat satu pesan pendek: ‘Saya tidak mencintai kamu lagi dan tidak berminat melanjutkan hubungan’.

Aku tersentak bak disambar petir di siang bolong. Kugalang kekuatan menelponnya untuk menanyakan apa yang membuatnya mengirimkan pesan seperti itu. Dia tidak mengangkat tapi aku tidak menyerah. Aku menelepon lagi dan dia tidak mengangkat lagi.

Aku gelisah dan membalas SMS: kenapa? Dia tidak menjawab. Aku semakin kalut, mengapa dia tidak bisa diajak berbicara?

Memang ada sekitar dua atau tiga tahun kami tinggal di kota yang berbeda karena pekerjaan. Aku di Jakarta sedang dia -karena jenis pekerjaannya- selalu berpindah-pindah tempat, tapi jarak sejauh apapun- tidak akan pernah mampu mengalahkan cinta. Kematian mungkin bisa membunuh cinta, tapi jarak mestinya tidak.

Jadi di tengah-tengah keterpisahan rutin, selalu ada waktu bagi kami untuk menghabiskan waktu bersama. Tujuh tahun kami menghabiskan waktu bersama melewati suka dan duka. Ketika kami tidak bersama pun, komunikasi berjalan lancar dan hangat pula.

Bagaimanapun pernah ada keraguan. Satu ketika aku menelpon untuk mengatur pertemuan di Pulau Sumatra. Sudah tiga bulan kami tidak bertemu dan rinduku terasa tak tertahankan lagi. Kesibukannya memang membuat aku beberapa kali yang datang menjenguknya. Dan karena toh aku juga sudah pernah ke Sumatra, permintaan itu rasanya menjadi biasa.

Tapi dia menolak, atau mungkin lebih tepat -setelah kukenang kembali- melarang keras aku datang. Lalu aku tawarkan pilihan agar dia yang datang ke Jakarta. Dia juga menolak.

Dan sebuah pertanyaan menghentak benak. Tidakkah dia merindukanku? Mengapa dia tidak ingin bertemu? Alasannya sedang sibuk namun juga tidak tahu kapan kelak akan datang.

Ketidakbiasaan yang kemudian mendorong untuk menggugat bahwa jarak Sumatra-Jakarta jelas bukan jarak yang harus menjadi masalah lagi. Dia malah menjawab marah dan dengan suara keras menuduhku tidak memahaminya. Satu komunikasi yang tetap lancar untuk menghubungkan kekecewaanku -atau sebenarnya mungkin kebingunganku- dengan kemarahannya.

Aku yakin dia sangat marah tapi ragu apakah dia juga menyadari kebingunganku. Entahlah, tapi sempat terpikir bahwa seperti pertengkaran-pertengkaran sebelumnya, kami akan berbaikan kembali.

Pemikiran yang salah.  

Bom SMS itu datang meledakkan kepalaku.

Namun kegalauan masih tersisa, laki-laki yang pernah mencintaiku tidak ingin berbicara -apalagi bertemu- sejak satu pesan singkat telepon pada bulan November 2013 sampai detik ini.

Aku menelpon, dia menolak panggilanku. Aku mengirim SMS, dia tidak membalas.

Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, aku tetap terus mencoba dan tetap tidak ada jawaban.

Sampai akhirnya ada satu jawaban, “Maaf, saya tidak bisa melanjutkan hubungan ini, saya rasa kita berteman saja,” walau kenyataannya sebuah pesan yang amat kering, hampa, dan dingin yang sama sekali tidak memperlihatkan itikad pertemanan.

Mengapa?

Mungkin pertanyaan itu sama mengganggunya dengan terputusnya hubungan kami. Mungkin juga tidak, karena pertanyaan itu selalu dibarengi rasa sakit, sedih, perih, dan sekaligus marah yang nyaris meneteskan air mataku.

Ada apa?

Ada banyak malam-malam penuh tangis yang kualami, malam-malam yang terganggu pula dengan hentakan bangunku, juga malam-malam pengharapan mendapat jawaban telepon atau SMS.

Itulah rangkaian malam yang membuatku tersiksa karena aku kehilangan tenaga dan semangat di kantor. Kelelahan selepas kerja ternyata tak mampu membuat malam-malamku menjadi lebih senyap. Maka kuulangi terus malam-malam bedebah itu dan kuhadapi lagi siksa di hari-hari lesu itu.

Dan aku tak yakin jika kelak ada titik putus dalam lingkaran setan tersebut.

Rasanya aku seperti menggunakan kaca mata kuda yang memaksaku untuk hanya melihat ke depan, biarpun yang terlihat adalah dinding kebisuan. Tak ada jalan lagi selain dinding itu membuka dan menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Aku terobsesi untuk menghubunginya, untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaanku, juga untuk menggugat detik yang membuatnya berubah.

Namun dinding itu terus membisu.

Dan aku tak tahu ke mana harus pergi melepas gumpalan sesak yang semakin bertumpuk karena tak bisa menghubunginya.

Sampai pada hari aku teringat untuk bersepeda, hobiku yang sempat terhenti.

Kukayuh sepeda tanpa tujuan jelas tanpa target waktu -seperti yang dulu kulakukan untuk memastikan jumlah kalori yang terbakar. Aku mengayuh, berbelok kiri, berbelok kanan, menanjak, menurun, dan berbalik arah. Nafasku sesak, kakiku pegal, lenganku lelah dan terus kukayuh.

Mungkin tanpa sadar bukan bersepeda yang kulakukan tapi menyakiti tubuhku mencapai sakit yang melebihi perih hatiku. Rasa yang lebih sakit akan melupakan rasa yang kurang sakit. Begitulah, mungkin.

Malam itu rangkaian keputusasaan rasanya terpotong dan hanya sedikit perih hati yang terasa sebelum aku jatuh tertidur lelap dan bangun esok paginya dengan benak yang terasa agak segar

Tapi aku belum kuat rupanya dan malam-malam bedebah itu kembali datang. Terlalu lelah pulanya rasanya untuk kembali menyakiti tubuhku dengan bersepeda. Ketika lingkaran kegelapan mengepung tanpa sepercik titik pun, maka tak cukup lagi energi untuk menopang tubuh.

Akupun ambruk.

Ibu yang mendampingi hari-hari dan malam-malamku di rumah sakit.

Menghabiskan waktu berdua dengan ibu ternyata amat membantu, bersama infus dan obat-obatan tentunya. Kami mengobrol banyak hal, mengenang masa lalu, tentang apa saja, dan juga tentang masa kini, masa-masa kepedihanku.

Kuuraikan semua perih hatiku, sesak nafasku, dan buntu benakku. Ibu seperti biasa adalah pendengar yang baik.

“Kau tidak akan mati hanya karena dia membuangmu. Terimalah, kau pasti kuat,” nasehat ibu yang melekat panjang pada hari-hari mendatangku.

Dokter menyarankanku untuk kembali bersepeda dan beryoga. Ke luar dari rumah sakit, aku mulai membangun rutin baruku yang berhasil total membunuh malam-malam penuh tangis.

Kerja, olahraga, bertemu teman, dan tidur lelap membuat aku berdamai sepenuhnya dengan kenyataan hidup. Bahkan aku bisa melihat foto-foto bersama dia dengan menekan emosi untuk menempatkannya sebagai kenangan yang sama dengan kenangan-kenangan hidup lainnya. Tak mudah awalnya, tapi bisa.

Sekitar setahun kemudian, seorang saudaranya yang malah menghubungiku. Setelah berbasa-basi, dia yang menceritakan ibadah umroh mantan pacarku dengan kekasih lamanya. Sempat terlintas saudaranya itu mungkin ditugaskan sebagai penyampai pesan, tapi aku sudah tidak terlalu memperdulikannya.

Seorang pria yang tidak berani memutuskan hubungannya dengan seorang perempuan tak lebih seorang pengecut. Tapi aku tak memutuskan percakapan dengan saudaranya karena sejak dulu aku memang menghormatinya. Kulepas saja jati dirinya dari si pengecut dan kami berdua meneruskan obrolan dengan ringan.

Dua tahun kemudian aku bertemu dengan seorang teman yang memberi nomor telepon dan memang berbeda dengan nomor yang sudah lengket di otakku. Nomor baru itu hanya kulihat, tak ada keinginan untuk mencatat apalagi mengingatnya.

“Tidak terima kasih,” kataku mantap.

Waktu bergerak terus. Rutinitas kerja, olahraga, dan berteman terus pula berputar. Sesekali terbersit kenangan pahit itu tapi aku juga sudah punya tameng kuat pula. Banyak kenangan indah atau pahit yang tak akan pernah terlupakan, tapi hidup dalam kenyataan dan hidup dalam kenangan yang membedakan orang sinting dan orang waras.

Ibu dan sepeda yang paling berperan mengembalikan aku ke dunia nyata. Seorang pensepeda legendaris mengatakan: “Pain is temporary.” Memang rasa sakit hanya sementara. Sedang ibu meyakinkanku, “Terimalah.”

Cinta memang tak selamanya menjadi bulir-bulir kebahagiaan.

Tapi kutekadkan, hari baik atau buruk, siap kuhadapi dengan sepercik harapan: akankah ada cinta baruku.
***